(IslamToday ID) – Menteri Luar Negeri (Menlu) Turki, Mevlut Cavusoglu menyatakan pemimpin pemberontak Khalifa Haftar tidak lagi duduk di pemerintahan, sehingga seharusnya tidak lagi memiliki legitimasi di Libya.
“Seorang komplotan kudeta seperti Haftar, seorang yang mengklaim telah mengambil alih kekuasaan, enggan melakukan gencatan senjata, seharusnya tidak duduk di kursi pemerintahan. Dia seharusnya tidak perlu ditangani lagi,” kata Mevlut dalam wawancara langsung di televisi CNN Turk, Kamis (18/6/2020).
Ia menekankan bahwa sejauh ini masih belum ada gencatan senjata di Libya, bahkan setelah upaya itu dilakukan di Moskow dan Berlin.
Panglima Haftar yang milisinya memerangi Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang didukung PBB, meninggalkan perundingan di Moskow tanpa menandatangani perjanjian gencatan senjata yang disponsori Turki dan Rusia pada Januari lalu.
Kerjasama dengan Libya
Cavusoglu mengatakan kerja sama keamanan antara Turki dan pemerintah Libya dapat berkembang di masa depan.
“Kami memiliki perjanjian militer di masa lalu. Kami memiliki nota kesepahaman. Kami menandatanganinya pada hari yang sama dengan perjanjian yurisdiksi maritim. Ruang lingkup perjanjian dapat diperluas pada periode mendatang,” kata Cavusoglu.
November lalu, Turki dan Libya menandatangani pakta penting tentang kerja sama militer serta perbatasan di Mediterania.
Di bawah kesepakatan itu, Turki telah mengirim penasihat untuk membantu Angkatan Darat Libya mengalahkan milisi Khalifa Haftar yang didukung oleh Rusia, Mesir, Perancis, dan UEA.
Tentara Libya baru-baru ini memberikan pukulan keras terhadap Haftar dan membebaskan Tripoli dan Tarhuna, serta wilayah strategis lainnya, termasuk pangkalan udara Al Watiya.
Pemerintah yang diakui secara internasional telah diserang oleh milisi Haftar sejak April 2019, dengan lebih dari 1.000 orang tewas.
Kerja Sama Ankara-Washington
Dalam pidatonya via webinar dengan Komite Pengarah Nasional Amerika Turki (TASC), Cavusoglu mengatakan bahwa Ankara dan Washington akan bekerja sama di Libya dalam periode mendatang.
“Kami telah menerima instruksi untuk bekerja sama,” katanya sambil menambahkan bahwa Presiden Erdogan dan Donald Trump memiliki pendekatan yang sama terhadap Libya.
Erdogan sepertinya akan memulai era baru dalam hubungan bilateralnya dengan AS saat proses transisi di Libya. Hal itu setelah Erdogan dan Trump berkomunikasi via telepon.
Perancis Bertanggung Jawab
Cavusoglu mengatakan Perancis adalah salah satu negara yang memasok senjata bagi Haftar dan bertanggung jawab atas kekacauan di Libya.
Cavusoglu juga menggarisbawahi bahwa Paris akan menerima konsekuensi yang tepat jika mencoba memeriksa kapal-kapal Turki.
Pejabat militer Turki pada hari Kamis dengan tegas membantah tuduhan Perancis bahwa Turki telah melecehkan salah satu kapalnya yang terlibat dalam misi NATO di Mediterania.
“Kami bukan negara yang destruktif dan memecah belah seperti Perancis. Jika kamu memperlakukan sekutu NATO seperti ini, kamu akan mendapat balasan. Langkah-langkah yang diperlukan telah diambil,” ungkap Cavusoglu.
Seorang pejabat senior Turki yang enggan disebut namanya mengatakan tuduhan itu tidak berdasar dan Angkatan Bersenjata Turki telah menjadi sponsor utama aliansi militer NATO selama tujuh dekade terakhir.
“Angkatan Bersenjata Turki memiliki pengalaman untuk memberi tahu perbedaan antara langkah berbahaya, pelecehan, kegiatan ramah-tamah, kerja sama, solidaritas, dan koordinasi,” katanya. [wip]