ISLAMTODAY ID — Kementerian Luar Negeri China mengecam keras pernyataan Paus Fransiskus yang dalam buku barunya yang berjudul Let Us Dream: The Path to A Better Future.
Untuk pertama kalinya, Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Roma itu menyinggung nasib Muslim Uighur di China sebagai warga yang “teraniaya”.
Menurut pemerintah China, pernyataan Paus Fransiskus itu sama sekali tidak memiliki dasar faktual.
“Orang-orang dari semua kelompok etnis menikmati hak penuh untuk bertahan hidup, berkembang, dan kebebasan berkeyakinan,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian, dalam konferensi pers di Beijing, Selasa (24/11), dilansir dari Al Jazeera.
Beijing telah menolak tuduhan itu sebagai upaya untuk mendiskreditkan China. Beijing berdalih dengan mengatakan kamp-kamp itu adalah pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan sebagai bagian dari tindakan kontra-terorisme dan deradikalisasi.
Banyak pihak menilai Vatikan enggan berbicara tentang Uighur sebelumnya karena sedang dalam proses memperbarui perjanjian kontroversial dengan Beijing mengenai pengangkatan Uskup. Kesepakatan itu diperbarui pada bulan September lalu.
Langkah Paus tersebut sebelumnya selama bertahun-tahun telah dituntut oleh para aktivis hak asasi manusia.
“Pandemi Covid-19 harus memacu pemerintah untuk mempertimbangkan secara permanen membangun pendapatan dasar universal.” Tulisnya dalam buku, seperti dilansir dari TRT World, Selasa (24/11).
Buku Let Us Dream merupakan hasil kolaborasi dengan penulis biografi Paus berbahasa Inggris, Austen Ivereigh. Dalam buku berjumlah 150 halaman itu, Paus Franciskus berbicara tentang perubahan ekonomi, sosial dan politik yang menurutnya diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan dan kesenjangan sosial-ekonomi setelah pandemi berakhir.
Beredar kabar buku tersebut mulai dijual secara publik pada 1 Desember mendatang.
“Saya sering berpikir tentang orang-orang yang teraniaya: Rohingya, Uighur yang malang, Yazidi,” ungkap Francis sembari mengklaim tudingan penganiayaan umat Kristen di negara Muslim.
Para pemimpin agama, kelompok aktivis, dan pemerintah mengatakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida sedang terjadi terhadap Muslim Uighur di wilayah Xinjiang, China, lokasi dimana lebih dari satu juta penduduk Uighur ditahan di kamp-kamp.
Bulan lalu, selama konferensi di Vatikan, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengecam keras China atas perlakuannya terhadap Uighur.
Sebagai informasi, Vatikan bulan lalu telah memperbarui perjanjian kontroversialnya dengan Beijing tentang pencalonan uskup Katolik. Mengenai itu, Paus Fransiskus disebut harus berhati-hati untuk tidak mengatakan atau melakukan apa pun yang menyinggung pemerintah China.
Meskipun, China dan Vatikan tidak memiliki hubungan formal sejak Partai Komunis memutuskan hubungan dan menangkap ulama Katolik, setelah merebut kekuasaan pada tahun 1949 silam.
Kamp-Kamp di Xinjiang
Pada awal Oktober lalu, 39 negara anggota PBB menuntut China membuka akses bagi pengamat independen untuk mengunjungi Provinsi Xinjiang. Hal itu guna menyingkap kebenaran tentang dugaan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur di daerah tersebut. Inggris, Amerika Serikat (AS), Swiss, Kanada, Jepang, dan Norwegia adalah beberapa negara yang tergabung dalam 39 negara tersebut.
China telah dituding melakukan pelanggaran HAM secara terstruktur, sistematis, dan masif di wilayah Xinjiang. Beijing dilaporkan menahan lebih dari satu juta Muslim Uighur di kamp-kamp interniran. Aktivitas indoktrinasi agar mereka memuja pemerintah dan Partai Komunis Cina (PKC), termasuk Presiden Xi Jinping, dilakukan secara intensif.
Dengan adanya kamp konsentrasi itu, negara-negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan pemerintahan lainnya, juga kelompok HAM, mulai bersuara. Berdasarkan pernyataan, fasilitas yang layaknya penjara itu justru dimaksudkan untuk memisahkan Muslim dari agama dan warisan budaya mereka.
Beijing membantah semua tudingan dan laporan tersebut. Mereka tak menyangkal keberadaan kamp-kamp di Xinjiang. Namun Beijing mengeklaim mereka bukan kamp penahanan, tapi pusat pendidikan vokasi.[IZ]