ISLAMTODAY — Forum KTT ASEAN yang diadakan di Jakarta membahas mengenai konflik kekerasan yang ada di Myanmar. Pertemuan tersebut dilaksanakan di Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta Selatan, Sabtu (24/4/2021), pukul 14.00 WIB.
Indonesia menjadi tuan rumah sekaligus pioner pertemuan ini. Langkah yang diambil Indonesia mengukuhkan kembali posisi ASEAN.
Menurut Pengkaji Geopolitik di Global Future Institute, Hendrajit, menyatakan bahwa “Langkah-langkah Indonesia itu kelihatan mengikuti betul speed spirit dari forum policy yang bebas aktif itu ,” ujarnya
Namun, diantara beberapa negara – negara anggota yang hadir, beberapa pemimpin negara absen pada pertemuan siang itu . Thailand, Laos dan Filipina dipastikan tidak akan menghadiri KTT asean khusus ini. Hal ini disampaikan Menlu RI Retno Marsudi dalam keterangan pers jumat sore (23/4).
Menurut Retno bahwa Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, telah menyampaikan permintaan maaf pada Presiden Joko Widodo melalui telepon pada hari Kamis (22/4).
“PM Thailand menyampaikan permintaan maaf tidak dapat hadir karena situasi COVID di dalam negeri Thailand,” ungkap Retno.
Sedangkan Filipina akan diwakilkan oleh Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin. Menurut Juru Bicara Presiden Rodrigo Duterte, Harry Roque, karena persyaratan tatap muka pada pertemuan sehingga Ia memastikan ketidakhadiran Duterte dalam Forus KTT tersebut.
Sementara itu, belum ada informasi terkait alasan Perdana Menteri Laos Phankham Viphavanh tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
ASEAN dan “Proxy”
Pengkaji Geopolitik di Global Future Institute, Hendrajit, melalui wawancara telepon dengan Islamtoday.id mengungkapkan kemungkinan dibalik ketidakhadiran negara tersebut.
“Nah ini dua-duanya (Filipina dan Thailand) the founding member justru tidak hadir. Ini berarti ada satu yang sudah membelah (ASEAN) kembali,” ujarnya.
Hendrajit menambahkan bahwa tidak terlalu mengejutkan jika Filipina tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Hal ini merujuk pada front kolusi Filipina yang tidak independen, sehingga jika ada hal krusial yang menyangkut kepentingan nasional Amerika Serikat maka Filipina akan ‘en block’ dalam satu garis.
“Karena pertama ada ikatan tradisional dalam keamanan maupun strategi. Jadi setiap kali ada hal-hal yang menghadapkan antara persaingan Amerika dengan China di Asia Tenggara termasuk Laut Cina Selatan, ya itu otomatis dia (Filipina) akan en block ke Amerika. Nah bentuknya itu antara lain tidak hadir di KTT ASEAN ”, tambahnya.
“Kalau Filipina jelas memang sekutu tradisional Amerika. Jadi politik luar negeri jelas tidak independen dalam hal ketika Amerika tidak mentolerir lagi hal yang abu-abu tapi kalau masih (tolerir) dia kan ikut”, paparnya.
Hendrajit menyatakan bahwa jika dua dari lima founding members ASEAN tidak menghadiri Pertemuan khusus ini maka ada hal yang mengkhawatirkan.
“Ini persoalan yang krusial kalau bicara ruh ASEAN ini jadi gimana sekarang…. berarti gerakan adidaya terutama dari Barat Amerika untuk mem-proxy negara-negara ASEAN “berhasil”, “ ujarnya.
Kehadiran Jenderal Min Aung Hlaing
Kedatangan Jenderal Min Aung Hlaing pada pertemuan tersebut menimbulkan beberapa reaksi dan pertanyaan. Terlebih pemerintah Bayangan Myanmar yang disebut Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) mempertanyakan tidak adanya undangan baginya untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Sementara itu, menurut Hendrajit keputusan ASEAN untuk hanya mengundang Pemerintahan Min Aung Hlaing itu logis.
“Realitanya begitu, dia (Min Aung Hlaing) diambil menjadi Leading actor baik dalam de facto maupun de jure,” ungkapnya.
“Militer punya legalitas yang mengacu pada Undang-undang pada pasal dimana jika ada krisis nasional yang mempertaruhkan kepentingan bangsa, maka militer mempunyai special authority untuk mengambil alih atau mengambil tindakan yang memiliki dampak politik”.
