JAKARTA, (IslamToday ID) – Kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan sudah mendekati babak akhir. Sejak awal, kasus yang dinilai banyak pihak penuh dengan misteri ini, diprediksi bakal berakhir antiklimaks.
Hampir bisa dipastikan, kasus ini hanya akan berhenti pada dua pelaku lapangan, yakni dua orang polisi aktif, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Aktor intelektual atau dalang dari kasus ini dipastikan tak akan tersentuh.
Dakwaan terhadap kedua pelaku juga tidak begitu berat. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa keduanya hanya dengan pasal penganiayaan berat. Keduanya didakwa dengan pasal berlapis yakni Pasal 351 atau Pasal 353 atau Pasal 355 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa menganggap keduanya bersalah karena telah menyebabkan Novel Baswedan terluka berat, sehingga tidak dapat menjalankan pekerjaan. Selain itu, terdapat juga kerusakan pada selaput kornea mata kiri dan kanan Novel.
“Pada saat ini dapat ditentukan bahwa setidaknya cidera tersebut menyebabkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian sementara waktu,” ujar jaksa Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (19/3/2020).
“Adanya kerusakan pada selaput bening (kornea) mata kanan dan kiri, dalam beberapa hari ke depan punya potensi menyebabkan kebutaan atau hilang pancaindera penglihatan,” ungkapnya.
Jaksa mengatakan, cidera yang dialami Novel itu disebutkan berdasarkan hasil visum et repertum nomor 03/VER/RSMKKG/IV/2017. Hasil tersebut dikeluarkan oleh Rumah Sakit Mitra Keluarga.
“Pada pemeriksaan terhadap laki-laki berusia 40 tahun ini, ditemukan luka bakar derajat satu dan dua, seluas 2 persen (pada dahi, pipi kanan dan kiri, batang hidung, kelopak mata kanan dan kiri) dan luka bakar derajat tiga pada selaput bening (kornea) mata kanan dan kiri, akibat berkontak dengan bahan yang bersifat asam,” urainya.
“Nilai pH cairan di permukaan bola mata yang bersifat netral dan basa (tidak asam), menunjukkan bahwa telah dilakukan pembilasan kedua bola mata dengan air sebelum dilakukan pemeriksaan, derajat luka yang pasti belum dapat ditentukan karena pengobatan terhadap korban belum selesai,” sambungnya.
Tim Advokasi Novel Baswedan, Alghiffari Aqsa menganggap penanganan perkara kliennya tidak profesional sejak tahap penyidikan karena ada beberapa kejanggalan.
Menurut Alghif, sejak awal penyidikan terdapat barang bukti yang hilang seperti cangkir dan botol yang diduga digunakan pelaku sebagai alat menyiram Novel. Kedua barang bukti itu tidak disimpan dan didokumentasikan dengan baik. Pihak kepolisian pun malah bersikap seakan tidak ada alat bukti.
“CCTV, data pengguna telepon dan saksi-saksi tidak seluruhnya diambil dan didengar keterangannya. Komnas HAM telah melakukan pemantauan dan menemukan abuse of process dari penyidik Polri,” ujar Alghif, Kamis (27/2/2020).
Sketsa Wajah Pelaku
Tidak hanya itu, Alghif juga mempertanyakan sketsa wajah yang dibuat sendiri oleh kepolisian, tetapi tidak dijadikan dasar untuk menangkap pelaku. Pihak kepolisian tidak menjelaskan dengan gamblang hubungan pelaku dengan sketsa, saksi primer, dan temuan Tim Satgas Gabungan Bentukan Kapolri 2019.
Selain itu, Alghif juga mempersoalkan penggunaan pasal 170 KUHP oleh Polda Metro Jaya dalam penetapan pelaku. Padahal penyerangan Novel, menurutnya, erat hubungannya dengan pekerjaannya sebagai penyidik KPK.
“Tim advokasi pernah menyampaikan perihal ini dan juga secara langsung telah disampaikan lagi kepada penyidik untuk menggunakan Pasal 21 UU KPK, Pasal 340 KUHP, 351 Ayat 2/3 KUHP serta Pasal 354 KUHP, 355 KUHP,” ujarnya.
Dengan adanya beberapa kejanggalan tersebut. Alghif meminta agar Kapolri Jenderal Idham Azis memerintahkan Propam Mabes Polri untuk memeriksa penyidik Polri dengan dugaan adanya abuse of process.
Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan lainnya, Saor Siagian juga mempertanyakan sikap Mabes Polri yang mengerahkan sembilan orang pengacara untuk membela terdakwa penyerang Novel. Menurutnya, hal itu janggal karena kedua terdakwa disebut tidak sedang melaksanakan tugas kepolisian saat menyerang Novel.
“Mabes Polri menyediakan sembilan orang pengacara untuk membela para terdakwa. Hal yang sangat janggal karena perbuatan pidana para terdakwa bukanlah tindakan dalam melaksanakan tugas institusi,” kata Saor, Kamis (19/3/2020).
Kejangggalan lainnya, lanjut Saor, kesembilan pengacara tersebut tidak mengajukan eksepsi untuk para terdakwa. Ia menduga hal itu merupakan bagian dari upaya mempercepat proses persidangan dibanding persidangan pada umumnya.
“Sidang selanjutnya langsung kepada tahap pembuktian dan memeriksa saksi. Artinya sidang dibuat cepat dari lazimnya sidang pidana,” ujar Saor.
Berdasarkan kejanggalan-kejanggalan itu, Tim Advokasi menilai proses persidangan kasus tersebut hanyalah formalitas. “Tim Advokasi menilai bahwa sidang penyiram air keras terhadap Novel Baswedan tidak lain hanyalah formalitas belaka. Sidang dilangsungkan cepat, tidak ada eksepsi, tidak beroritentasi mengungkap aktor intelektual, dan kemungkinan besar berujung hukuman yang ringan,” kata Saor. (wip)
Sumber: Kompas.com, Tirto.id, Rmol.id