(IslamToday ID) — Presiden Jokowi menegaskan akan menghentikan kegiatan impor pada Juli 2018. Saat itu Jokowi beralasan bahwa devisa Indonesia sedang melemah, dan dibutuhkan strategi penguatan dengan cara menekan impor dan menguatkan ekspor negara.
Bahkan, wacana penghentian impor oleh Jokowi sudah lama digaungkan oleh Jokowi sejak kampanyenya pada pemilu presiden 2014.impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok,” pungkas Jokowi saat kampanye di Cianjur, Jawa Barat (2/7/2014).
Rencana stop impor khususnya dari sektor pangan sejak awal masa kampanye 2014 hingga periode kedua Jokowi bahkan hanya sekedar lip service semata. Pemerintah tampaknya belum serius dalam komitmennya menghentikan kebijakan impor. Nyatanya, angka impor setiap tahunnya terus bertambah.
Fakta Impor
Data impor sektor pangan dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan fakta bahwa kegiatan impor terus berjalan dan tak pernah berhenti. Impor Beras misalnya sejak tahun 2014 sebanyak 844,1 ribu ton, berikutnya tahun 2015 naik menjadi 861,6 ribu ton, puncak impor beras paling tinggi terjadi pada tahun 2018 yakni 2,25 juta ton.
Selain beras Indonesia juga melakukan impor daging. Impor daging pada tahun 2014 sebanyak 108,48 ribu ton, sempat mengalami penurunan impor daging pada tahun 2015 hanya 56,79 ribu ton, dan kembali naik pada tahun berikutnya puncak impor terjadi pada tahun 2018 yang jumlahnya hampir dua kali lipat yakni 210,28 ribu ton.
Bahan pangan yang lain yang juga masih impor adalah kedelai dari tahun 2014 yang jumlahnya hanya 1,9 juta ton terus naik meskipun fluktuatif tapi nilainya selalu lebih tinggi dari tahun 2014. Impor kedelai paling tinggi terjadi pada tahun 2017 yakni 2,67 juta ton.
Jagung merupakan bahan pangan yang masih diimpor oleh Indonesia meskipun jumlahnya mengalami penurunan. Impor jagung pada tahun 2014 adalah 3,254 ribu ton dan sempat naik pada tahun 2015 3,268 ribu ton. Pada tahun 2018 nilai impor jagung jumlahnya turun menjadi 737,2 ribu ton.
Bawang putih adalah produk hortikultura lain yang masih diimpor oleh Indonesia. Berikut impor bawang putih sejak tahun 2014 yang jumlahnya 494,6 ribu ton, selanjutnya tahun 2015 nilainya turun menjadi 482,6 ribu ton, sempat turun di tahun 2016 hanya 444, 3ribu ton, dan perlahan naik pada tahun berikutnya hingga pada tahun 2018 jumlah impor bawang putih 582,9 ribu ton.
Ironisnya, fakta di atas bertolak belakang dengan pernyataan Mantan Menteri Pertanian (Mentan), Amran Sulaiman. Sejak tahun 2016 hingga 2019 pemerintah mengklaim Indonesia sudah mampu melakukan swasembada, salah satunya swasembada beras. Menurut Mantan Mentan Amran tahun 2016, beras impor yang masuk ke Indonesia adalah beras impor tahun 2015.
“Nah kita sudah mampu mewujudkan definisi itu. Secara fakta empiris pangan kita aman. Untuk beras misalnya, selama 2016 tidak ada impor, yang ada hanya luncuran dari 2015, dimana impor pada tahun itu lebih karena ada elnino terbesar sepajang sejarah,” kata Amran, (19/1/19).
Perhatikan Nasib Petani
Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menyarankan agar pemerintah fokus memperhatikan nasib petani. Jika petani sejahtera maka produksi pangan akan lebih maksimal. Kesejahteraan petani ini meliputi pemenuhan terhadap kebutuhan petani seperti perlengkapan teknologi pertanian, hingga lahan pertanian.
“Yang jadi permasalahan sebenanya bukan impornya, tapi dulu pak Jokowi sempat menjanjikan tidak akan impor bahan pangan, dan itu tidak tercapai, makanya menjadi persoalan,” ungkap Enny.
Petani di Indonesia selain kerap dihujani barang-barang impor pertanian terutama ketika musim panen raya tiba juga tidak jarang mengalami kendala produksi seperti pupuk mahal dan langka. Misalnya Desember 2019 hingga Januari 2020 pupuk langka membuat tanaman yang ditanami petani tidak tumbuh maksimal.
Pakar Pertanian IPB, Nunung Nuryantono mengungkapkan jika keberadaan perdagangan in ternasional yang adabelum menguntungkan para petani. Kegiatan ekspor- impor adalah hal yang wajar terjadi dalam sebuah negara namun di Indonesia hal ini belum memberi dampak positif bagi petani.
“Pertanyaannya, siapa yang menikmati keuntungan dari perdagangan itu? Apakah semua pihak yang terlibat bisa mendapatkan benefit?” tutur Nunung (17/2/2020).
Lebih lanjut, Nunung menuturkan dalam perdagangan internasional Indonesia belum memiliki daya tawar. Hal ini terbukti dengan dominasi angka impor pada sektor perdagangan pertanian Indonesia. Angka impor semester awal 2019 misalnya mencapai Rp 35,5 triliun sedang angka ekspornya hanya Rp 177 miliar.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Tori Nuariza