(IslamToday ID) – Meski berada di wilayah kekuasaan Partai Komunis China (PKC), Hong Kong dulunya sangat unik. Hong Kong bisa dianggap sebagai benteng kebebasan pers di Asia selama beberapa dekade terakhir.
Harusnya kebebasan sipil di Hong Kong wajib dilindungi selama 50 tahun, sesuai perjanjian antara China dan Inggris saat penyerahan kembali pada 1997 lalu. Sebab itu pula kebanyakan kantor berita internasional seperti New York Times, CNN, Bloombarg, Wall Street Journal, CNBC, Financial Times, dan Agence France-Presse (AFP) memilih berkantor di sana.
Namun UU Keamanan Nasional yang disahkan China untuk Hong Kong membuat media asing ketar-ketir. “Undang-undang ini adalah pukulan telak. Ia adalah kematian bagi kebebasan pers seperti yang kita kenal di Hong Kong,” kata Yuen Chan, bekas reporter lokal yang kini mengajar di City University of London seperti dikutip dari AFP.
Meski belum sepenuhnya ditegakkan, UU Keamanan Nasional dinilai sudah menciptakan atmosfer yang tidak ramah bagi pers.
Selasa (14/7/2020) silam, New York Times mengumumkan akan merelokasi sepertiga stafnya di Hong Kong ke Seoul, Korea Selatan. Harian AS itu mengkhawatirkan proses perpanjangan izin tinggal bagi pegawainya akan dipersulit.
Belum lama ini otoritas Hong Kong menempatkan media plat merah yakni Radio & Television Hong Kong (RTHK) dalam pengawasan khusus. Kantor berita yang sepenuhnya dibiayai pemerintah itu selama ini memiliki reputasi cemerlang sebagai media independen. Namun oleh pemerintah, pemberitaan RTHK dalam aksi protes kelompok pro-demokrasi dinilai berat sebelah.
Dua kolumnis senior tabloid Apple Daily dikabarkan mengundurkan diri usai UU Keamanan Nasional disahkan. Tabloid pro-demokrasi itu dimiliki Jimmy Lai, pengusaha media yang oleh stasiun televisi China dijuluki “tangan hitam” yang bersekongkol dengan kekuatan asing untuk menghancurkan China.
Melalui undang-undang anti-subversi itu, PKC ingin memperkuat pengawasan terhadap media-media internasional. Menurut salah satu butir UU, pemerintah Hong Kong misalnya diwajibkan memperkuat manajemen”kantor berita asing.
“Kelihatannya mereka setidaknya akan mempertimbangkan izin tinggal sebagai alat untuk menghukum orang yang mereka tidak suka,” kata Keith Richburg, Direktur Pusat Penelitian Jurnalisme dan Media di Universitas Hong Kong.
Pada tahun 2018, koresponden Financial Times, Victor Mallet gagal mendapat perpanjangan visa hanya beberapa pekan setelah menggelar diskusi dengan sekelompok aktivis independen.
Sharron Fast, Wakil Direktur Jurusan Jurnalistik di Universitas Hong Kong, meyakini pasal tentang media asing di UU Keamanan Nasional memberi kesan bahwa Hong Kong akan mulai mengadopsi syarat akreditasi media ala China.
Media Lokal Paling Rentan
UU itu juga memberikan wewenang bagi kepolisian dan dinas rahasia Cina untuk melakukan pengawasan terhadap media. Hal ini, kata Fast, akan mempersulit tugas jurnalis melindungi identitas narasumber. “Klausul itu membuka jalan bagi penyadapan komunikasi dan pengawasan online,” katanya.
Media harus beroperasi di bawah kerangka hukum China, di mana pemberitaan yang dinilai menyulut kebencian terhadap pemerintah atau menyuarakan kemerdekaan dilarang dan dipersekusi. Sebab itu, jurnalis kini harus berhati-hati jika meliput aktivitas kelompok pro-demokrasi.
Ketika ditanya apakah sanggup menjamin kebebasan pers, Kepala Administrasi Hong Kong, Carrie Lam menyanggupi dengan syarat jurnalis harus menjamin mereka tidak akan melakukan pelanggaran yang tercantum di dalam UU Keamanan Nasional.
Media-media asing mewanti-wanti, kantor berita lokal akan menjadi yang paling rentan terkena dampak UU anti-subversi China. Bahkan sebelum UU tersebut disahkan, media Hong Kong sudah berulang kali mengeluhkan jumlah iklan anjlok drastis jika mereka menurunkan laporan kritis terhadap Beijing.
Namun begitu, Yuen Chan, dosen di City University of London, meyakini media tidak bisa dijinakkan semudah itu. “Jurnalis di Hong Kong akan melaporkan sebanyak dan selama mungkin,” katanya.
Jimmy Lai, pengusaha media lokal yang aktif mendukung kelompok pro-demokrasi, mengaku kesulitan melindungi para jurnalisnya. “Apa yang saya bisa lakukan adalah memerintahkan mereka untuk bekerja sesuai hati masing-masing,” ujarnya.
“Saya tidak bisa meminta mereka menjadi martir,” tambahnya. [wip]