(IslamToday ID) – Parlemen Lebanon menyetujui tentara mengambil alih kondisi darurat menyusul ledakan dahsyat di Beirut beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, kabinet telah mengumumkan keadaan darurat dua minggu pada 5 Agustus, sehari setelah ledakan di Beirut yang menewaskan sedikitnya 200 orang dan sekitar 6.000 lainnya luka-luka.
Parlemen pada hari Kamis (13/8/2020) mendukung pengumuman kondisi darurat delapan hari, seperti yang diwajibkan secara hukum, meskipun itu juga bisa ditolak.
Keadaan darurat memungkinkan tentara untuk mengekang kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, dan kebebasan pers, serta memasuki rumah dan menangkap siapapun yang dianggap mengancam keamanan.
Mengutip Al Jazeera, Jumat (14/8/2020), proses peradilan akan dilakukan di pengadilan militer negara, yang menurut Human Rights Watch (HRW) dan kelompok hak asasi lainnya tidak sesuai dengan standar proses hukum.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) telah menyuarakan keprihatinan serius tentang keadaan darurat itu. Mereka mengatakan pasukan keamanan akan memungkinkan untuk menindak kemarahan publik terhadap penguasa pasca ledakan itu.
Ledakan besar itu, salah satu ledakan non-nuklir terbesar dalam sejarah, dipicu oleh sekitar 2.750 ton bahan kimia berbahaya yang disimpan di Pelabuhan Beirut selama hampir tujuh tahun, dengan sepengetahuan pejabat keamanan dan elite politik.
Ruang untuk Protes
Mengutip “militerisasi negara”, anggota parlemen Osama Saad adalah satu-satunya dari 119 anggota majelis, jumlah yang berkurang setelah pengunduran diri sembilan anggota parlemen sejak ledakan, yang menentang status keadaan darurat itu.
Ketua Parlemen Nabih Berri menyatakan bahwa tentara tidak mengambil langkah-langkah yang ditakuti orang, atau menekan siaran televisi, tidak melakukan intervensi, dan memberikan ruang untuk protes. Karena tidak disiarkan di televisi, maka pernyataan dari pembuat undang-undang diberitakan oleh media lokal.
Tetapi tentara Lebanon, Pasukan Keamanan Dalam Negeri, dan perwira berpakaian preman terlihat menggunakan kekerasan yang berlebihan terhadap pengunjuk rasa anti pemerintah pada hari Sabtu.
Sekitar 728 orang terluka, dan banyak yang menderita luka serius yang membutuhkan operasi darurat. Sekitar 12 wartawan juga diserang, termasuk setidaknya empat orang yang diserang oleh tentara, salah satunya adalah reporter Al Jazeera.
Kontrol Jalanan
Keadaan darurat diberlakukan hingga 21 Agustus, tetapi masih bisa diperbarui.
Karim Nammour, anggota Legal Agenda NGO, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa keadaan darurat sama sekali tidak diperlukan untuk mengatasi persoalan setelah ledakan di Beirut, mengingat negara itu telah berada dalam keadaan “mobilisasi umum” karena pandemi virus corona.
‘Mobilisasi umum ini telah memungkinkan kabinet (penguasa) untuk memobilisasi angkatan bersenjata dan untuk mengontrol gudang dan hal-hal yang bersifat strategis, termasuk mengendalikan harga barang-barang seperti kaca dan kayu, serta untuk mengangkat puing-puing dan memberikan bantuan kepada banyak orang,” kata Nammour.
“Satu-satunya alasan sebenarnya yang dapat kita lihat untuk keadaan darurat negara adalah memberikan wewenang pasukan keamanan untuk mengendalikan jalanan,” tambahnya.
“Rezim yang berkuasa tahu bahwa ia lemah dan tidak populer di jalanan. Rezim takut karena jari-jari pemrotes diarahkan ke mereka, dan ada seruan untuk membalas dendam,” pungkasnya. [wip]