JAKARTA, (IslamToday ID) – Kunjungan Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima Zorreguieta Cerruti dari Belanda yang akhirnya menghasilkan kesepakatan penjajakan investasi senilai Rp 14 triliun cukup menarik perhatian.
Yang menarik, selain menawarkan investasi, pihak Belanda juga membawa oleh-oleh berupa sebilah keris milik pahlawan nasional Pangeran Diponegoro. Keris itu berjuluk Kiai Naga Siluman yang sudah sejak 1831 berada di tangan Belanda.
Keris Naga Siluman diserahkan secara simbolis oleh Raja Willem kepada Presiden Jokowi pada Selasa (10/3/2020). Keris itu berwarna kuning di bagian sarungnya dan berwarna cokelat di bagian gagang. Keris itu dipajang rapi dalam sebuah kotak kaca.
Jika ditelisik sejarah perang Jawa atau perang Diponegoro 1825-1830, Keris Naga Siluman adalah saksi bisu pengkhianatan yang dilakukan Belanda hingga berujung tertangkapnya Pangeran Diponegoro.
“Dia (keris) adalah saksi dari satu pengingkaran janji,” kata Prof Peter Brian Ramsay Carey, sejarawan yang menguasai pengetahuan perihal Pangeran Diponegoro, Selasa (10/3/2020).
Pada tahun 1830, Diponegoro diburu pasukan gerak cepat Belanda ke mana-mana. Diponegoro terus bergerilya, Belanda kesulitan menemukannya. Komandan lapangan bernama Kolonel Jan Baptist Cleerens mempunyai ide, daripada susah-susah mencari Diponegoro, mending kirim surat saja ke penasihat agama Diponegoro, yakni Haji Badarudin.
Sang ulama menyampaikan penilaiannya ke Diponegoro agar percaya ke Cleerens. Diponegoro selanjutnya menyebut Cleerens sebagai orang yang hatinya bisa dipercaya (kang tyas pan langung pitajengipun) dalam otobiografinya.
Karena percaya Cleerens punya hati yang baik, maka Diponegoro bersedia menemui Cleerens di Remokamal (sekarang Purworejo, namun Peter menyebut lokasi itu ada di Banyumas) pada Februari 1830. Diponegoro dan Cleerens bernegosiasi damai di lokasi itu.
Saat itulah, terjadi semacam gentlement agreement antara keduanya bahwa perang Jawa akan diakhiri dengan damai. Peter memperkirakaan pada momentum itulah Keris Kiai Naga Siluman diberikan oleh Diponegoro ke Cleerens, sebagai simbol kepercayaan yang tidak main-main.
Menindaklanjuti kesepakatan manis itu, Diponegoro bersedia menerima undangan Hendrik Merkus Baron de Kock (Jenderal de Kock) di Magelang. Diponegoro masih percaya janji Cleerens, perang Jawa akan berakhir dengan damai dan baik, kini tinggal ketemu de Kock saja, setelah itu beres. Padahal inilah awal petaka.
“Cleerens meyakinkan Diponegoro bahwa Belanda akan bertindak sesuai dengan apa yang dia janjikan. Seumpama negosiasi dengan de Kock tidak berkenan di hati Diponegoro, maka Diponegoro akan dipersilakan kembali ke Banyumas (tempat Diponegoro berlindung saat itu),” kata Peter.
Dalam kondisi puasa, berangkatlah Diponegoro ke Magelang pada akhir bulan jelang Idul Fitri untuk menemui de Kock. Ia ditangkap Belanda. Perang Jawa ternyata tidak berakhir dengan damai dan baik. Diponegoro dibuang ke Sulawesi.
Peter menilai pihak yang ingkar janji bukan Cleerens secara personal, karena Cleerens cuma alat, yang ingkar janji adalah Belanda. “Akhirnya, Belanda bisa menangkap Diponegoro. Perang bisa diselesaikan sekejap,” kata Peter.
Cleerens kemudian pulang ke Belanda sambil membawa Keris Kiai Naga Siluman. Ia menyerahkan pusaka itu ke Raja Willem I (berkuasa 1813-1840) pada 11 Januari 1831.
