ISLAMTODAY ID —AS dihadapkan pada daftar panjang ketegangan di seluruh kawasan.
Dimulai dengan situasi di Irak, di mana Parlemen telah meminta pasukan AS untuk ditarik.
Namun, Presiden AS telah menolak penarikan, dan sebaliknya telah mengumumkan 2.500 tentara akan tetap di Irak, tetapi dalam misi dukungan, bukan pertempuran.
Ketegangan antara AS dan Rusia berada pada titik didih ketika Washington mengancam, tetapi Presiden Putin menjawab, “Kami tidak datang ke perbatasan AS atau Inggris, tidak, mereka datang ke perbatasan kami,” .
Presiden AS dan China mengadakan pertemuan virtual, tetapi tidak membuat kemajuan dalam menyelesaikan sengketa perang dagang AS-China yang masih ada.
Trump memulai perang dagang pada 2018 yang mengakibatkan kedua negara membayar pajak lebih tinggi untuk melakukan ekspor ke masing-masing negara.
AS dan kekuatan barat lainnya telah bertemu dengan pejabat Iran mengenai pembaruan kesepakatan nuklir Iran yang dibatalkan oleh Trump.
Iran mengatakan penghapusan sanksi adalah prioritas mendasar, dan tidak jelas apakah AS akan menerima persyaratan itu.
Steven Sahiounie dari MidEastDiscourse mewawancarai Max Parry untuk mendapatkan beberapa wawasan tentang situasi ini yang menjadi berita utama dalam berita internasional.
Max Parry adalah jurnalis independen dan analis geopolitik yang berbasis di New York.
Tulisannya telah muncul secara luas di media alternatif, termasuk Center for Research on Globalization, Unz Review, Dissident Voice, dan Greanville Post di mana ia menjabat sebagai associate editor.
Ia sering tampil sebagai komentator politik untuk Sputnik News dan Press TV.
-
1. Steven Sahiounie (SS): Militer AS menarik diri dari Irak. Menurut Anda, apakah militer Irak mampu mencegah kebangkitan ISIS?
Max Parry (MP): Pertama-tama, jadwal penarikan pasukan koalisi dari Irak masih belum jelas.
Awalnya, alasan nyata untuk masuknya kembali pasukan asing yang berlarut-larut di negara itu adalah untuk memerangi ISIS dan dalih untuk misi tempur yang dipimpin AS berakhir empat tahun lalu, namun pasukan koalisi masih tetap ada di Irak.
Mengingat kepentingan historis yang ditetapkan oleh kebijakan luar negeri Amerika, sebagian dari diri saya cenderung pesimis pengumuman oleh pejabat senior AS dan Irak tentang transisi ke “peran penasihat” kemungkinan hanyalah tipu daya untuk melanggengkan pendudukan AS.
Sementara sampai batas tertentu saya sinis bahwa Washington memiliki niat nyata untuk menarik diri, perkembangan baru-baru ini di Afghanistan bisa dibilang menandai titik balik memudarnya pengaruh AS di kawasan itu.
Saya mencatat bahwa kebangkitan ISIS, yang sebagian besar telah dimusnahkan di tangan Irak, dimulai tak lama setelah pelantikan Joe Biden awal tahun ini.
Sepertinya juga setiap kali ada firasat AS akan meninggalkan negara itu, serangan teroris ISIS dengan mudah terjadi (Meskipun anehny tidak pernah terhadap pangkalan AS) dan memberikan alasan yang sempurna bagi Washington untuk tetap tinggal di Irak.
Sementara itu, AS sering kali melakukan penyerangan udara atas nama melawan ISIS bahkan hingga di seberang perbatasan di Suriah.
Pada akhirnya, AS menggunakan ISIS sebagai aset strategis di kawasan untuk mendominasi negara-negara seperti Irak dan memberikan keleluasan untuik membunuh Soleimani dan al-Muhandis di wilayah Irak.
-
SS: Tekanan politik AS/UE terhadap Rusia semakin meningkat. Menurut Anda, bagaimana Moskow akan bereaksi terhadap tekanan ini?
MP: Sumber ketegangan antara AS/Uni Eropa dan Moskow adalah tidak adanya jaminan keamanan yang diberikan oleh Barat ke Moskow, selain itu Ukraina dan NATO yang membuat Rusia tidak punya banyak pilihan selain mengambil garis keras melawan provokasi mereka.
Washington yang terus-menerus menarik diri dari perjanjian pengurangan senjata dan NATO yang telah meluas ke timur meskipun janji informal untuk tidak memperluas dibuat dengan Kremlin pada akhir Perang Dingin.
Rusia tidak punya pilihan selain menafsirkan pengepungan dan tindakan tidak bersahabat ini sebagai permusuhan.
Saya pikir kita bisa melihat di Ukraina apa yang kita lihat di Georgia pada 2008, salah satu konflik terpendek dalam sejarah perang, di mana Georgia yang didukung AS dan Israel memprovokasi Rusia dengan menembaki warga sipil di Abkhazia dan Ossetia Selatan.
Saya percaya jenis kejahatan perang yang sama dapat terjadi di Donbass dengan Ukraina memprovokasi Rusia dengan meningkatkan konflik di Donetsk dan Luhansk.
