ISLAMTODAY ID — Sheikh Jarrah, lingkungan pemukiman Palestina di Yerusalem Timur sejak awal 2020 secara gencar akan digusur oleh Israel. Dahulunya adalah area perkebunan buah yang terletak kurang dari satu kilometer di utara tembok kuno Kota Tua Yerusalem.
Pada awal abad ke-20, keluarga kaya Palestina pindah untuk membangun rumah modern di daerah tersebut, dilansir dari Middle East Eye (MEE), Kamis (6/5),
Mereka melarikan diri dari jalan-jalan sempit dan hiruk pikuk rumah kedap udara mereka di Kota Tua.
Nama daerah ini pun mengacu pada dokter pribadi tokoh pembebas Suriah, Shalahuddin, yang diyakini telah menetap di sana ketika tentara Muslim merebut kota itu dari tentara salib Kristen pada tahun 1187.
Peristiwa Nakba 1948
Pada tahun 1956, 28 keluarga Palestina menetap di lingkungan tersebut.
Keluarga-keluarga itu adalah bagian dari populasi yang lebih luas yaitu 750.000 yang diusir paksa oleh milisi Zionis selama perang tahun 1948 dari kota-kota Arab dan kota-kota yang menjadi Israel.
Aksi tersebut dikenal oleh orang Palestina sebagai peristiwa “Nakba”, atau “malapetaka”.
Sebelumnya, Yerusalem Timur dikelola oleh Kerajaan Hashemit Yordania, yang memerintah di wilayah Tepi Barat.
Yordania telah membangun rumah untuk 28 keluarga Palestina pada tahun 1956 dengan persetujuan dari Badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA.
Pada tahun 1960-an, keluarga tersebut menyetujui kesepakatan dengan pemerintah Yordania yang akan menjadikan mereka pemilik tanah dan rumah.
Akhirnya mereka menerima akta tanah resmi yang ditandatangani atas nama mereka setelah tiga tahun. Sebagai gantinya, mereka akan melepaskan status pengungsi mereka.
Namun, kesepakatan itu dibatalkan ketika Israel merebut dan secara ilegal menduduki Tepi Barat dan Yerusalem Timur dalam Perang Timur Tengah tahun 1967.
Sementara itu, Yordania kehilangan kendali atas wilayah tersebut.
Saat ini, ada 38 keluarga Palestina yang tinggal di Sheikh Jarrah, 4 di antaranya menghadapi penggusuran dalam waktu dekat, sementara 3 diperkirakan akan dipindahkan pada 1 Agustus mendatang.
Sisanya berada dalam tahap kasus pengadilan yang berbeda, berhadapan langsung dengan kelompok pemukim illegal Yahudi yang kuat di pengadilan Israel.
Skenario “Holy Basin”, Pemukiman Ilegal Yahudi
Sejak Israel merebut Yerusalem Timur dalam perang tahun 1967, organisasi pemukim illegal Israel telah mengklaim kepemilikan tanah di Sheikh Jarrah.
Mereka telah mengajukan beberapa tuntutan hukum yang berhasil untuk mengusir warga Palestina dari lingkungan itu.
Dua kelompok pemukim illegal Yahudi mengajukan tuntutan hukum yang mengatakan bahwa Yahudi Sephardic memiliki tanah tersebut pada tahun 1885, selama pemerintahan Turki Utsmani, yang berakhir pada tahun 1917.
Israel telah membuat klaim serupa untuk memiliki tanah Palestina yang terletak kurang dari satu kilometer dari Kota Tua Yerusalem.
Israel memiliki rencana permukiman besar yang disebut “Holy Basin,” yang merupakan seperangkat unit pemukim dan serangkaian taman bertema tempat-tempat dan tokoh-tokoh dalam Kitab Talmud di sekitar Kota Tua Yerusalem.
Rencana tersebut berdampak pada penggusuran rumah Palestina di daerah tersebut.
