JAKARTA, (IslamToday ID) – Ekonom Institute for Development of
Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyayangkan kasus Jiwasraya mulai ditarik-tarik ke politik. Ia
mengatakan kasus ini
justru akan semakin rumit jika dihubung-hubungkan dengan ranah politik.
“Saya kira kalau
ditarik ke politik malah semakin kusut,” kata Bhima dalam keterangan resminya, Kamis (26/12/2019).
Pernyataan tersebut menanggapi cuitan Wakil Sekretaris
Jenderal Partai Demokrat, Andi Arief yang belakangan menyeret kasus Jiwasraya
ke ranah politik.
Menurut Bhima, masalah Jiwasraya seharusnya
difokuskan secara hukum mengingat tingkat kerugian negara dalam hal ini cukup
besar. “Kemudian
polis untuk nasabah Jiwasraya segera dibayar,”
katanya.
Bhima melanjutkan, masalah Jiwasraya tidak akan kunjung selesai dan kian
berlarut-larut karena untuk membuktian tindak pidana korupsi membutuhkan waktu. Menurutnya, harus ada bukti yang bersifat otentik
untuk membuktikan ada tidaknya korupsi di tubuh BUMN tersebut.
“Kemudian
dari sisi kebijakan, berbeda dengan bank. Kalau di bank ada LPS (Lembaga
Penjamin Simpanan), sedangkan untuk asuransi tidak ada lembaga penjamin seperti
LPS,”
tuturnya.
Sementara itu, pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mengatakan sistem pengawasan yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di kasus Jiwasraya dinilai lemah. Hal ini terlihat karena Jiwasraya tidak mampu membayar Rp 12,4 triliun polis asuransi JS Saving Plan periode Oktober-Desember 2019 milik nasabah dalam dan luar negeri.
Menurut Toto, sistem tata kelola keuangan di perusahaan asuransi plat merah ini bisa dikatakan rusak. Namun, anehnya tidak bisa dicium oleh OJK sebagai lembaga pengawas. OJK mestinya melakukan otokritik atau introspeksi diri terhadap sistem pengawasan di industri asuransi, dengan berkaca kepada kasus Jiwasraya.
“OJK harus introspeksi lah, dia harus bikin otokritik. Coba periksa dalam peristiwa itu (Jiwasraya) sebenernya apa yang terjadi sih,” ujar Toto, Jumat (27/12/2019).
Dari kasus yang membelit Jiwasraya, menurut Toto, permasalahannya terletak di pengelolaan investasi. Hal itu diperkuat dengan temuan baru Kejaksaan Agung yang menyatakan adanya dugaan pelanggaran tata kelola kegiatan investasi di 13 perusahaan yang cenderung mengarah kepada dugaan tindak pidana korupsi.
Akibat dari investasi tersebut, Jiwasraya sampai dengan Agustus 2019 menanggung potensi kerugian negara Rp 13,7 triliun. “OJK ditanya lah, bagaimana itu pengawasan industri keuangan non-Bank (IKNB), kenapa terjadi lolos-lolos seperti itu. Kemudian ke depannya bagaimana perbaikannya supaya itu tidak terulang lagi,” tegas Toto.
“Jadi kalau itu semua dilanggar sama Jiwasraya, terus otoritasnya (OJK) diam saja berarti ada masalah di sistem pengawasan. Jadi ke depannya harus ada perbaikan supaya ini enggak terulang,” tambahnya. (wip)
Sumber: Republika.co.id, Rmol.id