JAKARTA, (IslamToday ID) – Perairan Natuna Utara diklaim China sebagai wilayah teritorialnya.
Kapal pencari ikan dan Coast Guard dari China bahkan masuk ke perairan
Indonesia itu. Bagaimana sikap Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto?
“Sejalan dengan
nota protes yang sudah dikirimkan oleh Menlu, dan Pak Prabowo sepertinya sudah
menyampaikan pada pertemuan ADMM di Bangkok, menyatakan bahwa pembicaraan code of conduct (CoC) terkait
sengketa Laut China Selatan harus dilakukan dan dituntaskan,” kata Staf Khusus
Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antar-Lembaga Menteri Pertahanan RI,
Dahnil Anzar Simanjuntak, Kamis (2/1/2020).
Pertemuan ADMM di
Bangkok yang dimaksudkan Dahnil adalah Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN pada
18 November 2019. Nota protes yang disebut Dahnil adalah yang dilayangkan
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI ke Beijing, diumumkan pada 30 Desember 2019.
Prabowo berpendapat, masalah Natuna-Laut China Selatan harus diselesaikan lewat
pembicaraan dua belah pihak.
“Agar tidak
mengganggu hubungan perdagangan dan diplomatik antarnegara, termasuk dengan
negara ASEAN lain. Dan tentu posisi Indonesia seperti yang telah disampaikan
Menlu mempertahankan kedaulatan di Zona Ekonomi Eksklusif tersebut sebagai
wilayah laut Indonesia,” kata Dahnil.
Kapal pencari ikan
China dilaporkan telah masuk ke Perairan Natuna dan melakukan kegiatan
pencurian ikan. Kapal Coast Guard China juga masuk ke Perairan Natuna. Itulah yang
membuat Kemlu RI protes ke China. Apakah akan ada pengerahan pasukan tambahan
ke Natuna?
“Beliau (Prabowo)
akan berkoordinasi dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan TNI AL terkait hal
tersebut,” kata Dahnil.
Sementara itu, Guru Besar UI Bidang Hukum Internasional, Prof Hikmahanto tegas menyatakan perairan Natuna Utara adalah sah wilayah Indonesia. Sehingga adanya rencana China untuk menyelesaikan sengketa itu secara bilateral harus ditolak. “Rencana China tersebut harus ditolak oleh pemerintah Indonesia karena empat alasan,” katanya.
Pertama, bila China tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, demikian pula Indonesia harus tetap konsisten untuk tidak mengakui wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan Cina.
“Atas dasar sikap Indonesia ini, bagaimana mungkin Indonesia bernegosiasi dengan sebuah negara yang klaimnya tidak diakui oleh Indonesia?” ungkap Hikmahanto.
Kedua, sikap Indonesia yang konsisten ini telah mendapat penegasan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam penyelesaian sengketa antara Filipina melawan China. Dalam putusannya PCA tidak mengakui dasar klaim China atas 9 garis putus maupun konsep traditional fishing right.
Menurut PCA dasar klaim yang dilakukan oleh pemerintah Cina tidak dikenal dalam UNCLOS dimana Indonesia dan China adalah anggotanya. “Jangan sampai posisi yang sudah menguntungkan Indonesia dalam putusan PCA dirusak dengan suatu kesepakatan antar kedua negara,” tegas Hikmahanto.
Ketiga, Indonesia tidak mungkin bernegosiasi dengan China karena masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan 9 garis putus dan traditional fishing right yang diklaim oleh China.
Terakhir, jangan
sampai pemerintah Indonesia oleh publiknya dipersepsi telah menciderai politik
luar negeri yang bebas aktif.
“Ketergantungan
Indonesia atas utang China tidak seharusnya dikompromikan dengan kesediaan
pemerintah untuk bernegosiasi dengan pemerintah China. Justru bila perlu presiden mengulang
kembali bentuk ketegasan Indonesia di tahun 2016 dengan mengadakan rapat
terbatas di kapal perang Indonesia di
Natuna Utara,” pungkas
Hikmahanto. (wip)
Sumber: Detik.com, Rmol.id