(IslamToday.id) — Menjelang KTT G-20 di Osaka, Jepang, Putin mengatakan “gagasan liberal” telah “melampaui tujuannya.” ujar Putin, “(Liberal) tidak bisa begitu saja mendikte apa pun kepada siapa pun, seperti yang mereka coba lakukan dalam beberapa dekade terakhir”
Konon, Vladimir Putin lebih tahu dari siapapun bahwa sejarah ini belum sepenuhnya ditulis.
Frida Ghitis dalam Politico menunjuk ke tiga peristiwa baru-baru ini, yang meskipun jauh dari menentukan, menjadikan Juni bulan yang buruk untuk para otokrat.
Para pemimpin dunia yang menghadiri KTT Kelompok G-20 di Jepang bertikai atas nilai-nilai yang telah melayani mereka selama beberapa dekade sebagai dasar kerja sama mereka.
Putin mengatakan kepada Financial Times bahwa “gagasan liberal telah menjadi usang. Gagasan itu bertentangan dengan kepentingan mayoritas penduduk.” Dia memuji Trump atas upayanya untuk mencoba menghentikan aliran migran dan narkoba dari Meksiko dan mengatakan bahwa liberalisme “mengandaikan bahwa tidak ada yang perlu dilakukan. Bahwa migran dapat membunuh, menjarah dan memperkosa dengan impunitas karena hak-hak mereka sebagai migran harus dilindungi.” Para pemimpin G-20 bertemu pada saat ketegangan yang mendalam.
Presiden Uni Eropa, Donald Tusk pada hari Jumat (28/6) mengecam Presiden Rusia Vladimir Putin karena mengatakan dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Financial Times bahwa liberalisme telah “usang.”
Dalam sebuah pernyataan kepada wartawan, Donald Tusk mengatakan, “Kami di sini sebagai orang Eropa juga untuk secara tegas membela dan mempromosikan demokrasi liberal.”
Tusk berkata, “Apa yang saya temukan benar-benar usang adalah: otoritarianisme, pemujaan kepribadian, aturan oligarki. Bahkan jika kadang-kadang mereka tampak efektif.”
Ketika Presiden AS Donald Trump, Presiden Cina Xi Jinping, Putin dan para pemimpin lainnya bertemu di sela-sela pertemuan puncak, Tusk mengatakan kepada wartawan bahwa komentar seperti itu menunjukkan keyakinan bahwa “kebebasan sudah usang, bahwa aturan hukum sudah usang dan bahwa hak asasi manusia sudah usang.”
Kritikan terhadap Para Otokrat
Seperti Pemimpin China Xi Jinping telah menghadapi aksi protes HongKong yang sangat besar dan gigih yang dipentaskan terhadap RUU ekstradisi yang ingin diberlakukan terhadap penduduk Hong Kong. Rusia Putin membatalkan semua tuduhan terhadap reporter investigasi Ivan Golunov setelah curahan dukungan publik dan media untuk jurnalis yang ditahan itu.
Skala ini dipercaya oleh para ahli dapat mengarahkan kembali pemerintahan pada sistem demokrasi jika negara-negara besar seperti India, Nigeria, dan Indonesia tidak hanya stabil sebagai negara demokrasi yang makmur tetapi juga mengidentifikasi diri mereka lebih sebagai bagian dari komunitas global yang menentang otoritarianisme.
Amerika Negara Demokratis atau Otoritarian?
Amerika Serikat sekali lagi dapat mempertahankan, dan memperluas pemerintahan demokratis yang bertujuan untuk menundukan negara-negara yang beresiko menjadi lawan dengan menyebarkan virus demokrasi liberalnya. Dalam sejarah Amerika, Demokrasi dimulai dengan munculnya abad ke-18 sebagai demokrasi revolusioner yang kesepian, yang telah melepaskan belenggu kekuasaan monarki, hingga perannya sebagai pemimpin pasca-Perang Dingin dengan Eropa dari komunitas demokratis negara-negara yang untuk pertama kalinya dalam sejarah merupakan mayoritas global bangsa.
