JAKARTA, (IslamToday ID) – Kebijakan ekonomi khususnya di bidang ekspor impor Indonesia yang dikeluarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selalu menguntungkan asing dan merugikan masyarakat. Kebijakan itu juga cenderung kepada penerapan sistem ekonomi neo liberalisme, sehingga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Demikian diungkapkan oleh pakar ekonomi dan kebijakan
publik, Ichsanuddin Noorsy, Jumat (6/12/2019). Menurutnya, defisit neraca perdagangan
yang pada Oktober 2019 surplus 161,3 juta dolar AS bukan berarti menunjukkan
pengelolaan keuangan negara baik.
Sebab, pemerintah sering kali mengeluarkan kebijakan yang
hanya melihat perolehan angka pendapatan, bukan kepada efek domino yang terjadi
di dalam negeri.
“Contoh sederhannya gini, kita ekspor ke Jepang gas, kita
ekspor sumber daya dengan harga murah. Jepang mengekspor lagi kemari dengan
harga mahal. Jadi kerja Jepang sekali kerja, kita sesungguhnya 5 kali, gitu
loh,” katanya.
Kebijakan yang mementingkan revenue tersebut, dijelaskan
Ichsan, bertentang dengan ekonomi konstitusi, yakni pembukaan UUD 1945 dan
relasinya dengan pasal 18, pasal 23, pasal 27 ayat (2), pasal 28, pasal 31,
pasal 32, pasal 33, dan pasal 34.
“Ini kesalahannya tidak dilihat dari substansinya, tapi
dilihatnya pada angka. Seolah-olah ketika surplus gitu ya, seperti misalnya
Indonesia dengan Jepang tadi,” ujarnya.
“Dalam bahasa yang sederhana ini bukti bahwa kebijakan neo
liberal itu tidak cocok untuk Indonesia dan bertentangan dengan Pancasila yang
upayanya tidak terjadi ketimpangan struktural dan agar tidak terjadi
ketimpangan regional,” ungkap Ichsan.
Sementara itu, Ekonom INDEF, Eko
Listyanto mengatakan, pemerintah diminta tidak mencari alasan atas kondisi
ekonomi global yang mengalami ketidakpastian dan sulit diprediksi. Sebab,
ekonomi Indonesia masih sangat bergantung kepada domestik.
“Seharusnya tidak menjadi alasan (pemerintah). Mengingat
sesungguhnya ekonomi Indonesia masih sangat bergantung domestik,” ujar Eko.
Dijelaskannya, jika diukur menggunakan volume perdagangan per
PDB (trade openess) baru sekitar 35 persen. Dan sesungguhnya 65 persen
pengelolaan ekonomi Indonesia tidak bergantung kepada situasi global, melainkan
lebih bergantung kepada domestik.
Menurut Eko, seharusnya pemerintah mengoptimalkan pengelolaan
ekonomi domestik yang dimiliki. Bukan malah menaikkan tarif-tarif konsumsi
rumah tangga yang justru akan menambah kondisi ekonomi domestik melemah.
“Dengan tidak menambah beban pada konsumsi rumah tangga
(tarif listrik, BPJS, tol), dapat membuat ekonomi domestik masih bisa
diandalkan. Namun, jika tarif-tarif itu dinaikkan maka ekonomi domestik pun
akan dapat melemah,” tutur Eko.
“Jangan naikkan tarif-tarif itu,” imbuhnya.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan bahwa kondisi ekonomi
global sulit diprediksi. Bahkan, para pembuat kebijakan hingga pakar pun
diyakini tidak mampu mengatasinya. Sebab, pattern
dan frekuensinya berbeda.
“Ketidakpastian itu is not new at all. Namun yang berbeda kali ini adalah pattern dan frekuensi yang sama sekali nggak bisa dipastikan,” kata
Sri Mulyani, Rabu (4/12/2019). (wip)
Sumber: Rmol.id