ISLAMTODAY —Sekretaris Eksekutif I Kementerian Koordinator Perekonomian Raden Pardede angkat bicara soal krisis energi yang melanda sejumlah negara saat ini.
Raden Pardede menyebutkan salah satu yang bisa dilakukan Indonesia adalah dengan meningkatkan produksi dan mempersiapkan kapasitas cadangan sumber daya energi nasional.
Salah satu kontributor krisis energi saat ini, menurut Raden, adalah menipisnya sumber energi fosil. Industri fosil sudah ditinggalkan oleh investor, bank dan pasar modal.
“Mereka beralih ke energi hijau, sedangkan transisi energi justru belum siap,” ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Sabtu, 23 Oktober 2021.
Oleh karena itu, kata Raden, Indonesia harus segera mempersiapkan dan menggenjot cadangan sumber daya energi nasionalnya.
“Indonesia harus well-planned karena krisis energi yang terjadi bagian transisi yang kurang matang dilakukan dunia,” pungkasnya.
“Kita perlu belajar. Mumpung masih ada waktu dan belum terjadi krisis energi.”
Dalam Grand Strategy Energi Nasional (GSEN), pemerintah berupaya mewujudkan ketahanan dan kemandirian nasional di antaranya dengan menggenjot produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari. Selain itu dengan cara mengakuisisi lapangan minyak di luar negeri untuk kebutuhan kilang.
Sepanjang 2019-2021, pencapaian nilai penggunaan produk dalam negeri (TKDN) terhadap biaya didominasi jasa dengan capaian sebesar 66 persen dan industri barang hanya 20 persen. Pandemi Covid-19 secara tak langsung juga telah mengoreksi penjualan industri penunjang lebih dari 50 persen.
Untuk meningkatkan kandungan TKDN di industri hulu migas, pemerintah telah menerapkan sejumlah strategi.
Beberapa strategi di antaranya dengan pengadaan bersama, asset/inventory transfer, sosialisasi penggunaan produk dalam negeri yang fit to purpose dan evaluasi rencana penggunaan barang impor.
Kepala Divisi Pengelolaan Rantai Suplai dan Analisis Biaya SKK Migas Erwin Suryadi menjelaskan bahwa industri hulu migas terus meningkatkan TKDN. Produk dalam negeri pun diklaim mampu bersaing dengan produk mancanegara secara kualitas.
Dengan menggunakan produk dalam negeri, tercapai efisiensi pada kerja sama BBM dan pelumas sebesar Rp 700 miliar per tahun.
Pada 2020, uji coba dan substitusi produk smooth fluid dalam negeri juga memberikan efisiensi sebesar US$ 300.000 per sumur. Selain itu, kerja sama penerbangan tahun lalu berhasil membukukan efisiensi sebesar Rp 25,9 miliar per tahun.
Untuk diketahui sebelumnya, Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri memperkirakan Indonesia akan mengalami defisit energi hingga US$ 80 milar atau sekitar Rp 1.122 triliun pada 2040.
Prediksi Faisal Basri mengacu pada kondisi produksi dan konsumsi energi dalam negeri yang terus menunjukkan ketimpangannya.
“Produksi turun terus, tapi konsumsi naik terus. Minyak dan gas kita sekarang sudah defisit US$ 5,7 milar,” ujar Faisal di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa, 10 Desember 2019.
Faisal mengatakan, dalam posisi saat ini, Indonesia sebenarnya masih beruntung lantaran memiliki cadangan energi batu bara mencapai US$ 20 miliar. Angka itu setara dengan Rp 280,6 triliun. Karena itu, meski mengalami defisit migas, negara masih memiliki cadangan energi dari batu bara hingga 2020.
Pada 2021, ketika cadangan batu bara mulai terkikis, Indonesia mulai mengalami defisit energi. Kondisi pasokan energi dalam negeri pun disinyalir tidak membaik karena investor di sektor hulu migas sulit masuk ke Indonesia.
Berdasarkan data yang dipaparkan Faisal dari Global Petroleum Survey 2018, Indonesia termasuk sepuluh negara dengan hambatan investasi terbesar di sektor energi yakni hulu migas di dunia.
Diketahu, Ranking Indonesia tak jauh dari Irak dan Libya, yang juga tercatat sebagai negara dengan problem hambatan investasi hulu migas terbesar.
Sumber: ANTARA/Tempo