JAKARTA, (IslamToday ID) – Mahkamah Agung (MA) baru saja membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang resmi diberlakukan pemerintah per 1 Januari 2020. Mau tidak mau, pemerintah kini harus memutar otak lebih keras agar BPJS tetap berjalan, namun defisit yang terjadi tidak semakin membebani APBN.
Sebenarnya, sejak awal BPJS memang didesain untuk defisit. BPJS juga bukanlah lembaga yang berorientasi pada profit. Namun begitu, besarnya defisit harus diminimalkan.
Selama ini, cara yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi defisit BPJS selalu hanya menaikkan iuran. Padahal, sudah dua kali pemerintah ingin menaikkan iuran tapi selalu gagal karena ditolak. Alasan penolakan juga selalu klasik, yakni semakin membebani hidup masyarakat.
Sebenarnya, ada solusi lain untuk mengatasi defisit BPJS, tanpa harus menaikkan iuran dan tidak membebani APBN. Menurut ekonom Institute For Development of Economic dan Finance (INDEF) Dradjad, pemerintah harus membebani perokok dengan premi sendiri.
Solusi itu sebenarnya sudah dibahas di kabinet periode lalu dan lingkaran Istana Presiden. Dasar hukum dari solusi tersebut sangat kuat. Selain UU dan peraturan perundangan di bawahnya, secara spesifik solusi tersebut merujuk pada Perpres No 111 Tahun 2013 pasal 25 ayat 1 huruf j.
Pasal itu berbunyi: “Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi: j. gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri”.
Menurut Dradjad, merokok termasuk ke dalam kategori butir j. Karena itu, seharusnya penyakit akibat merokok tidak dijamin pelayanan kesehatan (yankes)-nya. Faktanya, yankes karena penyakit ini justru banyak menyedot dana BPJS. “Saya pribadi tidak mempunyai estimasinya. Tapi, berbagai pihak menyebut angka 20-30 persen,” katanya, Selasa (10/3/2020).
Perokok yang sakit, menurut Dradjad, seharusnya tidak dijamin oleh BPJS sehingga mereka perlu dibebani sebuah premi atas setiap batang rokok yang dikonsumsi. Premi ini ditambahkan langsung ke harga rokok dan dibayarkan ke perusahaan asuransi BUMN, dalam hal ini Jiwasraya. Pasalnya, premi ini bisa dilihat sebagai sebuah “asuransi” yang memenuhi bidang kerja Jiwasraya.
“Kenapa tidak langsung ke BPJS? Karena kita harus memegang teguh prinsip bahwa BPJS tidak menjamin yankes bagi penyakit akibat merokok,” kata Dradjad. Karena itu, ia melanjutkan, jika perokok sakit, yankesnya dibebankan ke premi ini. Perokok tidak menggerogoti BPJS. Namun, jika sakit mereka sudah mempunyai asuransi sendiri.
Dradjad menjelaskan, pada tahun 2016 ada menteri yang menolak konsep ini karena dinilai sebagai asuransi perokok. “Saya juga antirokok, tapi apakah perokok itu bukan rakyat yang perlu diperhatikan juga yankesnya? Itu penolakan yang konyol dan menteri tersebut juga gagal mengatasi defisit BPJS,” katanya.
Menurut Dradjad, solusi ini berbeda dengan cukai rokok. Cukai merupakan instrumen penerimaan APBN, yang dananya masuk ke Kemenkeu. Dana tersebut dipakai untuk semua pos belanja APBN. Sementara premi bersifat spesifik. Perokok membayar sendiri beban yankesnya.
Mengenai hitungannya, Dradjad menjelaskan, ada beberapa simulasi premi senilai 10, 15, dan 20 persen. Estimasi dana yang terkumpul antara Rp 28 triliun dan Rp 57 triliun setahun, sehingga bisa menutup beban yankes BPJS untuk penyakit akibat merokok. Selain itu, ada surplus bagi keuangan Jiwasraya.
Solusi ini, menurut Dradjad, lebih realistis secara politis dan layak secara keuangan. Hanya segelintir menteri yang memilih menaikkan iuran BPJS. “Secara etika, mereka seharusnya mundur karena presiden dipermalukan dan solusi mereka ditolak rakyat, legislatif, dan yudikatif,” pungkas Dradjad.
Penyakit Katastropik
Beban BPJS dalam menanggung masyarakat yang sakit memang berat. Terutama untuk penyakit yang masuk kategori katastropik atau penyakit yang membutuhkan biaya tinggi dalam pengobatannya serta berpotensi mengancam jiwa.
Penyakit yang termasuk dalam golongan katastropik adalah golongan penyakit-penyakit tidak menular. Berdasarkan dokumen BPJS Kesehatan, Rabu (17/9/2019), jumlah biaya katastropik dari Januari sampai Maret 2019 mencapai Rp 5,65 triliun. Di 2018 sendiri penyakit katastropik biayanya mencapai Rp 20,4 triliun.
“Besarnya biaya pelayanan kesehatan disebabkan antara lain profil morbiditas penduduk yang banyak menderita penyakit kronis,” jelas BPJS Kesehatan dalam dokumennya tersebut.
Penyakit katastropik yang cukup merogoh kocek BPJS Kesehatan cukup dalam adalah jantung. Dengan biaya selama 2018 mencapai Rp 10,5 triliun. Dari Januari-Maret 2019 sendiri biaya penyakit jantung ini mencapai Rp 2,81 triliun.
Sementara, penyakit kedua yang cukup besar biayanya adalah kanker. Di mana di 2018 biayanya mencapai Rp 3,40 triliun dan selama Januari-Maret 2019 mencapai Rp 1,09 triliun.
Sementara, BPJS Kesehatan mencatat biaya pelayanan kesehatan totalnya khusus penyakit katastropik mencapai Rp 94,2 triliun di 2018. Sedangkan di 3 bulan pertama 2019 mencapai Rp 25,5 triliun.
Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan antar Lembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi mengatakan setidaknya ada 30 persen penyakit katastropik harus dibiayai menggunakan BPJS. “Penyakit katastropik yang dibayar BPJS itu hampir 30 persen, jadi menyedot uang itu. Penyakit katastropik termasuk hipertensi, jantung, kanker, leukimia, gagal ginjal, stroke dan sebagainya,” katanya, 9 Oktober 2019 lalu. (wip)
Sumber: Merdeka.com, CNBCIndonesia.com, Republika.co.id