JAKARTA, (IslamToday ID) – Tindakan represif kepolisian dilaporkan meningkat tajam pada tahun 2019 jika dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal sesuai dengan rilis yang diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Menurut Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, salah satu penyebabnya yakni karena demonstrasi meningkat pasca pemilihan presiden (Pilpres) 2019 yang dilakukan secara langsung.
“Kenapa kemudian terbesar adalah aparat kepolisian, karena ini terkait bagaimana kepolisian mengamankan demonstrasi,” kata Ade, Rabu (15/1/2020).
Jika dilihat berdasarkan data latar belakang pelaku, kekerasan masih didominasi aparat penegak hukum, khususnya dari unsur polisi yang berjumlah 33 kasus.
Kekerasan yang dilakukan oknum polisi menunjukkan kenaikan tajam pada 2019, meski dua tahun sebelumnya memperlihatkan penurunan, yakni 19 kasus pada 2017 menjadi 18 kasus pada 2018.
Angka itu disusul kelompok warga atau massa yang berjumlah 17 kasus. Unsur pejabat publik juga menyumbang kekerasan terhadap jurnalis selama setahun lalu (7 kasus) dan kalangan pengusaha (6 kasus).
Sebanyak 6 kasus belum diketahui pelakunya atau dilakukan orang tidak dikenal. Kasus tersebut banyak terjadi pada bentuk serangan digital. Sebab, pelakunya banyak menggunakan akun anonim atau tanpa identitas.
Hal itu menjadi tantangan berikutnya pada 2020, mengingat Indonesia akan segera menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak, dengan rincian 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota.
Seperti pada 2019 dan 2018, isu politik Pilkada atau Pilpres dinilai akan terus menjadi isu yang rawan kekerasan apabila tidak cermat ditangani dengan kesadaran aparat untuk meredam tindakan represif.
Seperti aksi protes hasil Pilpres di gedung Bawaslu Mei 2019 lalu, hingga demonstrasi mahasiswa dan pelajar menolak sejumlah paket rancangan UU di sekitar gedung DPR RI pada September.
Aparat cenderung menggunakan upaya represif untuk membubarkan massa pengunjuk rasa. Begitu pula saat menyikapi kehadiran jurnalis yang meliput dan hendak memberitakan pengamanan yang mereka lakukan di lapangan, kerap mendapat intimidasi hingga kekerasan fisik.
LBH Pers mencatat ada 85 kasus kekerasan terhadap pekerja peliputan dengan menelan 79 korban. “Angka kekerasan terhadap pers tahun ini mengkhawatirkan,” kata Ade.
Meski dari catatan tersebut, tak ada pelaku pers yang meninggal dunia lantaran kekerasan terkait profesinya. Namun, ragam kekerasan terhadap pekerja pers yang tinggi masih menunjukkan lemahnya perlindungan dan pemahaman tentang peran pekerja peliputan.
Dalam presentasinya, Ade menerangkan korban dari kekerasan terhadap pers, 75 di antaranya wartawan. Sedangkan dua lainnya yakni pelaku pers kampus dan narasumber. Sedangkan daerah dengan reputasi kekerasan terhadap pers paling tinggi, masih berada di ibukota negara, yakni DKI Jakarta, dengan 33 kasus kekerasan terhadap pers. (wip)
Sumber: Republika.co.id, Antaranews,com