KONAWE, (IslamToday ID) – Tiga desa di
Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) jadi sorotan
nasional setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut keberadaan desa
fiktif atau desa siluman yang berdampak pada penggunaan dana desa yang tidak
tepat sasaran.
Tiga desa yang diduga fiktif itu adalah Desa Ulu Meraka Kecamatan Lambuya, Desa
Uepai Kecamatan Uepai, dan Desa Morehe Kecamatan Uepai.
Konawe merupakan salah satu kabupaten tertua di Sultra yang terdiri dari 27
kecamatan, 57 kelurahan dan 297 desa dengan luas wilayah 4.435,28 km² dan
jumlah penduduk 253.659 jiwa (2017) dengan sebaran penduduk 57 jiwa/km². Jarak ibukota provinsi, Kendari ke Konawe sekitar 45
kilometer. Lambuya dan Uepai merupakan dua kecamatan yang berdampingan.
Camat Lambuya, Jasmin mengaku ada banyak hal yang perlu
diluruskan atas informasi yang terlanjur beredar di publik, khususnya Desa Ulu
Meraka yang disebut masuk wilayah administrasi Kecamatan Lambuya. Dari 9
desa dan satu kelurahan di Kecamatan Lambuya, kata Jasmin, tak ada nama Desa
Ulu Meraka. “Di sini adanya Desa Meraka. Kalau Desa Ulu Meraka tidak
ada,” katanya, Kamis (7/11/2019).
Desa Meraka ini, kata Jasmin, berada di perbatasan antara
Kabupaten Konawe Selatan dan Konawe. Desa ini termasuk desa tertua di Kecamatan
Lambuya bersamaan dengan Desa Uepai (sebelum berubah jadi Kelurahan Uepai).
Ia melanjutkan, Lambuya merupakan kecamatan induk yang
kemudian memekarkan beberapa kecamatan di Kabupaten Konawe. Di antaranya
Kecamatan Uepai, Puriala, Ameroro, dan Onembute.
Dari empat kecamatan itu, Desa Ulu Meraka kemudian masuk
wilayah administrasi Kecamatan Onembute. Ia tidak tahu persis kapan berdirinya
desa tersebut di Kecamatan Onembute. “Jadi, Desa Ulu Meraka adanya di
Onimbute, bukan di kita,” bebernya.
Jasmin mengaku sejak menjadi Camat
Lambuya pada April 2019, belum pernah mendengar daftar Desa Ulu Meraka di
wilayah kekuasaannya. “Pada pencairan dana desa di tahap kedua ini, tak
ada desa itu. Kita tidak tahu tiba-tiba muncul namanya,” jelasnya.
Ia mengatakan, dana desa bersumber dari Kementerian Keuangan
yang turun ke rekening pemerintah Kabupaten Konawe melalui Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa (PMD). Setelah itu, dana desa dicairkan dalam tiga
tahap dengan skema 20 persen, 40 persen, dan 40 persen.
Pada tahap pertama pencairan diberikan ke desa untuk
menjalankan berbagai programnya yang tercantum dalam APBDes. Untuk pencairan
tahap kedua, diperlukan laporan pertanggungjawaban atas dana 20 persen tahap
pertama.
“Begitu pula pada pencairan tahap ketiga, harus ada
pertanggungjawaban dulu tahap kedua. Dalam pencairan ini juga, harus ada
rekomendasi dari camat. Itu wajib,” ujar Jasmin.
Dalam rekomendasi itu, Jasmin
memastikan tidak ada nama Desa Ulu Meraka yang diteken olehnya. Ia pun
menegaskan desa itu tidak masuk dalam daftar wilayahnya.
Setiap tahunnya, sebut Jasmin, sembilan desa diampunya
mendapatkan Rp 700-800 juta pencairan dana desa. Meski demikian, nama
Desa Ulu Meraka pernah masuk di kantornya melalui undangan dari salah satu
lembaga pengkajian swasta untuk pelatihan aparatur desa.
