ISLAMTODAY ID— Kiai Saleh Darat menjadi inspirasi Kartini untuk mempelajari Islam. Penjelasan tafsir Al-Fatihah yang disampaikan oleh Kiai Saleh Darat membuat keimanan Kartini kembali kokoh.
“Setelah tahu pemaknaan dari ayat-ayat yang selama ini beliau (Kartini) baca dan tidak tahu maknanya, beliau menjadi terpesona dan keislamannya tidak mudah tergoyahkan,” kata Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo, Arif Wibowo kepada ITD.
Arif Wibowo menjelaskan Kartini tumbuh dalam suasana ‘pembaratan’ yang dilakukan terhadap bangsawan Jawa. Situasi yang sangat wajar jika kemudian Kartini sempat mengagungkan peradaban Barat.
Pertemuan Kartini dan Kiai Saleh Darat membuat kekaguman Kartini terhadap Barat perlahan-lahan pupus. Kartini memasuki fase perjalanan spiritual baru untuk memperdalam Islam.
Kiai Haji Saleh Darat merupakan sosok ulama pembaharu di Jawa. Ia mendobrak pakem dakwah yang sedang berkembang di Nusantara.
Jika di Aceh, ada Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili yang menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Melayu. Maka di Jawa ada Kiai Saleh Darat yang menerjemahkan Al-Quran dan kitab-kitab berbahasa Arab kedalam bahasa Jawa.
“Kiai Haji Saleh Darat mempunyai cara baru dalam berdakwah. Beliau banyak menterjemahkan kitab-kitab bahasa Arab ke dalam bahasa masyarakat setempat,” jelasnya.
Pasca Perang Diponegoro
Arif juga menjelaskan sejarah deislamisasi para bangsawan Jawa diantaranya terhadap Kartini. Situasi ini terjadi pasca berakhirnya Perang Diponegoro yang digerakkan oleh para kiai dan ulama awa.
Berkahirnya Perang Diponegoro membuat Belanda menyusun strategi baru untuk menundukan para bangsawan Jawa. Mereka menjadi target utama westernisasi para orientalis Barat.
“Kalau kita mbaca bukunya Ricklefs yang Meng-Islamkan Jawa, kaum priyayi terutama para bupati memang merupakan obyek utama dari westernisasi yang dilakukan para pemikir Barat,” ungkap Arif.
Kekalahan Diponegoro yang notabene seorang muslim, menimbulkan suasana membuat inferiority complex di kalangan bangsawan Jawa. Ditambah dengan masifnya upaya Barat dalam menanamkan pemahaman bahwa masuknya Jawa dalam Islam adalah sebuah kemunduran.
“Setelah Pangeran Diponegoro kalah terjadi semacam inferiority complex (merasa rendah) di kalangan bangsawan Jawa. Apakah Islam ini masih ampuh atau tidak kok kalah dengan Belanda?,” ujar Arif.
Dalam suasana kebatinan yang seperti itu, para orientalis Belanda mulai memasukan pemahaman untuk menjauhkan diri dari Islam. Mereka para bangsawan Jawa justru ditarik mundur jauh ke era Majapahit.
“Yang ditanamkan oleh cendekiawan kolonilalis, ‘Harusnya bangsa Jawa ini tetep setia kepada Hindu dan Budhanya, menjadi penerus dari Majapahit dan kemudian untuk keilmuan dia berkiblat kepada Belanda.Karena Islam di Jawa itu terbukti justru menyurutkan peradaban Jawa.’ Itu yang ditanamkan oleh para Belanda” jelas Arif.
Maka wajar jika upaya melakukan sekulerisasi di kalangan bangsawan Jawa begitu masif dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh Abendanon yang intens berkorespondensi dengan Kartini, putri Bupati Jepara.
Fakta-fakta di atas sudah selayaknya membuat sudut pandang terhadap Kartini itu berbuah. Kartini adalah obyek sekaligus subyek pertarungan intelektual di kalangan bangsawan Jawa saat itu.
“Memandang Kartini bukan dari gagasan Kartini, tetapi lebih memotret Kartini sebagai sebuah obyek dan subyek dari pertarungan pemikiran yang sangat intens di kalangan bangsawan Jawa pada saat itu,” kata Arif kepada IslamToday.
Pendapat Arif ini cukup beralasan pertama ialah siapa pihak yang melakukan publikasi pemikiran Kartini. Publikasi pemikiran Kartini sebagaimana yang banyak diketahui masyarakat luas di Indonesia ialah berdasarkan ‘suntingan’ dari Belanda.
“Kalau soal Kartini, yang memilih tulisan mana, surat mana yang hendak diterbitkan kan bukan Kartini,” ujar Arif Wibowo.
Peredaran tulisan-tulisan Kartini banyak dilakukan oleh Rosa Manuela Abendanon, yang merupakan istri dari Abendanon. Abendanon bukan orang sembarangan dia merupakan pejabat di lingkungan pemerintah Belanda yakni Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda.
“Sehingga kan, dia (Nyonya Abendanon) bisa memilih sesuai dengan apa yang dia inginkan,” tegas Arif.
Penulis: Kukuh Subekti