Keris Nagasasra
Keris yang dikembalikan Belanda ke Indonesia adalah keris dengan dhapur (rancang bangun) nagasasra, bukan Keris Naga Siluman. Dalam khasanah keris Jawa, ada puluhan bahkan ratusan jenis dhapur atau rancang bangun sebuah keris.
Keris dhapur naga misalnya, juga sangat banyak jenis. Dhapur nagasasra dan dhapur naga siluman adalah dua rancang bangun keris yang berbeda dan memiliki ciri, ricikan, serta bentuk yang berbeda yang telah baku.
Ahli waris maupun kalangan tradisional Jawa pada umumnya, selama ini mempercayai bahwa keris milik Pangeran Diponegoro adalah Keris Naga Siluman. Keris itulah yang diperkirakan disita Belanda seiring penangkapan sang Pangeran pada tahun 1830 di Magelang, bersama tiga barang lainnya yaitu sebuah tombak, sebuah senjata cakra, dan sebuah pelana kuda.
Namun keris yang diyakini sebagai milik Pangeran Diponegoro yang dikembalikan pihak Belanda ke Indonesia, ternyata bukan dhapur Naga Siluman. Dari foto-foto yang beredar, baik keluarga maupun masyarakat umum meyakini keris tersebut dhapur Nagasasra.
“Kalau melihat fisiknya (keris yang dikembalikan pemerintah Belanda ke Indonesia) itu dhapur Keris Nagasasra, itu kalau bicara dhapur ya,” kata keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo, Selasa (10/3/2020).
“Kalau kita bicara dhapur, keris yang dikembalikan oleh Belanda itu bukan ber-dhapur Naga Siluman. Itu dhapur-nya adalah nagasasra kamarogan (keris dhapur Nagasasra yang dilapisi hiasan emas),” imbuh Roni.
Namun, ia tidak memastikan bahwa keris yang dikembalikan tersebut bukan keris milik Diponegoro. Sebab bisa jadi, nama Keris Naga Siluman sebagai milik Diponegoro selama ini tidak merujuk pada dhapur, tapi sebutan. Dalam tradisi Jawa, memang ada kebiasaan menamai benda-benda khusus dengan nama dan bahkan gelar sesuai kemauan pemiliknya.
“Karena keris itu, orang menyebut keris itu bisa dengan sebutan dhapur-nya atau dengan gelarnya. Jadi keris itu juga punya gelar, tombak punya gelar, punya nama,” ucap Roni.
Karena itu ada dugaan bahwa Naga Siluman adalah nama sesuai dhapur, namun bisa juga sebutan sesuai sebutan yang diberikan untuk keris tersebut. Demikian, menurut Roni, perdebatan tentang kepastian keris yang dikembalikan dari Belanda itu masih terus terbuka. Klaim itu masih bisa berubah jika ada temuan.
“Tetapi apakah masih bisa berubah? Masih bisa kalau besok suatu saat ditemukan lagi data-data yang lebih lengkap, lebih komplit. Misalnya ternyata nanti ditemukan sebuah buku yang mengisahkan tentang Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro itu dulu asal usulnya dari mana,” ujarnya.
Sejauh ini, lanjut Roni, informasi sejarah Pangeran Diponegoro masih bersumber dari “Babad Diponegoro” yang ditulis sendiri oleh sang Pangeran. Dalam serat babad tersebut, tidak disebut tentang Keris Naga Siluman. Demikian juga dalam Babad Diponegoro versi Surakarta maupun Babad Diponegoro Kedung Kebo, tidak menceritakan tentang pusaka Diponegoro.
“Jadi semua masih berdasarkan administrasi yang dikuasai oleh Belanda, yang satu (pertama) adalah kesaksian tertulis Sentot (panglima perang Diponegoro). Yang kedua adalah kesaksian tertulisnya Raden Saleh (pelukis). Yang ketiga adalah surat menyurat antara Kerajaan Belanda dengan Kantor Hindia Belanda di Batavia,” kata Roni. (wip)
Sumber: Detik.com, Antaranews.com