IslamToday ID — Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) atau Pentagon mengumumkan, telah menggelontorkan US$ 396 juta atau Rp 5,64 triliun (asumsi kurs Rp 14.243) untuk membangun kapasitas pertahanan maritim sekutu dan mitranya di kawasan Indo-Pasifik.
Asisten Menteri Pertahanan AS David F. Healey mengungkapkan, kucuran dana tersebut merupakan bagian dari strategi pertahanan Indo-Pasifik AS.
Targetnya adalah negara-negara sekutu dan mitra AS antara lain, Filipina, Vietnam, Indonesia, Malaysia, Thailand , Sri Lanka, dan Bangladesh.
“Penguatan kemitraan dengan sekutu kami di Indo-Pasifik akan terus menjadi landasan strategi pertahanan kami. Sebab, tantangan yang tumbuh di wilayah ini memiliki dampak regional dan global yang besar,” pungkas David Healey, seperti dilansir dari The Epoch Times.
Perlu diketahui, Pentagon mulai menerapkan inisiatif keamanan maritim atau maritime security initiative (MSI), untuk membangun kapasitas pertahanan negara-negara Asia Tenggara di kawasan Laut Cina Selatan pada 2016.
Sejak inisiatif keamanan maritim ‘MSI’ diluncurkan AS telah mengucurkan lebih dari US$ 396 juta untuk memperkuat kapasitas pertahanan maritim negara-negara sekutunya.
Hal ini bertujuan dalam rangka membantu sekutu-sekutu AS mengatasi berbagai tantangan maritim di wilayah Indo-Pasifik, termasuk pengaruh China yang berkembang di Laut Cina Selatan.
Melalui inisiatif keamanan maritim ‘MSI’ , Washington bekerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara untuk meningkatkan kemampuan deteksi, pemahaman dan respons, serta berbagi informasi aktivitas udara dan laut di kawasan Indo-Pasifik, khususnya di Laut Cina Selatan.
Healey mengatakan, sebagai bagi dari prioritas MSI, Amerika Serikat (AS) juga mempromosikan jaringan Indonesia-Malaysia-Filipina untuk melakukan pengawasan maritim dan udara di Laut Cina Selatan.
MSI kemudian diperluas mencakup Bangladesh, Srilanka dan Myanmar, dengan pembangunan fasilitas pelatihan pertahanan senilai US$ 3,6 juta.
Fasilitas ini dibangun di Bangladesh dengan nama Institute of Peace Support Operations Training.
Ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan dalam beberapa bulan terakhir memanas. Para pengamat internasional menyatakan kekhawatiran karena China mulai meningkatkan aktifitas militernya di Laut Cina Selatan. Hal ini pun terjadi di saat negara-negara lain sibuk berurusan dengan pandemi COVID-19.
Akan tetapi ketegangan di Laut China Selatan memang tengah memanas, menyusul langkah militer Amerika Serikat yang juga cenderung provokatif.
Peristiwa hangat terbaru ialah saat Kementerian Luar Negeri Vietnam menyatakan bahwa dua kapal China menyerang kapal nelayannya pada Rabu pekan lalu. Kapal China menyita peralatan dan hasil tangkapan nelayan Vietnam di Laut Cina Selatan.
Kemudian, situasi makin memanas saat militer AS turut campur, dengan menerbangkan pesawat pembom B-1B dan drone pengintai Global Hawk di atas Laut Cina Selatan. Selain itu, pesawat pembom B-1B dan Global Hawk terbang dari Guam untuk mendukung Komando Indo-Pasifik dan secara khusus melakukan misi di Laut Cina Selatan.
Amerika Serikat baru-baru ini juga mengerahkankan dua kapal induknya ke Laut China Selatan, yakni USS Theodore Roosevelt dan USS Nimitz. Sedangkan, China juga melakukan hal yang sama dengan mengerahkan Dua kapal induk milik Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China, Liaoning dan Shandong, kedua kapal induk telah beroperasi di kawasan Laut Asia Tenggara itu.
Perlu diketahui, China mendirikan distrik administratif di masing-masing Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Padahal tak hanya China, Vietnam dan pihak lainnya turut mengklaim Kepulauan Spratly.
Meskipun klaim territorial atas LCS ditentang banyak pihak mulai dari Malaysia, Vietnam, Filipina, Thailand, Brunei, Taiwan. Pada awal tahun ini, China telah menyetujui pembentukan 2 distrik untuk mengelola pulau Paracel dan Spratly yang disengketakan di Laut China Selatan. Hal itu dilakukan dalam upaya untuk menegaskan kedaulatannya atas wilayah tersebut.
China mengklaim sebagai pemilik hampir seluruh kawasan Laut Cina Selatan. Masalahnya, Vietnam, Brunei, Malaysia, dan Filipina juga mengklaim hal yang sama. Indonesia pun memiliki kawasan yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, yakni di Kepulauan Natuna.[IZ]