ITD NEWS— Pertemuan puncak trilateral AUKUS diadakan dengan para pemimpin Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) berkumpul di San Diego untuk menyempurnakan rincian kesepakatan soal pengiriman kapal selam bertenaga nuklir ke Canberra, Australia.
Ketiga negara juga sepakat akan menciptakan kehadiran rotasi kapal selam nuklir Inggris dan AS di dekat Perth, Australia Barat, mulai dari 2027.
Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan armada kapal selam nuklir AS dan Inggris sementara Australia “membangun kemampuan operasional yang diperlukan” sendiri.
Perdana Menteri Rishi Sunak pada pertemuan itu menekankan bahwa upaya AUKUS adalah untuk menghentikan perkembangan China yang ia sebut sebagai “tantangan zaman ini,”.
China langsung bereaksi dengan mengecam keras pertemuan itu, mencelanya sebagai “mentalitas khas Perang Dingin” yang “hanya akan memperburuk perlombaan senjata, merusak rezim non-proliferasi nuklir internasional dan merusak perdamaian dan stabilitas kawasan.”
Interpretasi China atas kesepakatan kapal selam AUKUS bukanlah bentuk pembelaan diri, karena kenyataannya pemerintahan Biden secara agresif memperluas sistem aliansinya dalam upaya untuk menahan Beijing secara militer di Indo-Pasifik.
Bersamaan dengan pakta AUKUS, AS juga mendorong kerja sama trilateral dengan Korea Selatan dan Jepang, lalu memperluas kehadiran militernya di Filipina, dan mengambil bagian dalam kelompok regional lainnya seperti Quad.
Namun, AUKUS punya keunikan dan kespesialan tersendiri bagi AS karena hanya terdiri dari negara-negara Anglophone (Ras Britania/Inggris), dan dengan demikian, mewujudkan sentimen neo-imperialis dari keistimewaan Anglophone.
Inggris Pemain Kunci di AUKUS
Keputusan Inggris untuk mengejar kebijakan luar negeri yang semakin anti-China, tentu saja, dipengaruhi oleh AS dan bertentangan dengan kepentingan terbaik Inggris.
Namun, narasi kebijakan luar negerinya, terutama mengingat Brexit, diselimuti nostalgia kekaisaran, yang mencerminkan kembali Kerajaan Inggris sebagai “kekuatan untuk kebaikan”.
Nyatanya semangat itu membangkitkan ingatan tentang perbudakan, eksploitasi, atau agresi terhadap negara lain.
Bila membaca akan sejarah penjajahan oleh Inggris maka kita akan mencapai pandangan bahwa saat ini China menjadi sasaran agresi ekstrem Inggris untuk dapat membuka paksa negara itu, merebut pelabuhan, dan mencaplok wilayah atas nama Hong Kong.
Meskipun Kerajaan Inggris sudah tidak lagi kuat, para pemimpin negara terus hidup di masa lalu dan warisan Imperialisme Inggris terus hidup melalui bentuk kerjasama seperti AUKUS.
Semangat imprealisme ini terus dihidupkan dan sekarang melalui slogan “tatanan berdasarkan aturan”. Akibatnya, mereka membingkai ekspansionisme militer yang berkelanjutan melawan Beijing sebagai alasan moral, ideologis, dan dapat dibenarkan.
AUKUS Picu Perlombaan Senjata di Indo-Pasifik
AUKUS saat ini malah menjadi kekuatan destabilisasi di kawasan Indo-Pasifik, yang memicu perlombaan senjata dan meningkatkan ketegangan.
Negara-negara netral, seperti Indonesia, Vietnam, Thailand waspada terhadap AUKUS sebab, dinilai mengancam keseimbangan strategis kawasan.
Selain itu, meskipun AUKUS mengklaim mencegah perang, sebenarnya justru mendorongnya. Seperti yang dijelaskan dengan tepat oleh analis militer Adam Ni, dimana menurutnya China sekarang dipaksa untuk menanggapi AUKUS dengan meningkatkan pengeluaran pertahanan.
Dimana AUKUS berperan dengan menciptakan lingkaran setan, yang semakin meningkatkan kemungkinan perang.
Menurut Adam Ni AUKUS adalah perang salib pasca-Imperialis, bagian dari kampanye berbagai sisi pemerintahan Biden untuk menjungkirbalikkan perdamaian di Asia dan mengubah kawasan itu menjadi arena militer.
Ini adalah tawaran untuk menciptakan sistem seperti NATO di Pasifik yang dapat diperluas di masa mendatang. Ini bukan komitmen untuk perdamaian, tetapi komitmen untuk perang dan destabilisasi, dengan niat yang jelas untuk menargetkan China.
Aliansi ini sarat dengan identitas, ideologi, dan nostalgia imperialisme Inggris, yang tidak menunjukkan rasa hormat terhadap kawasan, atau rakyatnya, dan karena itu negara-negara yang cinta damai harus menolaknya. (Rasya)