(IslamToday ID) – Kebijakan deradikalisasi pemerintah Perancis malah menabur benih kebencian lebih luas di masyarakat khususnya terhadap warga muslim yang tinggal di negara itu. Dua perempuan muslim berjilbab menjadi korban penikaman di taman bawah Menara Eiffel yang merupakan simbol Perancis pada 21 Oktober lalu.
Para penyerangnya adalah dua perempuan keturunan Eropa. Mereka dilaporkan meneriakkan makian seperti “orang Arab kotor” dan “pulanglah ke negaramu sendiri” sambil menusukkan pisau ke tubuh para korban.
Menanggapi insiden tersebut, polisi Perancis tidak mencatatnya sebagai sebuah kejahatan rasial. Namun pengacara kedua korban mengajukan protes dengan meminta pihak berwenang untuk menyelidiki kasus tersebut sebagai kejahatan rasial. Penyerang sendiri melakukan penghinaan rasis karena para korban berasal dari ras dan agama tertentu.
“Tidak bisa disangkal bahwa ada hubungan pertentangan kelas politik khususnya sekuler terhadap muslim, sejak serangan Conflans-Sainte-Honorine (pemenggalan terhadap seorang guru),” kata pengacara kedua korban, Arie Alimi, seperti dikutip dari TRT World, Jumat (23/10/2020).
Alimi mengatakan serangan terhadap kliennya tidak diragukan lagi terkait dengan agama Islam yang dianut. Meskipun polisi awalnya menolak akan hal ini. “Dikhawatirkan tindakan seperti ini akan terjadi di tempat lain,” ujarnya.
Insiden penikaman itu terjadi hampir sepekan setelah pemenggalan mengerikan terhadap seorang guru SMP, Samuel Paty, di Conflans-Sainte-Honorine. Ia dibunuh oleh seorang muslim fanatik karena menunjukkan karikatur kontroversial Nabi Muhammad saat pelajaran di kelas. 15 Orang termasuk anggota keluarga tersangka sudah ditahan.
Menurut Yasser Louati, aktivis HAM yang berbasis di Paris dan mantan juru bicara Collective Against Islamophobia di Perancis, penikaman terhadap perempuan muslim itu adalah manifestasi dari respons anti-radikalisasi pemerintah Perancis yang terburu-buru.
Kampanye anti-radikalisasi pemerintah Perancis juga hanya memicu kemarahan yang lebih luas, sehingga menyebabkan aksi pembalasan terhadap muslim yang tidak bersalah.
“Muslim di Perancis telah hidup dalam lingkungan anti-muslim setidaknya selama 25 tahun. Dan sekarang mereka dianggap bertanggung jawab atas pemenggalan kepala guru itu,” kata Louati.
Karena muslim Perancis selalu merasa dirugikan oleh sistem dan menjadi sasaran hukuman kolektif atas kejahatan orang lain, maka muncul reaksi yang salah satunya adalah pemenggalan guru itu.
Menteri Dalam Negeri Perancis, Geral Darmanin dalam sebuah tweet menyebut dua LSM muslim, yakni Kota Baraka dan Kolektif Melawan Islamofobia (CCIF) sebagai musuh Perancis, sehingga harus dibubarkan. Kedua organisasi tersebut telah membantah klaim “memaafkan terorisme”.
Banyak asosiasi muslim lainnya yang sebelumnya telah diberikan subsidi oleh pemerintah, kini menjadi sasaran tindakan keras.
Bagi Louati, tanggapan deradikalisasi Presiden Macron seperti melemparkan minyak ke atas api, karena hanya mengarah pada pengucilan entitas muslim dari masyarakat Perancis.
Pada tahun 2013, sebuah laporan rahasia yang bocor tentang kontra radikalisasi oleh Sekretariat Jenderal Pertahanan dan Keamanan Nasional (SGDSN), menyebut pendekatan kontra-radikalisasi represif pemerintah Perancis sebagai kegagalan total dan menuntut para pemimpin agama dan pemimpin masyarakat untuk terlibat dalam program-program tersebut.
Namun definisi radikalisasi di mata pemerintah masih belum jelas. Ini adalah konsep ambigu yang digunakan di bawah tekanan peristiwa, menurut sebuah laporan tentang bagaimana mencegahnya disampaikan di Senat Perancis pada tahun 2017.
Hukuman Kolektif
Pemerintah Perancis dinilai tidak mampu untuk mencapai keseimbangan antara kontra terorisme dan hukuman kolektif terhadap warga muslim di masa lalu.
Misalnya, pada 2015, pemerintah Perancis mengadopsi keadaan darurat nasional untuk melacak dan menghancurkan jaringan ekstremis di negara tersebut. Langkah itu dilakukan sebagai tanggapan atas serangan teror di kantor Charlie Hebdo, sebuah majalah satir yang menerbitkan gambar kontroversial Nabi Muhammad. Sedikitnya 12 orang tewas dalam serangan itu dan membuat Perancis terguncang.
Undang-undang darurat yang memberi polisi kekuasaan tak terkendali untuk menangkap siapapun hanya karena dicurigai dan menyerang properti pribadi secara tiba-tiba, diperpanjang selama beberapa bulan. Polisi melakukan hampir 3.600 penggerebekan tanpa jaminan sejak diberlakukannya undang-undang itu, sementara serangan Islamofobia terhadap muslim meningkat di seluruh negeri.
Dari 3.600 penggerebekan itu, hanya enam yang mengarah pada investigasi kriminal terkait terorisme.
Meskipun respons polisi sebagian besar tidak memihak pada warga muslim, namun orang-orang dari komunitas minoritas itu sama-sama berduka atas insiden pemenggalan kepala guru tersebut.
“Ada banyak peringatan dan peringatan untuk guru yang dibunuh dan banyak guru muslim menghadiri upacara ini untuk rekan mereka,” kata Nadine Sayegh, peneliti berbasis di Paris yang mengkhususkan diri dalam Keamanan Manusia dan Melawan Ekstremisme Kekerasan.
“Masalah sebenarnya adalah perlakuan yang tidak setara dalam hukuman untuk kejahatan semacam itu,” katanya sambil menunjukkan tindakan balasan pemerintah yang hampir selalu membidik komunitas muslim.
“Perempuan kulit putih yang menyerang perempuan muslim telah ditangkap karena percobaan pembunuhan, bukan kejahatan rasial. Tidak ada seorang pun yang terkait dengan mereka yang ditangkap,” tambahnya.
Yannis Mahil, seorang akademisi dari Strasbourg, mengatakan dirinya merasakan tekanan psikologis yang dalam karena menjadi seorang muslim karena terancam menjadi sasaran. Dalam kondisi saat ini, masyarakat mendorong muslim untuk menyalahkan diri mereka sendiri atas kejahatan yang tidak mereka lakukan.
Bagi Louti, proses pelabelan muslim sebagai tersangka telah merampas hak mereka untuk berduka bersama dengan sesama warganya, karena rasa duka sering dibayangi oleh rasa takut. “Anda pergi tidur karena syok, Anda tidur karena takut polisi di depan pintu rumah Anda,” katanya. [wip]