ISLAMTODAY ID— Syekh Nur al-Din al-Raniri salah seorang ulama ternama era kejayaan Kesultananan Aceh Darussalam. Ia adalah ulama yang hidup pada abad ke-17 M.
Ulama bernama lengkap Nur al-Din Muhammad bin Ali Hasanji al-Hamid as-Syafi’i al-Aydarusi al-Raniri ini lahir di Kota Ranir (Randir-sekarang). Sebuah kota pelabuhan di kawasan Gujarat, India.
Tidak banyak keterangan yang diketahui tentang kehidupan pribadinya. Namun diyakini lahir pada abad ke-16 M dari seorang ibu berdarah Melayu.
“Ibunya adalah seorang Melayu, tetapi ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadrami yang mempunyai tradisi panjang berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara,” ungkap Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.
Nenek moyangnya banyak yang menetap di kawasan kota-kota pelabuhan di pesisir Samudera Hindia dan Kepulauan Melayu (Indonesia).
Kisaran abad ke-16 M, Raniri merupakan pelabuhan penting dan sibuk. Sebuah kawasan perdagangan yang banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa seperti Arab, Persia, Turki dan Melayu.
Meskipun pada tahun 1040 H atau 1540 M, Raniri jatuh ke tangan Portugis, orang-orang muslim termasuk keluarga Nur al-Din al-Raniri tetap tinggal di sana. Namun pada saat yang sama mereka tetap menjalin kedekatan dengan pusat keilmuan Islam di Arab.
“Orang Hadhrami biasanya mengirim anak-anak dan pemuda mereka ke tanah leluhur mereka dan tanah Haramayn untuk mempelajari ilmu-ilmu keagamaan,” tutur Azyumardi Azra.
Usai melakukan pengembaraan intelektual itu biasanya mereka akan kembali ke Raniri atau merantau ke negeri-negeri Islam lainnya. Hal inilah yang dilakukan oleh paman dari Syekh Nur al-Din al-Raniri.
Kisah tersebut diabadikan oleh Sykeh Nur al-Din al-Raniri dalam Kitabnya Bustan al-Salatin fi Dzikr al-Awwalin wa al-Akhirin. Ia mengatakan jika pamannya dari jalur ayah, Muhammad Jilani bin Hasan Muhammad al-Humaydi datang dari Gujarat ke Mekkah pada antara tahun 988- 991 H atau 1580-1583 M.
Pamannya adalah seorang ulama pengajar fikih, ushul al-fiqh, etika, logika (mantiq) dan retorika. Namun rupanya umat Islam di Aceh kala itu lebih suka belajar ilmu tasawuf dan kalam.
Hal inilah yang membuat pamannya, Muhammad Jilani kembali ke Makkah demi untuk mempelajari kembali kedua bidang ilmu tersebut. Ia pun kembali pada masa pemerintahan Sultan ‘Ala al-Din Riayat Syah.
“Riwayat ini menjelaskan bagaimana seorang guru al-Hadhrami dari Gujarat memainkan peranan penting dalam perkembangan Islam di Aceh,” ucap Azyumardi Azra.
Nur al-Din al-Raniri pun mengikuti jejak sang paman, ia mengawali pendidikan dasarnya di Raniri dan melanjutkannya ke Makkah dan Madinah. Kepergiannya ke Makkah diperkirakan terjadi antara tahun 1030 H atau 1031 H yang bertepatan dengan tahun 1620 M atau 1621 M.
Selanjutnya kiprahnya sebagai ulama di tanah Aceh dan Melayu itu dimulai. Berbagai informasi yang diterimanya tentang kehidupan bangsa Aceh dan Melayu pada umumnya menjadi petunjuk penting.
Meskipun belum ditemukan catatan pasti tentang waktu kedatangannnya ke Aceh, namun kuat dugaan ia menetap di Aceh antara tahun 1029-1047 H atau 1621 M sampai 1637 M.
Bahkan pada tahun 1047 H atau 1637 M ia dipercaya sebagai Qadidan Mufti Kesultanan Aceh Darussalam. Hal ini terjadi pada masa Sultan Iskandar Tsani.
Sultan Iskandar Tsani adalah orang yang dipercaya sebagai Sultan Kesultanan Aceh Darussalam, untuk menggantikan mertuanya, Sultan Iskandar Muda. Artinya pada masa Sultan Iskandar Tsani, Syekh Nur al-Din al-Raniri bukan orang baru di lingkungan istana.
Jabatan qadi ini terus dipegang oleh Syekh Nur al-Din al-Raniru hingga era Sultanah Safiatuddin, puteri Sultan Iskandar Muda sekaligus istri Sultan Iskandar Tsani.
Kedudukannya sebagai Mufti Kesultanan Aceh Darussalam ini hanya bertahan selama tujuh tahun. Pada tahun 1054 Hijriyah atau 1644 Masehi, ia mengundurkan diri dan kembali ke Raniri.
Kepergiannya meninggalkan Aceh Darussalam ini diketahui melalui keterangan waktu atau kolofon pada karyanya, Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
“Maka kitab ini selesai dikarang pada hari Senin waktu Zuhur, 20 Zulhijjah 1076… Kitab ini dikarang pengarang awalnya dari awal sampai akhir Bab Kelima. Setelah selesai bagian ini datanglah takdir yang tak dapat ditolak. Ia berlayar ke tanah airnya, Ranir pada tahun 1054 H dan menyuruh saah seorang muridnya untuk menyelesaikannya,” jelas Azyumardi Azra.
Semasa 14 tahun terakhirnya hari-hari sebelum wafat di Raniri, ia mengeluarkan tiga buah karya. Salah satu karyanya adalah jawaban atas pertanyaan dari Sultan Ageng Tirtayasa (Kesutanan Banten) dan sisanya adalah penjelasannya tentang problem dakwah yang dihadapinya selama di Aceh.
Syekh Nur al-Din al-Raniri wafat pada 22 Zulhijjah 1068 H atau 21 September 1668.
Penulis: Kukuh Subekti