ISLAMTODAY ID— Ibnu Jubair benama lengkap Abu al-Husain bin Jubair lahir di Kota Valencia, Spanyol pada tahun 540H/ 1145M. Seorang penjelajah muslim ternama sebelum Ibnu Batutah.
Berbagai literatur menuliskan namanya dengan beragam ejaan mulai dari Ibnu Jubair, Ibnu Jubayr, Ibnu Ghoubair, Ibnu Gubayr, Ibnu Gubair, Ibnu Geobeir, Ibnu Djubayr, Ibnu Yubayr. Literatur berbahasa Inggris menuliskannya dengan nama Ibn Jubayr.
Perjalanan Haji
Siapa sangka catatan perjalanan haji Ibnu Jubair adalah sebuah catatan yang sangat berharga bagi Ibnu Batutah. Sebuah perjalanan haji dari daratan Spanyol di abad ke-12 menginsprasi Ibnu Batutah, penjelajah muslim abad 14.
Profesor Sejarah dari Universitas Geogetown, Amerika Serikat, Tommaso Astarita dalam Ibn Jubayr The Rihla mengisahkan tentang peristiwa tersebut. Penjelajah muslim abad ke-14 Masehi itu juga mengawali perjalanannya mengelilingi dunia dengan beribadah haji.
“Sekitar seratus lima puluh tahun kemudian, pada tahun 1325, Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdullah Al Lawati Al Tanji Ibnu Batutah, juga dikenal sebagai Ibnu Batutah, meninggalkan apa yang sekarang menjadi Maroko untuk perjalanan seumur hidup yang penuh dengan petualangan,” tutur Prof. Tommaso.
Ibnu Batutah melampaui jalur perjalanan yang ditempuh oleh Ibnu Jubair. Ia akhirnya bisa singgah di berbagai kawasan di dunia termasuk Cina.
“Ibnu Batutah jauh melampaui jangkauan geografis Ibnu Jubair, tetapi motif awalnya sama (yakni) haji,” jelasnya.
Fakta berikutnya tentang Ibnu Jubair yang diungkapkan oleh Prof. Tommaso ialah tentang bantahannya terhadap tuduhan yang dialamatkan kepada Ibnu Jubair. Tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa ibadah haji Ibnu Jubair dilakukan dalam rangka ‘penebusan dosa’.
Sebuah narasi yang berkembang pada abad ke-17 yang ditulis oleh Ahmed Mohammed al-Maqqari dalam karyanya berjudul Nafh al-Tib.
“Menempatkan haji di bawah kebutuhan untuk melakukan perbaikan, kisah anggur mengabaikan fakta bahwa adalah kewajiban semua Muslim untuk melakukan haji setidaknya sekali, asalkan mereka sehat, waras, dan tidak terancam oleh perang atau epidemi,” ujar Prof. Tommaso.
Pernyataan di atas secara tegas menolak narasi tentang pemaksaan minum anggur yang dilakukan oleh Gubernur Granada, Abu Said Utsman kepada Ibnu Jubair. Sebab dalam catatan milik Ibnu Jubair sendiri tidak juga memuat tentang kisah tersebut.
“Dalam catatannya, Ibnu Jubair tidak pernah sekali pun menyebutkan kejadian anggur dan tidak menawarkan kepada pembaca motif alternatif untuknya perjalanan selain haji,” tutur Prof. Tommaso.
“…daripada menerima dengan persetujuan anggur dan haji sebagai kisah penebusan dosa, saya lebih memilih untuk mengandalkan teks sebagai petunjuk tentang motivasi Ibnu Jubayr untuk bepergian. Berdasarkan apa yang dia tulis, jelaslah bahwa Ibn Jubayr adalah seorang peziarah yang pertama dan terutama bertekad untuk menunaikan kewajiban agamanya dan menunaikan haji,” jelasnya.
Selain membela dan menempatkan sosok Ibnu Jubair sebagai muslim yang saleh dan taat ia juga memberikan sejumlah pujian atas catatan rihlah Ibnu Jubair.
Prof. Tommaso menilai Ibnu Jubair termasuk orang pertama yang mencacat kisah perjalanannya secara detail dan jelas.