Trump mungkin tampak sebagai perwakilan yang tidak mungkin untuk penemuan kembali Amerika ini dari tujuan globalnya. Para pengkritiknya mengutuk kecenderungan orang kuat dan kedekatannya dengan otokrat seperti Xi, Putin dan Kim Jong Un Korea Utara.
“Ketika kita berkumpul malam ini, dalam sukacita kebebasan, kita ingat bahwa kita semua berbagi warisan yang benar-benar luar biasa,” kata Trump. “Bersama-sama, kita adalah bagian dari salah satu kisah terhebat yang diceritakan setiap orang,- kisah Amerika.”
Demokrasi lahir di Athena pada 508 SM, tetapi relatif tidak aktif selama dua ribu tahun. Robert Kagan mengingatkan kita bahwa A.S. muncul pada tahun 1700-an sebagai republik yang demokratis dengan “prinsip-prinsip liberal radikal” yang dipandang dengan gelisah di “dunia yang didominasi oleh revolusioner kekuatan besar.”
Sejak itu, A.S. menjadi pusat kisah demokrasi. Ekspansi negara-negara demokrasi yang diilhami A.S. setelah Perang Dunia I. Itu kemudian berdiri ketika mereka menurun di hadapan fasisme Eropa menjelang Perang Dunia II. Itu berjuang untuk kelangsungan hidup mereka di Perang Dunia II dan untuk kemenangan Perang Dingin mereka yang memiliki kemenangan akhir demokrasi. Besarnya pengaruh Amerika dalam menentukan kebijakan kebijakan negara-negara di dunia menyebabkan demokrasi liberal menjadi dagangan laku khususnya bagi negara berkembang.
Demokrasi Liberal dan Kegagalan Teori Francis Fukuyama
Fukuyama dalam Argumen politik di bukunya The End of History mengatakan bahwa semua perang melalui sejarah adalah bentrokan antara dua sistem politik yang bersaing. Maka, sebagai bangsa yang lebih mengadopsi bentuk pemerintahan demokrasi liberal, perang antara mereka seharusnya tidak akan terjadi lagi. Pernyataan ini terbantahkan dengan kenyataan perang-perang yang dimulai Amerika atas nama perang melawan terorisme dan jiwa altruisme yang selalu didengungkan menyebabkan ketidakstabilan negara-negara bangsa khususnya Negara Muslim, dimana peperangan dan penyebaran demokrasi liberal menyebabkan peperangan dan eskpansi diberbagai negara yang telah merenggut jutaan nyawa, hal ini membuktikan bahwa Demokrasi Liberal tak pernah mengagungkan hak asasi manusia namun lebih mengagungkan keuntungan negara penganutnya dengan mengorbankan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim sebagai musuh bersamanya.
Kedua, Argumen empiris: Sejak awal abad 19, telah ada langkah dari Amerika untuk mengadopsi beberapa bentuk demokrasi liberal sebagai pemerintahannya, yang didefinisikan sebagai sebuah pemerintahan di mana hak-hak individu, seperti hak untuk kebebasan berbicara, lebih unggul daripada hak-hak negara. Namun seperti yang kita ketahui presiden Amerika selalu saja memberikan cap negatif dan menyebarkan Islamophobia dan terus menyerang komunitas Islam di negaranya, kita tentu ingat bagaimana Presiden terpilih Donald trump yang menyerang dengan mengkritik umat Islam dalam setiap kampanyenya.
KTT G 20 osaka telah menunjukan kepada kita bagaimana negara-negara maju di dunia ini telah menentukan arah dunia keseluruhan dengan perseteruan gagasan yang rapuh, ideologi yang menguntungkan pihak yang kuat dan meruntuhkan pihak lemah dan saat perseteruan telah merugikan banyak pihak mereka kembali bertemu untuk menciptakan kompromis baru agar melanggengkan peranan mereka.
Penulis: R. Syeh Adni
Editor: Tori Nuariza