JAKARTA, (IslamToday ID) – Defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang mencapai triliunan rupiah berdampak pada menunggaknya utang ke sejumlah rumah sakit. Utang tersebut jelas berdampak buruk pada rumah sakit karena dihadapkan pada ancaman gulung tikar.
Persoalan BPJS tersebut diungkit oleh anggota Komisi IX
DPR RI, Saleh Partaunan Daulay dalam rapat kerja (raker) dengan Menteri
Kesehatan dan BPJS Kesehatan, Rabu (6/11/2019).
Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah
tersebut turut menyampaikan aspirasi dari sesepuh Muhammadiyah dalam raker itu.
“Tadi, PP Muhammadiyah bilang, tolong diperingatkan Kemenkes dan BPJS Kesehatan
punya utang Rp 300 miliar pada rumah sakit-rumah sakit Muhammadiyah,” ujar
politisi PAN itu.
Saleh meminta pengembalian utang pada rumah
sakit menjadi prioritas. Ia tidak ingin operasional rumah sakit yang selama ini
sudah membantu masyarakat menjadi terkendala hanya karena persoalan internal di
BPJS yang tidak bayar utang. “Ini saya menyuarakan aspirasi masyarakat di
Indonesia. Tolong diperhatikan, kalau ada tolong diutamakan,” pungkasnya.
Sementara itu, anggota DPR Fadli Zon kembali menyoroti kenaikan iuran BPJS karena sangat membebani masyarakat. “Kenaikan ini akan memberatkan masyarakat. Apalagi, pada saat yang bersamaan pemerintah juga berencana untuk menaikkan tarif listrik, tarif tol, dan berbagai tarif lainnya,” ujarnya.
Menurut Fadli, DPR periode 2014-2019, melalui Komisi IX dan Komisi XI, sebenarnya sudah menyampaikan penolakan kenaikan premi JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Penolakan atas kenaikan premi JKN tersebut merupakan sikap resmi DPR yang menjadin kesimpulan saat rapat dengan sejumlah kementerian terkait dan pihak BPJS Kesehatan.
“Memang, waktu itu penolakan kenaikan premi hanya spesifik menyebut kelas III, tidak menyebut peserta mandiri khusus kelas I dan II. Namun, meskipun boleh dinaikkan, besaran kenaikan premi untuk peserta mandiri kelas I dan II seharusnya juga tidak boleh hingga 100 persen. Apalagi, kini iuran kelas II kenaikannya lebih dari 100 persen,” tuturnya.
Lebih lanjut, Fadli menegaskan, kebijakan kenaikan iuran BPJS yang terlampau tinggi tersebut dapat merusak partisipasi masyarakat yang telah ikut program sistem kesehatan. Menurutnya, dengan tata kelola seperti sekarang ini, BPJS Kesehatan bukan lagi sebuah Jaminan Kesehatan Nasional layaknya “Obamacare” yang memihak dan melindungi orang-orang yang kurang mampu untuk mengakses layanan kesehatan.
“Tapi sudah menjelma menjadi sebuah perusahaan asuransi biasa yang dimonopoli dan diwajibkan negara. Seolah negara memaksa rakyat, padahal pelayanan kesehatan adalah hak warga,” katanya.
Berdasarkan Perpres No 75/2019 iuran mandiri kelas III naik 65 persen dari sebelumnya Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000. Sedangkan iuran mandiri kelas II naik sebesar 116 persen dari sebelumnya Rp 51.000, kini menjadi Rp 110.000. Dan iuran kelas I naik 100 persen, dari sebelumnya Rp 80.000 menjadi Rp 160.000. (wip)
Sumber: Gelora.co