IslamToday ID — Presiden Jokowi akhirnya merealisasikan janji kampanyenya untuk melaksanakan program kartu prakerja. Ide awal dari kartu prakerja yang disampaikan Presiden Jokowi pada (24/2/19) silam adalah memberikan pelatihan kerja bagi para pencari kerja. Namun realisasi di musim pandemi corona justru dinilai sejumlah pihak adalah bentuk gagal paham pemerintah.
Di tengah gelombang PHK serta efek domino wabah corona, program ini cukup menarik animo peserta. Namun belum jelas apa yang membuat peserta begitu antusias mengikuti program yang ditangani oleh Kementerian Perekonomian. Karena sejak awal para peserta sudah mendapatkan iming-iming uang yang nilainya mencapai Rp 3,55 juta.
Gelombang pertama yang dibuka pada 11-16 April 2020 kemarin, terbukti ramai dengan diikuti oleh 5,96 juta pendaftar, sementara kuota peserta yang diterima hanya 200 ribu pendaftar. Terkait uang iming-iming yang menjadi daya tarik peserta, peserta harus sadar bahwa tidak semua uang insentif tersebut akan diterima langsung oleh mereka. Peserta hanya dijanjikan akan mendapatkan uang insentif sebesar Rp 600 ribu untuk jangka waktu empat bulan setelah selesai mengikuti program pelatihan.
Tidak Ada Anggaran
Janji kampanye Presiden Jokowi dengan memberikan kartu prakerja awalnya justru membuat sang Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani merasa resah. Pasalnya kebijakan tersebut memiliki dampak sensitif bagi pengelolaan anggaran negara. Mengingat di tahun 2019 saja angka defisit APBN sudah naik menjadi Rp 353 triliun dari angka defisit tahun 2018 yang hanya Rp 269,4 triliun.
Salah satu janji kampanye Presiden Jokowi adalah pengadaan program kartu pra kerja. Kala itu Presiden Jokowi menjanjikan anggaran Rp 10 triliun akan diberikan untuk 2 juta peserta pelatihan. Untuk menjawab keresahannya, Menkeu Sri Mulyani lantas menanyakan kepada Presiden Jokowi, bagaimana cara mewujudkan janji tersebut. Kala itu presiden hanya menanggapinya sambal lalu, mengingat itu adalah musim kampanye.
“Salah satu yang di-promise presiden kala itu kartu pra-kerja Rp 10 triliun. Ini saya tanya ‘Pak ini gimana caranya?’ kemudian pak presiden bilang ‘Udah dipikirin nanti saja. Pokoknya kampanye dulu. But that’s the beauty of election. Nanti pihak mana menjanjikan apa, gratis apa, yang lain juga enggak mau kalah, menggratiskan yang lainnya. Saya jadi sering sakit perut,” ujar Menkeu, Sri Mulyani (31/1/2020).
Inkonsistensi Program
Inkonsistensi program kartu prakerja itu terdiri dari tiga hal utama yaitu mengenai jadwal pelaksanaan program, payung hukum, dan sasaran program. Pelaksanaan program kartu prakerja ini sebenarnya sudah lama dibicarakan Presiden Jokowi kepada Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah, bahkan sehari sebelum pelantikan Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019. Selanjutnya oleh Menaker Ida, program tersebut diumumkan pada 30 November 2019.
Intruksi pelaksanaan program kartu prakerja sudah disampaikan Presiden Jokowi sejak 12 November 2019. Saat itu presiden mengatakan bahwa program akan mulai berjalan pada Januari 2020. Namun anehnya hingga Januari 2020 payung hukum program kartu prakerja belum juga terbit. Payung hukum kartu prakerja baru diterbitkan pada 26 Februari 2020, dan resmi diundangkan pada 28 Februari 2020.
Payung Hukum
Masalah lain juga muncul setelah diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 36/ 2020. Karena besaran insentif bagi peserta belum diatur dalam Perpres No.36/2020. Dalam Perpres tersebut hanya ditulis pasal 9 ayat 2 ketentuan lebih lanjut mengenai besaran bantuan biaya pelatihan dan besaran Insentif sebagaimana dimaksud diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian atau Menko Perekonomian.
Kejanggalan berikutnya yang muncul adalah diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) Perkonomian No.3/2020, pada 27 Maret 2020. Ketika ditanya kapan akan launching Kartu Pra-Kerja pemerintah selalu beralasan menunggu perpres kedua selain Perpres No.36/2020. Namun rupanya terbitnya Permen Perkonomian No.3/2020 yang terbit setelah dilaunchingnya program kartu prakerja pada (20/3) justru tanpa perpres yang baru.
