IslamToday ID — RUU Omnibuslaw terus dikebut agar bisa segera diketuk. Beberapa hari lalu, Presiden mengirim ‘orang-orangnya’ untuk membahas RUU ini bersama DPR, kecuali Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra.
RUU ini tidak jatuh dari langit. RUU ini datang dari Presiden. Ditengah musibah corona virus yang telah menelan korban hingga ratusan nyawa, dan jutaan korban PHK, eksekutif dan legislatif begitu asyik ‘menari’ diatas penderitaan rakyat.
Lalu, rakyat bisa apa?
“Rakyat tak lagi mempunyai kekuasaan apapun setelah pemilu usai. Presiden dan DPR yang paling berkuasa. Mereka yang paling benar mendefinisikan hitam-putih bangsa ini” ujar Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara Universits Khairun Ternate, Margarito, Kamis (16/4).
Itulah kondisi yang selalu terjadi dalam politik liberal kapitalistik. Menurutnya, politik jenis ini teranyam rumit dalam urusan siapa dan dapat apa? Bagaimana dan seterusnya?
Agar semua yang diperoleh mendapat legitimasi atau dianggap sah, maka harus diberi bentuk hukum dalam produk bernama undang-undang (UU). Begitu roda politik bekerja melahirkan produk-produk hukum. Tujuannya, untuk kepentingan-kepentingan praktis, yang satu dan lainnya saling terkait.
Postur kerja politik yang menghasilkan UU. Apapun sifat dan substansinya, kelak dikenal dengan politik hukum. Ilmu ini bukan hukum. Ilmu ini bekerja dengan lensa deskriptif. Dengan lensa ini, hukum tidak akan terlihat sebagai cara terbaik. Namun tercanggih menyembunyikan pernak-pernik kepentingan partisan.
Presiden Jokowi dalam konteks RUU Omnibus Law Cipta Kerja tampaknya jauh dari sikap mencla-mencle. Sama sekali tidak tampak pertentangan dalam pernyataannya. Ia sangat konsisten dan menghendaki agar RUU ini bisa cepat selesai pembahasannya di DPR.
Ditengah gempuran corona ini, Presiden dan DPR tampaknya sedang bekerja keras untuk segera mencetak ‘goal’. Mengebut RUU yang lebih menguntungkan koorporasi ini dalam satu pekan.
Margarito tak habis pikir dengan kejar target pembahasan RUU Cipta Kerja ditengah musibah pandemi corona. Menurutnya, hal itu sangat sulit dimengerti dengan akal sehat itu. Terlebih sedari awal RUU ini tidak dikreasikan sebagai bagian dari skenario penanganan corona. Skenarionya adalah menggairahkan iklim investasi. Skenario ini dibuat untuk keadaan yang normal.
“Impian itu terlihat tak mau dibiarkan jadi kenangan yang disesali, hanya karena corona menggempur Indonesia. Malah terlihat corona justru menjadi amunisi baru untuk mempercepat RUU ini,” ujarnya.
Pemerintah akan berdalih, bahwa ekonomi yang ambruk harus diperbaiki. Dalam rangka memperbaikinya, diperlukan berbagai kebijakan. RUU ini kemudian disajikan sebagai salah satu insentif terhebat. Terkesan sepertinya diperlukan mengobati dampak corona.
Saat ini upaya penyelamatan dari dampak corona bersandar padat Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Perpu ini menjadi fondasi terkuat atas kebijakan penambahan anggaran untuk stimulus sebesar Rp. 405,1 Triliun.
Dari total anggran tersebut, sekitar Rp 110 triliun dialokasikan untuk Social Safety Net. Kemudian Rp 75 triliun lagi dialokasikan untuk belanja alat-alat kesehatan. Sedangkan, sekitar Rp 220 triliun untuk relaksasi kredit usaha,
Kebijakan dengan nama yang sama, pertama kali dipraktikan di Amerika Serikat tahun 1933 oleh Presiden Franklin Delano Roosevelt. Presiden Roosevelt mengambil sikap ini diambil atas nasihat John Meynard Keynes.
“Tepatkah kebijkan ini? Dalam sejarahnya, krisis akan semakin buruk bila tidak tepat menanganinya,” kata Margarito.
Ia mengungkapkan, sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa krisis selalu menyediakan momentum percepatan melipatndakan kekayaan korporasi besar dalam sejumlah aspek.
Pada pada krisis keuangan tahun 1907 di Amerika Serikat. Ketika krisis melanda, pemerintah Amerika Serikat mengkonsolidasi korporasi besar di satu sisi, dan tetap besar. Sementara di sisi lain, yang kecil tetap saja kecil. Cara ini digunakan lagi, dengan sedikit modifikasi pada krisis tahun 1933. Kali ini ‘master mind’ pemecahannya adalah John Meynard Keynes.
Instrumen politik dan hukum bekerja dengan nada yang sama. Politik bekerja melipatgandakan propaganda efek negatif dari krisis, dan keperluan untuk memecahkannya. Supaya legitimasi dan aman dari segala bencana hukum kelak, maka dibuatlah berbagai UU. Pola ini telah mendunia di berbagai negara. Rantai pengikatnya adalah World Bank dan IMF.
Margarito mengingatkan, pemerintah hendaknya bercermin pada krisis 1998. Setelah krisis, Indonesia akhirnya menemukan kenyataan korporasi besar yang dianggap terpukul dan menjadi bagian penyebab utama terjadinya krisis 1998, ternyata tetap saja besar. Semantara usaha yang kecil tetap saja kecil.
“Berapa sih jumlah mereka korporasi besar itu dibandingkan yang UMKM? Pasti mereka korporasi besar hanya segelintir saja. Masih yang itu-itu juga,” tandasnya.
Penulis: Arief Setiyanto / Editor: Tori Nuariza