(IslamToday ID) – Kelompok separatis di Yaman selatan telah berjanji untuk tidak lagi memberontak dan mematuhi perjanjian pembagian kekuasaan yang ditengahi Arab Saudi dengan pemerintah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Pengumuman Dewan Transisi Selatan (STC) pada hari Rabu (29/7/2020) menandai langkah besar menuju penyelesaian sengketa dalam perang Yaman. Itu terjadi setelah beberapa jam Saudi mempresentasikan rencana untuk mempercepat implementasi perjanjian damai yang sempat macet.
Ditandatangani di ibukota Saudi, Riyadh pada November tahun lalu, perjanjian itu menetapkan langkah untuk mengakhiri perseteruan jangka panjang antara pemerintah Hadi yang didukung Saudi dan separatis selatan yang didukung UEA. Kedua belah pihak diduga bersekutu dalam perang koalisi militer yang dipimpin Saudi melawan pemberontak Houthi Yaman, yang menguasai ibukota Sanaa.
Perjanjian Riyadh menetapkan pembentukan pemerintah persatuan baru dalam waktu 30 hari dan penunjukan gubernur dan direktur keamanan baru untuk Aden. Ini juga untuk menentukan antara lain sentralisasi semua kelompok bersenjata di bawah kendali pemerintah.
Tetapi kesepakatan itu tidak pernah dilaksanakan dan pada bulan April, separatis menyatakan pemerintahan sendiri dan menguasai Aden. Sebuah langkah yang memicu pertempuran sengit di Yaman selatan dan kepulauan Socotra.
Kebuntuan antara Saudi dan UEA di Yaman telah mengancam menghancurkan koalisi dan mempersulit upaya perdamaian. Konflik yang sudah berjalan lima tahun itu telah menewaskan puluhan ribu orang dan menciptakan bencana kemanusiaan terburuk di dunia.
“Kami telah mencapai tujuan kami,” kata Nizar Haitham, juru bicara STC, melalui Twitter pada hari Rabu, seperti dikutip di Al Jazeera.
“Dewan Transisi Selatan mengumumkan ditinggalkannya deklarasi pemerintahan sendiri untuk memungkinkan aliansi Arab mengimplementasikan perjanjian Riyadh,” tambahnya.
Menurut Haitham, langkah itu mengikuti keinginan dari Saudi dan UEA yang kemudian berlanjut pada kemitraan strategis STC dengan koalisi Arab.
Proposal Saudi
Sebelumnya pada hari Rabu, rencana Saudi telah terhambat berbulan-bulan seperti pembentukan pemerintahan yang terdiri dari 24 menteri dengan perwakilan yang seimbang antara utara dan selatan, termasuk separatis.
Mereka juga meminta penarikan pasukan saingan dari Aden dan provinsi selatan Abyan, dan memberikan perdana menteri Yaman saat ini, Maeen Abdulmalik Saeed, mandat untuk membentuk pemerintahan selama bulan berikutnya.
Tak lama setelah janji STC untuk membatalkan pemerintahan sendiri, kantor berita Yaman SABA yang ditunjuk pemerintah menunjuk direktur keamanan dan gubernur Aden yang baru, Ahmed al-Amlas.
Rajih Badi, juru bicara pemerintah Hadi, menyambut inisiatif Saudi dan menaruh harapan bahwa separatis akan mematuhi perjanjian demi kepentingan nasional yang perlu dan mendesak.
Khalid bin Salman, Wakil Menteri Pertahanan Saudi, mengatakan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) telah berupaya untuk mengimplementasikan kesepakatan Riyadh dalam mencapai perdamaian, keamanan, dan kemakmuran abadi untuk Yaman.
Kesepakatan kembali terjadi ketika Saudi dan UEA berusaha untuk mengakhiri peperangan mereka dengan pemberontak Houthi, yang telah menyebabkan jutaan orang ke ambang kelaparan dan perang berdarah.
Saudi mengumumkan gencatan senjata sepihak awal tahun ini, namun kini memudar. Musim panas lalu, UEA mengumumkan akan mengakhiri perannya dalam konflik, meskipun terus menggunakan pengaruhnya melalui proxy-nya, seperti kelompok separatis.
Mahjoob Zweiri, Direktur Pusat Studi Teluk di Doha, Qatar mengatakan perkembangan saat ini menunjukkan semua pihak lelah dengan konflik yang terjadi. Ia meragukan implementasi dari perjanjian Riyadh.
“Riyadh dan Abu Dhabi tidak setuju 100 persen tentang bagaimana harus dipindahkan. Dan bukan hanya kedua negara yang dapat memutuskan situasi di Yaman. Mereka juga butuh dukungan komunitas internasional, termasuk PBB dan Iran. Tapi tidak ada pemain yang memiliki kepercayaan pada Saudi dan UEA.”
“Tidak ada visi jangka panjang. Ada berbagai pihak dengan agenda berbeda dan tidak ada kesepakatan tentang ke mana harus melangkah.”
Human Rights Watch (HRW) pada bulan November juga mengkritik perjanjian Riyadh. HRW menyatakan perjanjian itu gagal menangani pelanggaran serius hak asasi manusia, termasuk penahanan sewenang-wenang dan penghilangan paksa puluhan orang. [wip]