(IslamToday.id) — “The Silk Road” memunculkan gambar-gambar karavan gurun yang melintasi Stepa Besar dan para petualang seperti Marco Polo menavigasi rute perdagangan kuno yang menghubungkan wilayah China, dengan Eropa dan Afrika pada masa keemasan Imperium Tiongkok. Adaptasi yang saat ini China modern lakukan, yang dikenal sebagai Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative), bertujuan untuk menghidupkan kembali dan memperluas rute-rute tersebut melalui jaringan kereta api, pelabuhan, jalur pipa, jaringan listrik, dan jalan raya yang ditingkatkan ataupun baru. Presiden Xi Jinping berdalih menciptakan proyek ini sebagai sarana untuk memacu pembangunan, dan integrasi ekonomi. Namun, para kritikus khawatir akan dorongan motif ekspansif negara adikuasa yang semakin tegas untuk menyebarkan pengaruh dan dominasinya. Beberapa negara mulai mengurangi atau membatalkan proyek, bahkan ketika kesepakatan baru sedang ditandatangani.
KTT diplomatik “Belt and Road Initiative pada tahun 2015 yang lalu, dihadiri oleh perwakilan dari negara-negara dunia yang terlibat dalam rencana ambisius, strategis, dalam kerjasama internasional yang diluncurkan oleh pemerintah Cina pada tahun 2013 bukan hanya hubungan dagang tapi juga secara diplomatik dan politik antarnegara. Xi Jinping menyebutnya “proyek abad ini,” sebuah dorongan ambisius untuk mendorong roda perdagangan dengan proyek-proyek infrastruktur besar baru; Morgan Stanley memperkirakan total pengeluaran akan mencapai $ 1,3 triliun pada tahun 2027.
Proyek, yang telah dikembangkan selama tujuh tahun terakhir di bawah kepemimpinan Pemerintahan Xi Jinping, berdalih untuk menghidupkan kembali “Jalan Sutra” kuno Kekaisaran Cina, untuk menciptakan jaringan besar rute transportasi pada tahun 2050 yang mampu untuk menciptakan infrastruktur kereta api, jalan, dan rute pengiriman yang padat dan terartikulasikan – Jalur Ekonomi Jalur Sutera dan Jalur Sutera Maritim – jalur pipa gas dan jalur minyak yang akan menghubungkan Cina dan Timur Jauh melalui Asia, dengan Eropa dan Mediterania.
Cina mengklaim tidak berniat menggelar Belt and Road Initiative (BRI) untuk mengerahkan pengaruh politik atau militer yang tidak semestinya, dan bahwa inisiatif ini dirancang hanya untuk meningkatkan pemahaman ekonomi dan budaya antar negara. Bahkan, Xi menyebut proyeknya “jalan untuk perdamaian,” namun kekuatan dunia lainnya seperti Jepang dan AS tetap skeptis tentang tujuan yang dinyatakannya dan bahkan lebih khawatir tentang tujuan yang tidak diucapkan, terutama yang mengisyaratkan ekspansi militer..
Tujuan lain dari inisiatif Sabuk dan Jalan China adalah untuk memperkuat integrasi ekonomi dan koordinasi kebijakan di wilayah Eurasia yang luas. Inisiatif ini mencakup serangkaian proyek infrastruktur transportasi, yang diusulkan di sepanjang dua pilar: Jalur Ekonomi Jalur Sutera dan Jalur Sutera Maritim Abad 21.
‘Jalan Sutra Baru’ merupakan branding yang menyesatkan. Seperti yang Peter Frankopan, penulis The Silk Roads tunjukkan, kekayaan luar biasa dari kota-kota Silk Road seperti Samarkand, Bukhara dan Kashgar didasarkan pada kenyataan bahwa pedagang perantara mampu mengenakan kenaikan harga yang tinggi pada barang yang mereka pindah karena adanya risiko dan kesulitan perjalanan. Seperti yang terlihat saat ini dividen untuk barang bergerak dengan kereta murah dan efisien jauh, jauh lebih kecil seperti di Negara Kazakhstan, sementara kebangkrutan-kebangkrutan nyata yang dialami Sri Lanka, Malaysia dan Myanmar.
Sri Lanka, di sisi lain, adalah contoh dari bahaya bagi negara-negara yang membuka diri untuk pembiayaan Tiongkok. China membiayai dan membangun sebuah kompleks besar di sekitar Hambantota, di Sri Lanka Selatan, yang mencakup pelabuhan laut dalam, senilai $ 1,5 miliar, bandara internasional senilai $ 200 juta, dan stadion kriket berkapasitas 35.000 kursi. Namun ini bukanlah Marshall Plan abad ke-21 yang dilakukan oleh Amerika pada masa setelah Perang Dunia II. Oleh karena, proyek ini, seperti kebanyakan dalam skema BRI, dibiayai oleh bank-bank milik pemerintah China dan juga para Taipan. Negara-negara penerima cenderung memiliki peringkat kredit yang buruk, jadi ketika Cina menawarkan kredit murah kepada mereka, mereka ingin menerimanya. Namun, hal ini dapat menyebabkan negara-negara dengan peringkat kredit yang buruk memiliki tingkat hutang yang sangat tinggi. Dalam kasus Sri Lanka, terbebani oleh hutang berarti mereka terpaksa menyerahkan pelabuhan laut dalam mereka ke tangan China dalam perjanjian penghapusan hutang. Sri Lanka tidak mungkin menyembunyikan niat baik diplomatiknya ke China, sementara negara-negara lain akan melihat contoh nasib Srilanka sebagai alasan untuk khawatir dan waspada akan ancaman dominasi ekonomi-politik China.
Penulis: R. Syeh Adni
Editor: Tori Nuariza