ISLAMTODAY ID— Sosok Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP Muhammadiyah (1942-1953) merupakan ulama yang disegani dan dihormati. Kiprah dan perjuangannya yang mungkin jarang diketahui orang adalah keterlibatannya dalam penyusunan Pancasila.
Ki Bagus adalah salah satu ulama besar yang dipercaya sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Ia bersama bahkan ikut urun rembug dalam penyusunan konsep dasar negara pada sidang BPUPK yang berlangsung sejak 29 Mei sampai 1 Juni 1945.
Jasa besar Ki Bagus Hadikusumo dalam perjalanan sejarah Indonesia terkesan sengaja dihapus. Pasalnya naskah pidatonya tidak dimuat dalam buku Risalah Persidangan PPKI, salah satu sumber sejarah penting di balik lahirnya Pancasila.
Buku Risalah Sidang BPUPKI
Ki Bagus Hadikusumo, mendapat giliran pidato lebih satu hari lebih awal dari Bung Karno, yakni pada tanggal 31 Mei 1945. Fakta sejarah inilah yang raib dari dokumentasi resmi negara.
Pidato Ki Bagus tidak dimuat dalam buku Risalah Sidang BPUPK dan PPKI terbitan 1992 dan 1995. Fakta inilah yang sangat disayangkan oleh salah seorang mantan aktvis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta, Lukman Hakiem.
“Antara 29 Mei sampai 1 Juni, mulai sidang 29 Mei sampai 1 Juni 1945 itu banyak sekali orang berpidato, ada Ahmad Subarjo, ada AR Baswedan, ada Agus Salim, termasuk Ki Bagus Hadikusumo yang berpidato pada tanggal 31 Mei 1945,” kata Lukman dalam kajian rutin virtual Kapita Selekta di Pondok Pesantren Budi Mulia pada 1 Maret 2021.
“Anehnya baik dalam buku Risalah Persidangan BPUPK dan PPKI terbitan setneg tahun 1992 maupun 1995 itu pidato Ki Bagus nggak tercantum,” jelasnya.
Lukman mengaku telah menerima materi naskah pidato Ki Bagus, semasa ia masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta pada tahun 1979. Saat itu ia memperoleh materi pidato Ki Bagus yang berjudul Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin dari putra Ki Bagus, Djarnawi Hadikusumo.
“Tahun 1979, saya sudah dapat, kenapa aneh sekali buku yang terbit tahun 1992 dan 1995 tidak memuat pidato Ki Bagus,” ungkap Lukman heran.
“Anehnya lagi pasti itu para editor risalah persidangan itu pasti membaca pidato Bung Karno 1 Juni,” tegasnya.
Lukman menambahkan dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno secara berulang-ulang menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo. Pengulangan nama Ki Bagus dalam pidato Bung Karno seharusnya menjadi hal yang dicermati oleh para penyunting buku Risalah Persidangan BPUPK dan PPKI.
“Mestinya dicari itu naskahnya, bisa hubungi Pak Jarnawi, beliau kan tokoh nasional pernah jadi Ketua Umum Parmusi. Jadi aneh kalau orang-orang itu tidak berusaha mencari pidato Ki Bagus yang namanya tidak kurang dari 10 kali disebut oleh Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945,” ujar Lukman.
Dalam penelusuran ITD, buku risalah sidang BPUPK dengan cover ‘Himpunan Risalah Sidang-sidang dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Tanggal 29 Mei 1945-16 Juli 1945 dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Tanggal 18-19 Agustus 1945 yang Berhubungan dengan Penyusunan Undang-undang Dasar 1945, terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia itu memang benar adanya. Pada lembar daftar isi itu hanya terdapat tiga nama yakni Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Manuver Panitia Sembilan Soekarno
Proses pembentukan dasar negara dalam sidang BPUPK memiliki riwayat perjalanan yang cukup panjang. Berbagai manuver pun terjadi selama proses penyusunan dasar negara yang berlangsung sejak 29 Mei hingga 18 Agustus 1945.
Awalnya pasca pidato 1 Juni 1945, BPUPK membentuk sebuah panitia kecil untuk menginventarisir usulan dasar negara. BPUK membentuk panitia kecil bernama Panitia Delapan.
Pada saat itu nama Ki Bagus masih masuk dalam jajaran Panitia Delapan. Selain Ki Bagus Hadikusumo ada tujuh anggota lainnya yakni Kiai Abdul Wachid Hasyim, Sukarno, Mohammad Hatta, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Otto Iskandardinata, Muhammad Yamin, dan AA Maramis.
“Dari Panitia Delapan berhasil diinventarisir ada tujuh usul mengenai dasar negara,” tutur Lukman.
Adapun tujuh usul dasar negara ini terdiri atas Kebangsaaan dan Ketuhanan; Kebangsaaan dan Kerakyatan; Kebangsaan, Kerakyatan dan Ketuhanan; Kebangsaan, Kerakyatan dan Kekeluargaan; Kemakmuran Hidup Bersama, Kemajuan Kerohanian, Kecerdasan Pikiran Bangsa Indonesia yang Bertakwa Berpegang Teguh Kepada Tuntunan Tuhan Yang Maha Esa, Agama Negara adalah Agama Islam; Kebangsaan, Kerakyatan dan Islam; Jiwa Asia Timur Raya.
Lukman menjelaskan dari ketujuh usulan dasar negara tersebut dapat disimpulkan bahwa empat usulan menginginkan Ketuhanan sebagai dasar negara. Dari empat usulan yang dimaksud terdapat dua usulan yang menginginkan Islam sebagai agama dan dasar negara.
Penghapusan peran dan kiprah Ki Bagus secara implisit terjadi dalam pembentukkan Panitia Sembilan. Sebuah kepantitiaan yang dibentuk atas inisiatif Bung Karno dengan mengabaikan prosedur resmi kelembagaan BPUPK.
Ucapan maaf Bung Karno ini bisa simak dalam pidatonya pada Sidang BPUPK pada pertengahan Juli 1945, ia mengawalinya dengan meminta maaf atas kelancangannya membentuk Panitia Sembilan.
“Kalau kita baca Risalah Persidangan itu ada kata-kata Bung Karno pada pertengahan Juli tahun 45 itu… Bung Karno bicara minta maaf karena dia sudah melakukan sesuatu di luar prosedur,” ujar Lukman.
Pada tim sembilan inilah nama Ki Bagus tidak dimasukkan, tokoh Islam hanya diwakili oleh Haji Agus Salim, Kiai Wachid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso dan Kahar Muzakkir. Absennya nama Ki Bagus tentu sangat kontras dengan tujuan awal pembentukkan Panitia Sembilan, menyeimbangkan suara wakil Islam.
“Bung Karno melihat dalam Panitia Delapan yang dibentuk oleh BPUPK wakil kalangan Islam itu cuma dua. Cuma Ki Bagus dan Kiai Wachid Hasyim, Bung Karno merasa tidak aspiratif,” ucap Lukman
“Maka ketika BPUPK sedang reses dia bentuklah Panitia Sembilan… jadi empat kalangan Islam,” terangnya.
Begitulah kiprah dan dedikasi Ki Bagus kepada bangsa Indonesia yang mungkin sedikit terlupakan. Dedikasinya menunjukkan kepada kita semua betapa besar cintanya untuk umat dan bangsa.
Penulis: Kukuh Subekti