Merujuk pada hal tersebut, wajar jika ASEAN mengundang Pemerintahan Jenderal Min Aung Hlaing. Sebaliknya, justru mengkhawatirkan jika oposisi yang mendapatkan undangan, ungkap Hendrajit.
Mengutip laporan BBC, Min Aung Hlaing mendengar seruan dari para pemimpin Asia Tenggara sehingga pasukannya berhenti membunuh pengunjuk rasa dan membebaskan tahanan politik. Kesepakatan tersebut tertuang dalam lima poin konsensus.
Adapun kelima poin tersebut meliputi pertama; penghentian kekerasan di Myanmar harus melibatkan semua pihak dengan pengendalian sepenuhnya. Poin kedua, perlu diadakan dialog konstruktif di antara semua pihak terkait untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat Myanmar.
Sedangkan poin ketiga dan keempat yaitu utusan khusus Ketua ASEAN, Brunei, akan memfasilitasi mediasi proses dialog, dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN dan ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui ASEAN Coordinating Center for Humanitarian Assistance on Disaster Management. Poin terakhir menyatakan bahwa utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.
Kepentingan China dan Rusia
Sementara itu, Pengamat hubungan internasional Ramadhan Muhaimin menilai ada kepentingan China dan Rusia di balik penyelenggaraan ASEAN Leaders Meeting yang membahas krisis Myanmar.
Hal itu bisa dilihat dari pertemuan empat menteri negara-negara ASEAN yang bertemu di China untuk membahas krisis Myanmar pada akhir Maret hingga awal April lalu.
Ramdhan Muhaimin mengatakan Rusia dan China selama ini berada di belakang junta militer dan situasi di Myanmar akan berdampak secara global jika situasi kekerasan terus berlangsung.
“China dan Rusia pada satu sisi mengecam kekerasan di Myanmar, tapi di sisi lain mencegah sanksi internasional untuk junta,” ujar Ramdhan kepada Anadolu Agency pada Kamis (22/4).
Ramdhan mengatakan sebenarnya ada ASEAN Regional Forum yang bisa digunakan untuk membahas masalah-masalah politik keamanan di kawasan, seperti krisis Myanmar.
Namun forum ini, kata dia, selain memiliki jadwal pertemuan reguler, juga mengundang kekuatan-kekuatan besar lainnya di luar ASEAN seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Jepang, Rusia dan Uni Eropa (UE) untuk terlibat dialog secara konstruktif.
“Ini yang dihindari China sehingga mereka mendesak adanya pertemuan ASEAN Leaders Meeting, bukan ASEAN Regional Forum,” ungkap Ramdhan.
Ramdhan menegaskan ASEAN tidak boleh didikte oleh China dan kekuatan luar karena akan berbahaya bagi kredibilitas dan independensi ASEAN.
“Di satu sisi ASEAN tidak boleh intervensi kepada persoalan domestik oleh anggotanya atas nama ASEAN Way atau non-intevention principle, tapi di sisi lain organisasi regional ini rentan diintervensi kekuatan besar lainnya di luar forum resmi seperti ASEAN Regional Forum,” ucap Ramdhan.
Sehingga, lanjut Ramdhan, sangat rasional jika ada suara dari kelompok masyarakat sipil agar Jakarta menolak kehadiran Jenderal Min Aung Hlaing.
“Dan ini juga tidak baik untuk kredibilitas Indonesia jika menerima sang jenderal, sementara kekerasan HAM masih berlangsung di negerinya oleh tentaranya terhadap rakyatnya sendiri,” tukas Ramdhan.
Sebagai tuan rumah pertemuan, yang seharusnya adalah Bandar Sri Begawan, Jakarta mempertaruhkan kredibilitasnya sekaligus sebagai peluang bagi Indonesia memasukkan kepentingan nasional di Kawasan.
Akhir Maret hingga awal April Menteri Luar Negeri China Wang Yi bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Malaysia Hishamuddin Hussein, Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakhrisnan, dan Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Jr. di Fujian, China.
Dalam pertemuan itu, China memberikan dukungan ASEAN untuk menyelesaikan krisis, termasuk mendukung inisiatif Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan konflik Myanmar dengan KTT ASEAN.
“Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, memiliki kekhawatiran yang sama terhadap perkembangan situasi dan tidak ingin melihat rakyat Myanmar menderita,” kata Retno pada konferensi pers virtual pada Jumat, 2 April 2021, saat lawatan ke China.
Pada akhir Maret, Menlu Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov mengadakan pembicaraan perihal situasi Myanmar dan mendukung KTT ASEAN.
Penulis: Resa Enggar