JAKARTA, (IslamToday ID) – Mantan Ketua KPK Abraham Samad turut
bersuara terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap
Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Ia menyoroti terutama mengenai gagalnya tim KPK masuk ke ruang pengurus DPP PDIP pada Kamis (9/1/2020)
lalu.
Abraham juga menyinggung pernyataan Dewan
Pengawas (Dewas) yang menyebut bahwa penggeledahan atas kasus ini akan
dilakukan pada pekan depan. Menurutnya, OTT yang tidak disertai penggeledahan
pada waktunya, tidak saja menyimpang dari SOP, tapi juga membuka peluang
hilangnya barang bukti, petunjuk, dan alat bukti lainnya.
“Ini sama dengan memberi waktu pelaku kejahatan
buat hilangkan jejak,” ujarnya lewat akun Twitter pribadi, Selasa (14/1/2020).
Abraham lantas menyinggung tentang masalah penegakan hukum secara umum. Di mana kuasa politik tidak boleh lebih tinggi dari kuasa hukum. Kekuasaan hukum harus lebih tinggi di atas kuasa politik. “Kuasa hukum yang bertumpu pada daulat rakyat, bukan daulat raja,” ungkapnya.
Dalam doktrin hukum, di negara manapun, kuasa politik tidak boleh lebih tinggi dari kuasa hukum. Menurut Abraham Samad, kuasa hukum harus di atas kuasa politik. “Kuasa hukum yang bertumpu pada daulat rakyat, bukan daulat raja,” ujarnya.
“Peristiwa yang belum lama terjadi,
memberi pesan penting dan genting bahwa ada yang salah dengan praktik
pemberantasan korupsi, khususnya yang dilakukan oleh KPK,” tambahnya.
Untuk itu, Abraham menekankan agar pemberantasan
korupsi di negeri ini dikembalikan ke jalur rel yang semestinya. “KPK perlu
dikembalikan ke khittah-nya, memerangi korupsi tanpa pandang bulu,” ujarnya.
Sementara itu, pakar hukum, Indriyanto Seno Adji menyebutkan bahwa tindakan OTT oleh KPK
terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan tiga tersangka
lainnya merupakan bagian dari pelaksanaan coercive
force (dwang middelen atau upaya
paksa) yang patut diapresiasi.
“Perbuatan dan pernyataan WS secara tegas telah mengesampingkan keterlibatan
lembaga. Bahwa WS melakukan ini sudah menjadi tanggung jawab pribadi WS, yang
tidak ada kaitan dan bukan soal kelembagaan KPU,” ujar Indriyanto, Selasa (14/1/2020).
Selain itu, diketahui juga bahwa
pengurus PDIP juga memberikan penegasan sama bahwa tindakan suap Harun Masiku
ini adalah dalam kapasitas dan tanggung jawab pribadi. Hal tersebut tidak ada
dan tidak bisa dikaitkan dengan parpol.
Eks pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK itu
menilai wajar saja jika KPK memang tetap akan melakukan lanjutan tindakan upaya
paksa dalam rangka pengembangan kasus ini.
Norma dan Asas Dwang Middelen dalam lanjutan
tindakan upaya paksa berupa penggeledahan maupun penyitaan agar tetap dijaga
dan dipertahankan, sehingga objek penggeledahan adalah tidak ekstensif
dan tidak eksessif sifatnya.
“Hal itu berarti hanya objek geledah yang
terkait dengan perkara atau kasus dari pelaku individual/pribadi tersebut saja
sebaiknya yang dilakukan,” papar Indriyanto menanggapi
penggeledahan dan pensitaan oleh KPK.
Selanjutnya ditegaskan oleh guru besar dari Universitas Krisnadwipayana tersebut bahwa objek geledah sebaiknya terbatas pada locus
dan objectum, secara individual dari
Wahyu dan Harun. Bukan objek penggeledahan pada kelembagaan KPU
maupun kelembagaan parpol itu sendiri.
Ini untuk menghindari tumpang tindihnya mekanisme
pelaksanaan upaya paksa penggeledahan dan menghindari adanya pemicu
praperadilan dengan alasan adanya upaya paksa yang eksessif.
“Dengan demikian pelaksanaan lanjutan upaya paksa berupa penggeledahan
maupun penyitaan adalah sesuai dan berbasis KUHAP dan UU KPK baru, juga masih dalam batas dan konteks due process of law yang berlaku,” pungkas pengacara senior
tersebut. (wip)
Sumber: Rmol.id, Republika.co.id