Bagaimanapun, penumpukan pasukan Rusia di perbatasannya dipicu oleh keputusan Presiden Ukraina Zelensky yang menyatakan niat Kiev untuk merebut kembali Krimea dari Rusia dan Donbass dari separatis berbahasa Rusia.
Saya tidak percaya NATO akan secara langsung menyerang Rusia, tetapi saya melihat potensi perang panas antara Ukraina dan Rusia dengan Barat menggunakan Kiev untuk melawan Moskow.
-
SS: Pemerintahan Biden sedang dalam perang ekonomi dengan China. Bagaimana ketegangan ekonomi ini akan berdampak pada ekonomi dunia?
MP: Pada dasarnya, jika Anda mencermati inisiatif dan undang-undang Biden yang Dibangun sebenarnya pada tingkat geopolitik itu pada dasarnya bertentangan dengan proyek infrastruktur Sabuk dan Jalan (BRI) China.
Misalnya, kerangkanya mempersenjatai isu perubahan iklim sebagai sarana untuk menyerang dan menghukum China dan Jalur Sutra Baru dengan sanksi ekonomi.
Geostrategi A.S. jelas sudah mati untuk menahan pembangunan infrastruktur dan investasi China.
Sementara itu, di G7, Forum Ekonomi Dunia, dan lembaga keuangan Barat lainnya, kami telah melihat mereka mengadopsi slogan “Bangun Kembali Lebih Baik” ini secara serempak terkoordinasi untuk apa yang disebut “Great Reset” atau Revolusi Industri Keempat, seperti yang disebut beberapa orang.
Kita dapat melihat bagaimana perang dagang AS-China terjadi di ranah teknologi besar, dengan keberhasilan TikTok dan upaya AS untuk menyebutnya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Belum lagi, ada sanksi terhadap Huawei.
Ini karena China sedang dalam langkah untuk menyalip AS sebagai negara yang unggul di dunia tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara geopolitik dalam sepuluh tahun ke depan dan konflik ini mulai terbentuk di setiap aspek ekonomi dunia.
AS sangat ingin menghentikan kebangkitan Beijing di arena global karena meskipun telah menghabiskan triliunan dari Departemen Keuangan untuk perang tanpa akhir dan pengeluaran militer yang boros, di dalam negeri AS telah melakukan deindustrialisasi dan mengalihdayakan hampir semua manufakturnya di luar negeri sejak tahun 1970-an.
Kami benar-benar menyaksikan munculnya dunia multipolar dan saya yakin upaya AS untuk mengimbangi China ini tidak cukup cepat untuk membuat perbedaan.
-
SS: Akankah Lobi Zionis di AS berhasil mencegah kesepakatan nuklir baru dengan Iran?
MP: Saya tidak percaya Amerika Serikat berkomitmen untuk kembali ke JCPOA di bawah Biden.
Iran telah memperjelas bahwa AS harus mencabut semua sanksi yang diberlakukan sejak 2018 setelah pemerintahan Trump secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut.
Biden telah menjabat hampir satu tahun dan memiliki cukup waktu untuk memenuhi janji kampanyenya.
Sebaliknya, kami hanya melihat Washington menuntut konsesi lebih lanjut dari Iran mengenai rudal balistik, misalnya, jika perjanjian itu akan diterapkan kembali.
Lobi Zionis mencoba menyabotase kerangka kerja non-proliferasi agar tidak diadopsi dan berperan penting dalam langkah Trump untuk menghentikan kesepakatan yang merupakan pelanggaran total terhadap hukum internasional.
Sementara pengaruh kuat AIPAC atas Washington jelas tetap di bawah Demokrat, Biden tampaknya lebih peduli dengan menggunakan pengabaian JCPOA sebagai sepak bola politik untuk mencetak poin melawan Trum daripada menindaklanjuti kembali ke apa yang dianggap sebagai kemenangan kebijakan luar negeri di bawah Obama.
Saya melihat sebuah krisis yang akan datang ke kepala antara AS dan Israel telah menjadi PR besar untuk AS di mana gelombang opini publik di dalam negeri mulai berbalik melawan entitas Zionis.
-
SS: Apakah proyek pipeline Nord Stream 2 beroperasi? Bagaimana hal ini memengaruhi hubungan antara Rusia dan UE?
MP: Pembangunan pipa telah selesai tetapi belum beroperasi, menunggu sertifikasi dari regulator energi Jerman.
Ini memiliki implikasi besar bagi hubungan UE-Rusia dan untuk krisis Ukraina, karena Ukraina adalah negara transit yang secara ekonomi bergantung pada pasokan gas transit yang akan dilewati pipa baru.
AS juga akan terpengaruh karena pijakan ekonominya di Eropa akan berkurang.
Di tengah-tengah ini, UE dan AS menuduh Rusia menggunakan pipa dan pasokan gas alamnya ke Eropa untuk keuntungannya.
Faktor-faktor ini semua berada di balik apa yang mendorong krisis di Ukraina dan provokasi NATO di Laut Hitam terhadap Rusia. (Rasya)