(IslamToday ID) — Presiden Jokowi bertekad mengeliminir angka kemiskinan hingga 0% pada tahun 2024. Data BPS per September 2019 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 24,79 jiwa atau 9,22% dari total jumlah penduduk.
Sementara itu Bank Dunia mengungkapkan data setidaknya ada 9,91 juta penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori sangat miskin.
“Angka di bawah 10 persen ini adalah capaian yang sangat baik. Kita harapkan nanti di 2024 untuk kemiskinan ekstrem ini bisa kita berada pada posisi 0,” pungkas Presiden Jokowi (4/3/2020).
Niatan tersebut disampaikannya pada rapat terbatas Strategi Percepatan Pengentasan Kemiskinan di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat. Strategi percepatan yang digagas Jokowi diharapkan mampu mengatasi kemiskinan di Indonesia.
Adapun program-program tersebut yakni Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako dan Bantuan Pangan Nontunai, Program Kredit Usaha Rakyat (KUR), Dana Desa, Mekar dan Bank Wakaf Mikro.
Penduduk Rentan Miskin
Program pengentasan kemiskinan pada era Jokowi-JK yang menyisakan 9,22% penduduk miskin nyatanya meninggalkan sejumlah catatan. Pemerintah masih memiliki ‘PR’ terhadap penduduk yang masuk kategori rawan miskin dan hampir miskin yang jumlahnya mencapai 64,28 juta jiwa.
Founder Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendry Saparini mengatakan jika penduduk miskin di Indonesia masih didominasi oleh penduduk rentan miskin dan hampir miskin. Mereka sangat bergantung pada berbagai bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah.
Penduduk rentan miskin adalah mereka yang berada di atas garis kemiskinan sebesar 1,5 kali garis kemiskinan. Di Indonesia per September 2019 garis kemiskinan Rp 440.538 kapita/bulan, Pemerintah gagal mendorong penduduk calon kelas menengah menjadi naik kelas ke kelompok kelas menengah.
Anggaran Kemiskinan
Presiden Jokowi sangat menggantungkan anggaran untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Bahkan, selama Ia berkuasa anggaran ini terus naik. Terhitung sejak tahun 2014 dan mencapai klimaksnya pada tahun politik, tahun 2018 dan 2019, angkanya naik fantastis. Namun anggaran kemiskinan tahun 2020 turun drastis.
Adapun besaran anggaran pemerintah untuk mengatasi kemiskinan sejak tahun 2014 adalah Rp 131,2 triliun, berikutnya pada tahun 2015 anggaran naik menjadi Rp 172,5 triliun, anggaran tahun 2016 pun kembali naik mencapai Rp 212,2 triliun, angka ini terus naik di tahun 2017 menjadi Rp 228,2 triliun, jumlah anggaran terus bertambah di tahun 2018 menjadi Rp 283,7 triliun, puncak kenaikan anggaran kemiskinan ini pada tahun 2019 yang nilainya mencapai Rp 373,3 triliun dan Rp 157 triliun (2020).
Tingginya angka anggaran pengentasan kemiskinan sejak dulu tidak menimbulkan perubahan yang signifikan. Data BPS menyebutkan jumlah penduduk miskin pada tahun 2012 adalah 28,59 juta jiwa atau setara 11, 6% dari total jumlah penduduk. Sedang data kemiskinan pada tahun 2019 adalah 24,79 juta jiwa atau 9,22%.
Jika merunut ke belakang pada masa SBY sejak tahun 2007-2012 total anggaran kemiskinan yang dihabiskan oleh negara untuk mengurangi angka kemiskinan adalah Rp 468,2 triliun.
Salah satu komponen dalam pengentasan anggaran adalah dana bantuan sosial atau bansos. Anggaran bansos tahun 2020 naik menjadi Rp 59 triliun. Dana bansos disesuaikan dengan dua program utama seperti PKH dan BPNT.
“Untuk 2020 anggaran bansos naik menjadi Rp 59 triliun, dari sebelumnya Rp 56 triliun di 2019,” ujar Mensos RI, Agus Gumiwang Kartasasmita.
