“Itu menandakan pemerintah tidak punya data riil. Sehingga jalan dijadikan objek pemberian sembako
-Saiful Anam-
IslamToday ID –Di tengah pandemi corona virus (covid-19) Presiden Jokowi berulangkali membagi-bagikan sembako di pinggir jalan. Di mata pendukungnya, aksi Presiden Jokowi dipuji, bahkan disebut mirip sahabat nabi. Tapi ada pula yang mengira, Presiden Jokowi jangan-jangan ‘menikmati’ ekpresi rakyat yang berlarian saat menghampiri bantuan.
“Boleh jadi ini bukan sekedar pilihan politik tapi jd keyakinan. Jangan-jangan ada keasyikan tersendiri nonton rakyat lari-lari ngejar sembako?” kata Presiden PKS Muhammad Sohibul Iman (MSI) , Senin (27/4/2020)
Pernyataan yang dilontarkan MSI cukup beralasan. Dengan posisi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, wajarnya langkah yang diambil ialah menggunakan kekuasaan untuk menggerakan sistem.
Karena, yang dinantikan dan diharapkan adalah kebijakan sistemik, tepat dan cepat. Bukan dengan ‘salam tempel’ dijalanan. Maka. tidak heran jika MSI menjuluki bagi-bagi sembako Jokowi sebagai ‘Politik Sangu’ atau uang jajan.
Politis
Dengan kelengkapan infrastruktur pemerintahan, seharusnya Presiden Jokowi dapat menemukan cara yang lebih tepat. Bantuan bisa sampai ke rumah-rumah warga, tanpa harus menanti Presiden dipinggir jalan.
“Tetapi cara ini tidak akan mendapatkan simpati politik. Mungkin Presiden kurang menyukainya,” Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah seperti dilansir Tirto.id (14/4/2020)
Saiful Anam, Pakar Politik dan Hukum Universitas Nasional Jakarta menilai, aksi bagi-bagi sembako oleh Presiden Jokowi, seolah membuktikan bahwa pemerintah pusat tidak memiliki data akurat mengenai jumlah masyarakat yang perekonomiannya terdampak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Itu menandakan pemerintah tidak punya data riil. Sehingga jalan dijadikan objek pemberian sembako,” jelasnya, Senin (13/4/2020)
Selain itu, memberikan bantuan di pinggir jalan di saat darurat justru terkesan pencitraan yang amatir.
Carut Marut Bantuan
Di balik senyum presiden saat memberikan bantuan, ternyata bantuan yang dijanjikan pemerintah belum juga turun. Selain itu, terjadi tumpeng tindih aturan yang membuat para pemangku kebijakan di daerah kebinguangan.
Setidaknya itulah yang dirasakan Sehan Salim Landjar, Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Kemarahan Sehan Salim terekam dalam video yang diral dimedia sosial.
Tiga menteri yang menjadi sasaran kejengkelannya. Yakni Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar, Menteri Sosial Juliari Batubara, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Sehan mengatakan, ia hendak mencairkan anggaran Rp 101 juta untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat yang terdampak Covid-19. Tapi Menteri Desa Halim menerbitkan peraturan bahwa Dana Desa hanya untuk program padat karya tunai, tidak boleh dipakai membeli sembako.
Tidak berselang lama, Mendagri Tito Karnavian menerbitkan aturan yang meminta bupati memerintahkan kepala desa merevisi dana desa untuk dipakai dalam penanggulangan dampak Covid-19. Kemudian Menteri Sosial Juliari mengeluarkan aturan yang melarang masyarakat penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) mendapatkan bantuan pangan dari pemerintah daerah.
“Kan lucu, Menteri Desa enggak kasih, Mendagri seminggu kemudian kasih. Maka kami kebingungan,” kata Sehan
“semua kepala daerah punya uang buat untuk menalangi bantuan sembako. Tapi terhambat aturan menteri,” imbuhnya
Akhirnya, Sehan nekat memberikan bantuan pangan kepada seluruh masyarakat miskin di kabupatennya. Ia menyiapkan 900 ton beras untuk dibagikan, termasuk bagi penerima BLT. Sebab, pencairan BLT y dinilai berbelit-belit dan menyusahkan warga.
“Kalau ada yang mau tangkap, tangkap aja saya. Saya mulai stress dengan keadaan gini,” kata Sehan
Penulis: Arief Setiyanto