(IslamToday ID) – Protes telah berkobar di seluruh Amerika Serikat (AS) selama empat hari terakhir setelah kematian seorang pria Afrika-Amerika, George Floyd (46) di tangan polisi. Di tengah demonstrasi damai menuntut keadilan bagi korban, sejumlah kelompok telah mengambil keuntungan dari kekacauan dengan melakukan kekerasan dan penjarahan.
Kematian Floyd akibat lehernya dicekik dengan lutut oleh polisi telah memicu kerusuhan di seluruh negara bagian, dimulai dari Minneapolis dan St Paul kemudian menyebar ke sejumlah kota di AS seperti Atlanta, NYC, dan Washington DC.
Momen tertangkapnya Floyd hingga kehilangan kesadarannya akibat dicekik telah menyebabkan kekacauan nasional. Kasus ini juga telah memantik perdebatan tentang penggunaan kekuatan aparat berlebihan serta dugaan rasis di mata hukum AS. Masalah yang sama pernah terjadi setidaknya ada tiga gelombang protes besar selama dekade terakhir.
1. Ferguson: Dari Tembakan hingga Protes Nasional
Pada Agustus 2014, penembakan fatal oleh polisi terhadap Michael Brown (18) di Ferguson, Missouri telah memicu kerusuhan dan penjarahan di seluruh kota. Ratusan orang ditangkap karena telah melakukan serangkaian perusakan dan pembakaran toko dan pusat bisnis.
Seorang remaja berkulit hitam yang tidak bersenjata ditembak mati oleh polisi kulit putih Ferguson, Darren Wilson, setelah terjadi perampokan di sebuah toko terdekat.
Pada bulan November, majelis hakim memutuskan tidak mendakwa Wilson terkait insiden tersebut. Hal ini memicu gelombang protes baru di pinggiran kota St Louis dan menyebar ke kota-kota lain di seluruh AS, termasuk Los Angeles, Boston, dan New York.
Akhirnya, Departemen Kehakiman AS menerjunkan tim investigasi untuk melakukan penyelidikan ke Departemen Kepolisian Ferguson. Hasilnya, agen polisi tersebut dinyatakan terlibat dalam praktik-praktik diskriminatif terhadap masyarakat Afrika-Amerika untuk mencari keuntungan besar dari denda dan tuntutan pengadilan.
2. Kekacauan di Baltimore
Peristiwa serupa terjadi di Baltimore, Maryland pada April 2015, ketika petugas dari Departemen Kepolisian Baltimore secara brutal menangkap seorang pria kulit hitam bernama Freddie Gray. Pria berusia 25 tahun itu koma setelah mengalami cedera pada tulang belakang dan lehernya saat diangkut dengan mobil polisi dan meninggal seminggu kemudian.
Setelah berita tentang penangkapan dan kematian Gray menyeruak, berikutnya protes meletus di seluruh kota. Departemen Kepolisian dianggap gagal menjelaskan sebab musabab dari cedera hingga kematian Gray. Akibat kerusuhan hebat itu, puluhan petugas polisi menderita luka-luka, sekitar 200 orang ditangkap, sejumlah mobil dibakar dan ratusan toko lokal rusak. Sementara itu, para petugas yang awalnya dituduh terkait kematian Gray kemudian dibebaskan setahun kemudian.
3. Tembakan dan Kerusuhan di Charlotte
Pada September 2016, seorang pria Afrika-Amerika berusia 43 tahun, Keith Lamont Scott, ditembak mati oleh seorang polisi di Charlotte, North Carolina. Polisi itu yang juga seorang lelaki Afrika-Amerika, Brentley Vinson, mengatakan Scott, ayah dari tujuh anak yang diyakini sebelumnya menderita cedera otak, menolak untuk menyerahkan pistolnya saat ditangkap. Keluarga Scott membantah pernyataan itu, karena video kejadian telah beredar via online.
Setelah kematian Scott, pengunjuk rasa membawa rambu bertuliskan “Black Lives Matter” turun ke jalan-jalan di Charlotte selama dua malam berturut-turut. Beberapa demonstran bahkan melemparkan botol dan batu ke arah polisi, sehingga para petugas terpaksa menggunakan gas air mata dan peluru karet.
Belasan orang ditangkap dengan tuduhan penyerangan dan vandalisme. Penjarahan dan pembakaran juga terjadi selama kerusuhan, dengan satu orang warga sipil tewas ditembak mati di kepala.
Brentley Vinson tidak didakwa atas pembunuhan Keith Lamont Scott atas insiden tersebut. Penegak hukum menyimpulkan bahwa petugas itu telah bertindak sesuai prosedur. [wip]