(IslamToday ID) – Ketika pengunjuk rasa marah dengan menyerang bank-bank di seluruh Lebanon, pemerintah baru di Beirut dan gubernur bank sentral tetap berselisih dalam menangani krisis ekonomi.
Struktur keuangan pasca perang saudara di Lebanon, yang digambarkan sebagai sebuah sistem neo-liberal ekstrem, telah berada dalam pergolakan krisis ekonomi sejak 2018. Krisis ini menyebabkan konfrontasi antara para elite keuangan negara dan pemerintah teknokratis yang baru.
Riad Salame, bankir top di Lebanon serta menjadi gubernur bank sentral terlama di seluruh dunia dan Hassan Diab, seorang profesor teknik komputer yang kini berada di kantor kementerian utama, keduanya terlibat perselisihan secara terbuka. Ini mengingatkan akan sejarah panjang perang saudara di Lebanon.
“Rupanya ada perang antara sektor keuangan dan pemerintah di Lebanon. Gubernur bank sentral tampaknya menjadi perwakilan resmi sektor keuangan negara, di mana terlalu banyak banknya dibandingkan dengan populasi,” kata Gokhan Ovenc, asisten profesor ekonomi di Universitas Istanbul seperti dikutip di TRTWorld, Rabu (5/8/2020).
Pada bulan Maret, pemerintah Diab gagal membayar utang 90 miliar dolar AS. Ini sebagai pertanda adanya persoalan dan perpecahan antara pemerintah dengan bank sentral, yang menganjurkan untuk terus membayar utang.
Bulan lalu, IMF mengumumkan bahwa bank sentral yang dipimpin Salame kehilangan hampir 49 miliar dolar AS atau setara dengan lebih dari 90 persen total produksi ekonomi negara itu pada 2019. Menurut Financial Times, kerugiannya sama dengan nilai total simpanan yang dipegang oleh Banque du Liban dari bank komersial negara itu.
Kerugian bank sentral dan wanprestasi pemerintah meningkatkan ketegangan antara Diab, yang telah menginstruksikan demonstrasi jalanan terhadap para bankir, dan Salame, sosok yang tidak tersentuh secara politis, pernah menghadapi tujuh perdana menteri sebelum perdana menteri saat ini.
“Pemerintah mampu menggunakan kemarahan kelas menengah terhadap Salame, karena telah menjadi miskin sejak tahun lalu. Kelas menengah kehilangan setidaknya setengah dari kekayaannya dalam satu tahun terakhir, yang merupakan kerugian yang signifikan,” kata Ovenc.
Degradasi kelas menengah akan menjadi mimpi buruk bagi ekonomi negara manapun.
“Orang kaya biasanya berinvestasi di luar negeri atau memasukkan uangnya ke rekening bank asing. Orang miskin tidak punya uang untuk berinvestasi. Kelas menengah memastikan keberlanjutan sektor perbankan, berinvestasi di negara ini, dan menabung di sektor perbankan,” ujar Ovenc.
Di Lebanon, pemberi pinjaman telah memberlakukan pembatasan penarikan yang menyebabkan protes yang dimulai pada bulan Oktober.
Ketika sektor perbankan tenggelam dalam krisis seperti yang dialami Lebanon sekarang, kelas menengah yang secara historis kuat di negara itu, menunjukkan kemarahannya terhadap lembaga-lembaga yang dinilai bertanggung jawab atas hilangnya pendapatan finansial mereka.
Salame vs Diab
Salame telah memerintah Banque du Liban (BDL) sejak 1993, dengan model keuangan berbasis impor yang sangat tergantung pada sektor perbankan negara itu. Para bankir pun mendapatkan banyak uang dengan meminjam kepada pemerintah dengan suku bunga tinggi.
Tetapi karena sistem, yang membuat pound Lebanon dipatok terhadap dolar, juga mampu menarik mata uang asing, terutama deposito dolar dari pemberi pinjaman komersial untuk membantu membayar kembali pengeluaran pemerintah dan menyeimbangkan defisit perdagangan, memastikan stabilitas moneter hingga tahun lalu.
Dengan meningkatnya protes, aliran mata uang asing, terutama dari orang kaya Lebanon yang tinggal di AS, Kanada, dan Eropa, telah berhenti. Ini telah berdampak pada mata uang negara tersebut, yang nilai patokannya terhadap dolar tidak berubah untuk waktu yang lama.
Pada bulan Januari, pound Lebanon mencatat kerugian besar dari tingkat yang dipatok sebesar L £ 1.507 menjadi lebih dari £ 5.000, memicu berbagai masalah di seluruh negeri mulai dari kenaikan inflasi, yang telah menaikkan harga makanan dan meningkatkan pengangguran.
Kondisi ekonomi yang memburuk memicu kemarahan di jalan menuju bank ketika pengunjuk rasa mulai membakar bank-bank terkenal di Lebanon. Diab, salah satu tokoh politik yang tidak korup, menuntut Salame mereformasi sektor perbankan, yang telah menyebabkan rekor kerugian tahun ini.
“Riad Salame memiliki semua rahasia republik,” kata seorang eksekutif elite kepada Financial Times, merujuk pada fakta bahwa Salame memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengakhiri karier politisi terkenal.
Tetapi Diab tampaknya berbeda. “Bisa dibilang dia adalah bom waktu untuk para politisi. Satu-satunya yang tidak peduli adalah Diab,” kata seorang eksekutif yang enggan disebut namanya yang coba menggambarkan keberanian dan ketegasan sang perdana menteri.
Jika perang antara Diab dan Salame berlanjut, bantuan IMF juga mustahil bisa menyelamatkan negara tersebut. IMF bisa menilai Beirut sebagai negara yang terpecah, yang tidak dapat mengimplementasikan program bantuan keuangan yang diberikan.
“Tidak menerima diagnosa berarti IMF akan pergi,” kata Henri Chaoul, seorang bankir yang sebelumnya menasehati pemerintah Lebanon dalam pembicaraan dengan IMF. [wip]