JAKARTA, (IslamToday ID) – Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan ada tindak pidana dari manajemen dan para pengelola investasi yang menyebabkan gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya. Kejagung juga menyebut kasus gagal bayar Jiwasraya bukanlah risiko bisnis.
Dugaan pidana tersebut semakin menguat karena penyidikan menemukan adanya kerugian negara dari gagal bayar senilai Rp 13,7 triliun. Bahkan, aksi melanggar hukum yang menyebabkan gagal bayar dan merugikan keuangan negara itu dilakukan sengaja dan sistematis.
“Penyidikan menganggap kasus ini bukan karena risiko bisnis. Tapi ada kesengajaan yang menyebabkan kerugian negara. Maka itu dilakukan penyidikan,” kata Direktur Penyidikan Direktorat Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung, Febrie Ardiansyah, Rabu (4/2/2020).
Pernyataan Febrie tersebut menjawab pengacara Arie Soesilo Wibowo yang
mengklaim kasus Jiwasraya merupakan risiko bisnis.
Arie adalah kuasa hukum Heru Hidayat, salah satu dari lima tersangka Jiwasraya.
Sementara, Heru merupakan komisaris PT Trada Alam Minera, salah satu pihak
swasta yang menerima investasi saham dari PT Asuransi Jiwasraya.
“Saya melihat bahwa ini (kasus Jiwasraya) soal saham dan
investasi. Kalau soal saham, investasi, tentu ada aturan-aturannya,” ujar Arie beberapa hari lalu.
“Sampai sekarang, adanya dugaan korupsi itu, kita juga belum
tahu aturan mana yang dilanggar,” tambahnya.
Meskipun, Arie
mengakui pendapatnya tersebut baru sebatas analisis yang umum.
Febrie menjawab pendapat tersebut dengan menerangkan salah satu dugaan
pidana dalam kasus Jiwasraya. Ia mengatakan adanya unsur kesengajaan dalam
pengalihan dana Jiwasraya ke dalam bentuk saham dan reksadana ke sejumlah
perusahaan yang berkinerja buruk. Aksi korporasi tersebut menjadi salah satu
penyebab Jiwasraya mengalami kerugian dan gagal bayar.
Kesengajaan tersebut pun, menurut Febrie, dilakukan
berkali-kali bahkan direncanakan. “Semua sahamnya merugi. Kalau itu risiko
bisnis dari investasi, itu tidak mungkin dilakukan berkali-kali,” ujar Febrie.
Ia menambahkan, kesengajaan dan kerugian yang dialami Jiwasraya sistematis karena sudah dilakukan sejak pembukuan 2008. Kejaksaan dalam kasus ini melakukan penyidikan berdasarkan pembukuan dan manajemen Jiwasraya dari 2008 sampai 2018.
Febrie mengatakan dugaan pidana yang
dilakukan para tersangka saat ini semakin kuat dengan sejumlah bukti hasil
audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meskipun BPK dan Kejagung
masih menghitung angka pasti besaran kerugian negara, auditor negara menemukan
sejumlah aksi korporasi yang melawan hukum dalam Jiwasraya.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna sebelumnya menjanjikan akan merampungkan
penghitungan besaran kerugian negara pada akhir Februari ini. Akan tetapi,
dalam penyampaian pendahuluan hasil audit investigasi Januari lalu, BPK
menyampaikan sejumlah bukti aksi korporasi yang melawan hukum tersebut, seperti
manipulasi akuntansi sejak 2006 yang bermaksud untuk mencatatkan keuntungan
atau laba semu.
Pencatatan laba semu dari manipulasi akuntansi tersebut disinyalir menjadi
pangkal perbuatan pidana manajemen Jiwasraya. BPK juga menemukan aksi
penyimpangan manajemen lain, seperti pengalihan dana penjualan produk asuransi
Saving Plan Jiwasraya ke dalam bentuk saham dan reksadana yang berkualitas buruk.
Dalam pengalihan dana ke dalam saham dan reksadana tersebut, BPK juga meyakini
sarat korupsi. Karena aksi tersebut disertai dengan memberikan keuntungan
pribadi yang dinikmati para petinggi Jiwasraya.
“Dalam pemasaran produk asuransi Saving Plan, diduga terjadi konflik kepentingan karena pihak-pihak terkait Jiwasraya mendapatkan fee atas penjualan produk tersebut,” kata Agung. (wip)
Sumber: Republika.co.id, Rmol.id