Surat dengan sampul berwarna cokelat itu bertuliskan nama
lembaga Pusat Pendidikan Keuangan dan Pemerintahan Daerah (PUSDIK-PEMDA) Ditjen
Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri yang kantornya beralamat di Jalan Kalibaru
Barat VII No 5 Kecamatan Cilincing, Jakarta.
“Dalam amplop tersebut disebutkan 10 desa salah satunya Desa
Ulu Meraka. Saya kaget, perasaan tidak ada desa itu di Lambuya sini,” katanya.
Kasus ini, kata Jasmin, telah diselidiki oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda Sultra. Namun, sejauh ini ia belum mendapatkan panggilan untuk memberikan keterangan.
Desa Uepai dan Morehe
Dari sejumlah riwayat desa-desa, kefiktifan Desa Uepai lantaran daerah tersebut masih tercatat sebagai sebuah desa, padahal sudah dihapus belasan tahun lalu. Desa Uepai dulunya masuk wilayah administrasi Kecamatan Lambuya sebagai kecamatan induk.
Pada 2003 berdasarkan Perda No 15 Tahun 2002 tentang
pembentukan kecamatan di Kabupaten Kendari (kini Kabupaten Konawe), Lambuya
mekar dan membentuk setidaknya beberapa kecamatan, salah satunya Kecamatan
Uepai.
Di saat itu pula, dalam wilayah Kecamatan Uepai berdiri 10
desa dan satu kelurahan. Yakni, Desa Ameroro, Tawarotebota, Olo-Oloho,
Matahoalu, Langgomea, Rawua, Baruga, Amaroa, Tawamelewe, dan Anggopiu, serta
Kelurahan Uepai.
Kemudian, di zaman Bupati Konawe
Lukman Abunawas pada 2007 dimekarkan lagi tujuh desa: Desa Tamesandi, Humboto,
Morehe, Anggawo, Kasaeda, Panggulawu, Puroda Jaya dan Tanggondipu.
Menurut Camat Uepai, Jasman, Desa Uepai sudah tidak ada sejak
berubah status menjadi kelurahan. Kelurahan Uepai pada medio 2007 memekarkan
sebagian wilayahnya yang kemudian bernama Desa Tanggondipu.
Kemudian, Desa Morehe juga masuk
dalam daftar desa fiktif di Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe. Data di kantor
kecamatan, Desa Morehe pernah mempunyai wilayah dan juga penduduk.
Penduduknya sebanyak 331 orang dengan luas wilayah 172 Ha/m2.
Warga Desa Morehe ini kebanyakan sudah pindah ke desa
tetangga: Desa Rawua dan Desa Anggopiu.
Camat Uepai, Jasman mengatakan, desa ini pernah memiliki
struktur desa dan pernah melakukan kegiatan. Selain ada struktur pengurus desa,
di sana juga sudah berdiri sekolah dan rumah-rumah warga semacam pondok-pondok.
Belakangan, desa ini ditiadakan karena sudah tidak ada
aktivitas pemerintahan di sana. Menurut Jasman, warga keluar dari desa itu
dengan KTP Morehe sejak 2016 karena berada di dalam area hutan lindung.
Sementara itu, Wakil Bupati Konawe
Gusli Topan Sabara menyebut tidak ada desa fiktif seperti yang diberitakan.
Menurutnya, ada kesalahan input yang dilakukan oleh pihak kementerian terhadap
tiga desa itu. “Bisa jadi human error. Orang bisa salah
input,” kata Gusli.
Ia melanjutkan, desa ini pernah ada namun belakangan
berdasarkan audit BPK, ketiga desa itu tidak layak dapat dana desa. Alhasil, dana
desa tiga desa tersebut sejak 2015 hingga 2018 tak dicairkan. “Dana desa
yang tertahan di kas daerah Kabupaten Konawe untuk tiga desa tersebut sebanyak
Rp 5,84 miliar,” jelasnya.
Khusus Desa Morehe, berdasarkan peta Badan Pertanahan
Nasional (BPN) yang dikeluarkan pada 2015, mereka masuk administrasi Kabupaten
Kolaka Timur. “Hal ini nanti kita akan sanggah di kementerian,” pungkas Gusli.
(wip)
Sumber: CNNIndonesia.com, Detik.com