Keraguan Tekad 0%
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengaku ragu dengan target Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin menurunkan kemiskinan ekstrem hingga nol persen pada tahun 2024.
“Saya apresiasi niatan mulia Presiden Jokowi menghilangkan kemiskinan ekstrem di Indonesia di akhir periode kepemimpinan beliau. Tapi, menurut saya target itu kelewat tinggi masih di awang-awang sekarang ini,” pungkas Mardani dalam keterangan tertulisnya, Ahad (8/3/2020).
Menurut Mardani, sampai saat ini Jokowi belum membuat gebrakan apa pun untuk memberantas kemiskinan. Maka dari itu, Mardani tidak yakin Jokowi bisa menghilangkan kemiskinan ektrem pada 2024.
“Hasil itu tergantung dari strategi, proses, dan kebijakannya tepat sasaran atau tidak,” ungkapnya.
Anggota Komisi II DPR ini menjelaskan, ada tiga hal yang perlu segera disiapkan dari sekarang untuk memberantas kemiskinan. Di antaranya pembuatan payung hukum untuk menyinkronkan kebijakan terkait pemberantasan kemiskinan, pembentukan badan khusus penanggulangan kemiskinan yang kuat menggabungkan penggunaan anggaran, pengelolaan pendataan kemiskinan riil, dan sumber daya manusia.
Adapun mengenai rencana Presiden Jokowi yang bakal menghilangkan kemiskinan sampai di angka 0% juga menuai kritik. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menilai keinginan tersebut sangat muluk-muluk. Ada hal yang dinilai lebih penting seperti pemberdayaan UMKM serta mengurangi kesenjangan si kaya dan si miskin.
“Kemiskinan ekstrem ini ada di kerak paling bawah dan tidak cukup bagi-bagi bansos. Perlu ada perbaikan mendasar terkait fasilitas kesehatan dan yang lebih penting lagi pendidikan. Jadi agak nggak nyambung juga, investasi asing disuruh masuk, tapi pingin kemiskinan ekstrem turun jadi 0 persen. Harusnya kan dorong UMKM, tekan kesenjangan aset kaya dan miskin,” tutur Bhima(8/3/2020).
Selain itu, kebijakan Presiden Jokowi pada periode pertama tepatnya tahun 2019 awal, Jokowi sempat dikritik oleh Majalah The Economist yang berbasis di London. The Economist menyoroti program Jokowi ketika menjelang pemilu di tahun 2018. Saat itu Presiden Jokowi menurunkan anggaran belanja infrastruktur dan mengutamakan anggaran belanja subsidi dalam rangka meraih simpati publik.
BPK dan Bansos
Selain persoalan di atas ada persoalan lain yang juga turut hadir pada program pengentasan kemiskinan melalui bansos. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam temuannya mengungkapkan adanya uang dana bansos senilai Rp 168,2 miliar yang belum disetorkan ke negara.
Selain bansos nontunai, BPK juga menemukan pemborosan penyaluran bansos beras sejahtera (rastra) kepada warga yang menerima bantuan di 11 kabupaten/kota.
Selain itu, BPK juga menemukan penyaluran program PKH kepada 7.247 warga pada tahap III dan IV tahun 2018 tidak tepat sasaran. Hasil temuan BPK terkait 273 temuan bahkan terdapat 425 permasalahan.
Akar Masalah
Pengentasan kemiskinan merupakan agenda wajib tiap kabinet pemerintahan. Akan tetapi, kebijakannya seringkali belum menyentuh akar masalah. “Permasalahannya adalah, kebijakan penanganan kemiskinan selama ini memang tidak berbasis pada penyelesaian akar masalah,” tukas Ichsanuddin Noorsy.
Pada tahun 2013 silam, pola anggaran kemiskinan dalam postur APBN sebenarnya sempat dikritik tajam oleh Pengamat Ekonomi, Ichsanuddin Noorsy. Ia menegaskan jika anggaran pengentasan kemiskinan tidak ada perubahan signifikan antara naiknya anggaran dengan jumlah penduduk yang miskin. Kebijakan itu hanya mengatasi masalah pada permukaan dan tidak menyentuh akar masalah. Tak heran, angka kemiskinan tetap besar.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza