(IslamToday ID) – Tepat pada tahun ini Inisiatif Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) yang merupakan mega proyek pembangunan infrastruktur terbesar dan paling ambisius China dan bahkan diseluruh dunia memasuki tahun kesepuluhnya.
Konsep BRI ini pertama kali diumumkan di Asia Tengah pada September 2013 ketika Presiden China Xi Jinping melawat ke Universitas Nazarbayev, Kazakhstan. Ketika diumumkan, konsep itu merujuk pada Jalur Sutra yang bersejarah, yakni jaringan perdagangan yang menghubungkan China dengan seluruh Eurasia.
Terinspirasi dari Jalur Sutra kuno itu, Xi mengusulkan gagasan membangun ”sabuk ekonomi” di sepanjang Jalur Sutra. Pada Oktober 2013, ketika berkunjung ke Indonesia, Xi kembali mengutarakan gagasan pembangunan Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21 di seluruh Asia Tenggara.
Gagasan itu dikombinasikan dengan usulan sabuk ekonomi di sepanjang Jalur Sutera. Pada akhirnya gagasan tersebut menjadi Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan (One Road One Belt) dan kini BRI. Ini sejalan dengan tujuan awal menghubungkan Asia Timur dan Eropa melalui infrastruktur fisik.
Sejak itu, 151 negara dan 32 organisasi internasional telah menandatangani dokumen berdasarkan kerangka BRI. Kantor berita Xinhua dan harian China Daily menyebutkan, BRI telah menghasilkan investasi senilai hampir 1 triliun dollar AS.
Pada 2018, Indonesia meningkatkan partisipasinya dalam kerja sama BRI dengan menandatangani nota kesepahaman dengan China mengenai pembangunan bersama BRI dan strategi Poros Maritim Global (GMF). Dokumen itu kemudian diperbarui pada Juli 2022.
Era Baru Kebangkitan China
BRI menjadi tanda dimulainya era baru cara China berinteraksi dengan dunia. BRI menjadi batu loncatan untuk mengambil peran kepemimpinan global dalam membiayai infrastruktur konektivitas di negara-negara Selatan. Inisiatif yang ambisius ini memperkuat posisi China sebagai penyandang dana pilihan pertama bagi negara-negara berkembang.
China melampaui Amerika Serikat sebagai pemberi dana bilateral terbesar bagi negara-negara berkembang pada 2011, dan kini melampaui pendanaan AS dengan perbandingan 2:1.
Dalam lima tahun pertama BRI (2013-2017), China membiayai rata-rata 83,5 miliar dollar AS per tahun untuk proyek-proyek pembangunan di luar negeri. Jumlah ini meningkat 31,3 miliar dollar AS per tahun dibandingkan periode lima tahun sebelumnya (2008-2012).
China telah menyumbangkan ratusan miliar dollar AS dalam bentuk pinjaman serta hibah untuk jalur kereta, jalan raya, dan infrastruktur lain, mulai dari Brasil, Kenya, hingga Laos. Hanya, muncul masalah. Sejumlah negara penerima bantuan kesulitan membayar utangnya dan berada di ambang gagal bayar.
Bank-bank China menjerat diri mereka sendiri dengan memberikan pinjaman tanpa penilaian risiko yang tepat. Mereka lebih memilih membiarkan peminjam tetap bertahan dibandingkan membiarkannya tenggelam.
Menurut laporan kelompok penelitian AS AidData, antara tahun 2016 dan 2021, mereka memberikan pinjaman dana talangan sebesar 185 miliar dollar AS. Pada 2010, kurang dari 5 persen pinjaman China di luar negeri membantu negara-negara peminjam yang berada dalam kesulitan. Pada 2022, naik menjadi 60 persen.
China tampaknya belajar dari kesalahan. Menurut perusahaan riset Rhodium Group, bank-bank besar China mengevaluasi kembali praktik pemberian pinjaman mereka setelah mengalami kesulitan parah.
Melansir Kompas, pada 2020, pinjaman baru China kepada Afrika kurang dari 2 miliar dollar AS. Jumlah ini terendah sejak 2004. Majalah The Economist, 7 September 2023, menyebutkan bank-bank pemberi pinjaman mengubah praktik memberikan pinjaman yang lebih tepat sasaran.
Salah satu alasannya adalah perekonomian China juga sedang susah. Xi mendesak investor China untuk lebih fokus pada proyek-proyek yang ”kecil, tapi berarti” dengan standar lebih tinggi dan keuntungan lebih baik.
Peralihan ini terlihat dari banyaknya pembicaraan tentang energi hijau dan ”jalan sutra digital” yang berfokus pada industri telekomunikasi dan komputasi awan.
Meski banyak yang merasa terjerat utang China, BRI masih lebih disukai karena model ini dinilai lebih baik bagi negara-negara miskin dibandingkan model Barat yang menekankan pada penegakan hak asasi manusia. Inisiatif Pembangunan Global, Inisiatif Keamanan Global, dan Inisiatif Peradaban Global lebih merupakan konsep ketimbang rencana aksi, berbeda dengan BRI.
Sebenarnya sulit mendefinisikan BRI sekarang. BRI sering dibandingkan dengan Marshall Plan, pendanaan AS untuk membangun kembali Eropa pasca-Perang Dunia II.
Namun, itu juga tidak pas karena sangat sedikit aktivitas BRI yang melibatkan bantuan. Banyak negara peserta BRI yang relatif kaya. Separuh dari 151 negara peserta diberi label kelompok berpendapatan menengah atau atas oleh Bank Dunia.
Istilah jalur sutra juga sudah tidak pas karena tidak ada batasan geografis untuk bergabung. Siapa saja yang mau, boleh bergabung di BRI.
Meski demikian, lembaga kajian di London, Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS) menyebutkan, kawasan Asia Tenggara tetap akan mendapat perhatian khusus karena secara strategis sangat penting bagi China. Di tengah meningkatnya ketegangan dengan negara-negara Barat, China semakin khawatir akan keamanan ekonominya.
”Mereka ingin menggunakan BRI untuk menciptakan pasar alternatif bagi produk-produknya dan mata rantai alternatif dalam rantai pasok, khususnya produk teknologi tinggi China,” sebut IISS. [sya]