“Ibn Jubair adalah salah satu orang pertama yang dengan rajin mencatat detail perjalanannya dan menyebarkannya ke khalayak yang lebih luas,” ujar Prof. Tommaso.
Haji di Tengah Perang Salib
Prof. Tommaso menjelaskan jika Catatan rihlah Ibnu Jubair mengisahkan tentang berbagai peristiwa perjalanan ibadah haji Ibnu Jubair sejak yang pertama 3 Februari 1183M serta dua perjalanan haji berikutnya pada tahun 1189M sampai 1191M dan tahun 1217M.
“Ibnu Jubair tidak pernah kembali dari perjalanan terakhirnya, dan meninggal di Alexandria pada tanggal 29 November 1217,” ucap Prof. Tommaso.
Ia juga menyebut perjalanan ibadah haji Ibnu Jubair pada masa itu membutuhkan waktu 2 tahun 3 bulan. Sehingga hal yang lumrah jika ia menemui berbagai sitauadi dan fenomena di dunia.
Mulai dari masa transisi kekuasaan Islam, dari dinasti Fatimiyah (Mesir) ke Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad yang terjadi pada tahun 1170M.
Peristiwa penting berikutnya yang juga tercatat dalam catatan Ibnu Jubair ialah tentang menecekamnya perjalanan haji kaum muslimin pada masa-masa perang salib. Pada era perang salib masalah politik dan agama menjadi sangat kompleks.
Konflik antara pasukan kaum muslimin dan pasukan perang salib bahkan terjadi dalam kurun waktu yang lama.
“Gejolak juga tidak mereda setelah dia kembali, dan konflik berkepanjangan antara Muslim dan Kristen berkobar lagi di sekitar kedua perjalanan terakhir peziarah ke timur. Pada tahun 1191 garnisun Muslim menghentikan pengepungannya di Acre dan Paus Innocent III mengeluarkan seruan untuk perang salib lagi pada tahun 1213-15,” ungkap Prof. Tommaso.
Prof. Tommaso menggambarkan keadaan yang kurang kondusif pada era perang salib membuat perjalanan ibadah haji menjadi makin sulit. Dalam suasana normal mereka hanya akan terkendala situasi buruk oleh cuaca, namun dalam situasi perang mereka dihantui rasa cemas dan khawatir.
Untuk itu perjalanan ibadah haji pada masa itu membutuhkan pengawalan khusus dari negara dalam hal ini para penguasa negeri-negeri muslim. Mereka secara bahu-membahu memberikan perlindungan kepada para calon jamaah haji.
“Sebagai akibat dari potensi bahaya, perjalanan ziarah kafilah adalah urusan yang serius dan terorganisir. Di bawah kepemimpinan pemimpin lokal yang ditunjuk secara khusus, karavan berangkat dari setiap kantong Islam abad pertengahan,” ungkap Prof. Tommaso.
Prof. Tommaso mengutip langsung pendapat dari Ibnu Jubair dalam buku berjudul The Travels Ibn Jubayr yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Broadhurst pada tahun 1952.
“Majelis Irak ini, bersama dengan orang-orang dari Khurasan, Mosul, dan negeri-negeri lain yang bersatu dalam rombongan Emir Ziarah ini, membentuk suatu kumpulan yang jumlahnya hanya dapat dihitung oleh Tuhan Yang Maha Tinggi. Dataran luas itu penuh dengan mereka. Anda bisa melihat bumi berguncang karena mereka, dan membentuk gelombang melalui jumlah mereka yang besar.” (The Travels Ibn Jubayr- Broadhurst).
Perhatian dari penguasa Islam pada masa itu menurut Ibnu Jubair sangat membuat para jamaah haji merasa nyaman dan aman. Selain mendapatkan pengawalan militer dari negara mereka dimudahkan dengan hadirnya berbagai fasilitas seperti pembangunan jembatan hingga ketersediaan sumur sebagai sumber air.
“Tak perlu dikatakan, para peziarah terkejut dan sangat bersyukur ketika mereka mengetahui kemurahan hati Khalifah. Memang, rasa terima kasih itu seharusnya. Detail sumur dan militer adalah masalah hidup dan mati,” imbuh Prof. Tommaso.
Penulis: Kukuh Subekti