Terbesitlah sebuah tanya apa yang sebenarnya membuat pemerintah menunda-nunda kegiatan launching kartu prakerja. Jika hingga (16/3), empat hari sebelum launching Presiden Jokowi masih mengatakan akan segera menyelesaikan Perpres tentang Project Management Office (PMO). Karena realitanya pemerintah hanya mengunakan Perpres No.36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja. Faktanya dalam perpres tersebut pemerintah memang sudah mengatur keberadaan PMO, yakni bab tiga pasal 17.
Selain menjadi alasan molornya launching kartu prakerja, keberadaan Perpres PMO juga menjadi tameng pemerintah ketika ditanya tentang dana insentif. Namun anehnya Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto justru telah mengumumkan besaran insentif yang akan diterima para peserta. Padahal belum ada payung hukum yang jelas tentang besaran insentif yang akan diterima para peserta.
Besaran insentif berdasarkan pasal 9 Perpres No.36/2020 diatur melalui Permenko Perekonomian. Dan untuk menerbitkan Permenko Perekonomian dibutuhkan Perpres tentang Project Management Office (PMO) sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Menko Perekonomian, Airlangga. Hingga terbentuk Permenko No.3/2020 pada 27 Maret 2020, pemerintah hanya menggunakan Perpres No.36/2020. Tentu ini bertentangan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Menko Perekonomian Airlangga.
“Iya nanti teknisnya, kita nunggu perpres satu lagi terkait PMO,” kata Airlangga (6/3/20).
Satu-satunya aturan tentang insentif adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.25/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penganggaran, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kartu Prakerja. Aturan ini ditandatangai oleh Menkeu Sri Mulyani pada 24 Maret 2020.
Sasaran Program
Poin berikutnya yang menjadi catatan adalah sasaran program. Program ini menurut Menaker Ida pada (30/11/19) diprioritaskan untuk daerah dengan jumlah tingkat pengangguran tertinggi (TPT). Dan yang lebih mengherankan ini juga tidak sesuai dengan janji kampanye Presiden Jokowi. Saat itu ia mengatakam kartu prakerja ditujukan untuk anak-anak muda lulusan SMK, SMA, politeknik dan perguruan tinggi.
“Mengenai kartu pra kerja, kartu ini kita siapkan untuk anak-anak muda yang lulus dari SMA atau SMK maupun yang lulus dari politeknik/perguruan tinggi untuk bisa masuk ke industri untuk dapat pekerjaan,” ucap Presiden Jokowi (1/3/2019).
Kini sasaran kartu prakerja bukan lagi untuk mereka yang ada di daerah dengan tingkat TPT tertinggi ataupun anak-anak muda lulusan SMK, SMA, politeknik hingga perguruan tinggi yang masih menganggur. Kini yang menjadi prioritas pemerintah dalam program kartu prakerja adalah para korban PHK yang terdampak oleh wabah corona.
“Kartu Prakerja akan segera dimulai tanggal 9 April ini, anggarannya dinaikkan dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun, dan penerima manfaatnya 5,6 juta orang, terutama yang terkena PHK, pekerja informal, pelaku usaha mikro, dan kecil yang terdampak Covid-19,” ujar Presiden Jokowi (8/4/20).
Pemerintah Gagal Paham
Banyak pihak memprotes kebijakan kartu prakerja, karena momentum dikeluarkannya kartu prakerja ini dinilai tidak tepat. Tidak jarang yang memprediksikan bahwa kebijakan ini akan sia-sia. Pemerintah dinilai gagal paham dalam menerapkan kebijakan di tengah-tengah situasi darurat COVID-19.
Skema kartu prakerja dalam bentuk pelatihan berbasis daring atau online bagi para pekerja yang terdampak PHK dinilai salah kaprah. Hal ini disampaikan oleh peneliti Senior INDEF, Enny Sri Hartati. Menurutnya, para pekerja yang di PHK oleh karena wabah corona bukan lagi pekerja baru sehingga tidak membutuhkan pelatihan. Mereka adalah pekerja lama yang membutuhkan bantuan tunai untuk bisa bertahan hidup.
“Kalau pemerintah ngotot memberikan kartu prakerja, ini berarti pemerintah gagal paham. Karena yang sangat dibutuhkan itu bagaimana saat ini kita bisa menjaga survival masyarakat,” ungkap Enny (16/4/2020).
Sementara itu, anggota BPK RI, Achsanul Qosasi melalui akun twitternya (15/4) mengatakan pelatihan Kartu Pra-Kerja akan lebih banyak manfaatnya jika dilakukan melalui siaran TVRI. Selain masyarakat tidak direpotkan membeli kuota internet, anggaran pemerintah yang nilainya mencapai Rp 20 triliun pun akan lebih efisien. Sehingga tidak akan muncul perdebatan tentang aplikator yang dengan mudah mendapatkan traffic, fee top up, komisi konten dan database untuk 5,6 juta orang dalam waktu singkat.
Penulis: Kukuh Subekti/ Editor: Tori Nuariza