Pada November lalu, pengadilan Israel meratifikasi penggusuran 87 warga Palestina dari daerah Batan al-Hawa di Silwan, selatan Masjid Al-Aqsa.
Pengadilan Israel mendukung kelompok pemukim Ilegal Yahudi, Ateret Cohanim.
Kelompok ini bertujuan untuk memperluas kehadiran pemukim di dalam lingkungan Palestina di Yerusalem Timur dan di sekitar dan di dalam Kota Tua.
Disayangkan, kelompok ini telah menggugat penduduk Batan al-Hawa.
Mereka mengklaim bahwa tanah tersebut dimiliki oleh orang-orang Yahudi Yaman selama periode Utsmani hingga 1938, ketika Mandat Inggris memindahkan mereka karena ketegangan politik.
Hukum Israel mendukung pemukim illegal dengan hanya mengizinkan orang Yahudi untuk mengklaim properti yang mereka klaim telah mereka miliki sebelum 1948 sambil menolak hak yang sama untuk orang Palestina.
Ketidakadilan Bagi Palestina
Pada hari Ahad (2/5), Mahkamah Agung Israel memerintahkan agar keluarga Iskafi, Kurdi, Jaanoi dan Qassem – yang terdiri dari 30 orang dewasa dan 10 anak-anak – mengungsi dari rumah mereka sebelum 6 Mei. Keluarga-keluarga ini telah dibujuk di sekitar pengadilan selama hampir empat tahun.
Pengadilan memberi waktu bagi keluarga Hammad, Dagani dan Daoudi yang tinggal di daerah yang sama hingga 1 Agustus untuk mengungsi.
Pada tahun 1982, kelompok pemukim Israel meminta pengadilan untuk mengusir 24 keluarga Palestina yang tinggal di Sheikh Jarrah.
Pada tahun 1991, keluarga menghadapi putaran lain ketika mereka menuduh pengacara Israel dan perwakilan hukum mereka memalsukan tanda tangan mereka pada dokumen pada tahun 1991 yang menyatakan bahwa kepemilikan tanah adalah milik para pemukim.
Sejak itu, warga Palestina di Sheikh Jarrah telah diperlakukan sebagai penyewa di depan pengadilan Israel.
Mereka menghadapi perintah pencopotan yang memungkinkan jalan bagi pemukim Yahudi untuk mengambil alih rumah-rumah mereka.
Pada tahun 2005, pengadilan Israel menolak dokumen Utsmani yang diajukan oleh Suleiman Darwish Hijazi, salah satu penduduk Sheikh Jarrah, sebagai bukti kepemilikannya atas tanah tersebut.
Pada tahun 2002, 43 warga Palestina diusir dari daerah tersebut dan pemukim Israel mengambil alih properti mereka.
Sedangkan, pada tahun 2008, keluarga al-Kurd dipindahkan, dan pada tahun 2009, keluarga Hanoun dan Ghawi digusur, serta pada tahun 2017 keluarga Shamasneh juga diusir dari rumah mereka oleh pemukim Israel.
Palestina telah meminta Yordania untuk merilis dokumen resmi untuk membuktikan kepemilikan mereka.
Pada bulan April lalu, Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi menyerahkan dokumen yang membuktikan kepemilikan Palestina atas properti mereka di Sheikh Jarrah.
Langkah ini dalam upaya untuk mencegah penggusuran massal baru.
Pekan lalu, pemerintah Yordania meratifikasi 14 perjanjian dari tahun 1960-an dengan keluarga Palestina di Syekh Jarrah untuk memperkuat posisi mereka melawan pengadilan Israel.
Sejak awal tahun 2020, pengadilan Israel telah memerintahkan penggusuran 13 keluarga Palestina di Sheikh Jarrah.
Daerah itu menjadi simbol protes dan perlawanan serta aksi solidaritas, para aktivis Palestina melawan pendudukan dan penjajahan Israel.[Resa/MEE]