IslamToday ID — Phsyical Distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi pilihan pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran corona virus (covid-19). Namun, penerapannya diwarnai ketidakadilan. Mall-mall yang mengundang kerumunan orang diperbolehkan buka, sedangkan warung milik pedagang kecil disweeping oleh aparat.
Seperti dilansir IDN Times sejumlah mal di Kota Semarang, Jawa Tengah kembali beroperasi setelah dua pekan sempat tutup karena karena himbauan social distancing dan penutupan sejumlah jalan protokol. Mal Ciputra, DP Mal, Mal Paragon, dan Mal Plasa Simpang Lima. Sejumlah Mal tersebut kembali buka dengan pembatasan jam operasional.
‘’Kami kembali buka Senin sampai Minggu, termasuk hari libur nasional. Namun demikian, jam operasional tetap kami batasi selama wabah COVID-19 masih ada, yakni buka pukul 11.00 dan tutup 17.00 WIB,’’ ungkap Mal Manager Ciputra Semarang, Ani Suyatni, Selasa (14/4/2020).
Begitu pula dengan DP Mal. Pusat perbelanjaan di Jalan Pemuda Semarang itu kembali buka 13 April 2020 setelah tidak beroperasi sejak 27 Maret sampai dengan 12 April 2020. Demikian juga dengan Mal Paragon dan Mal Plasa Simpang Lima yang juga beroperasi kembali pada waktu yang sama. Kedua mal tersebut sebelumnya juga sempat tutup sementara pada 1-12 April 2020.
Terpisah, Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, meliburkan semua dan beragam festival hingga acara di tingkat kelurahan untuk mencegah covid-19. Namun, rupanya ia ‘masaih sayang’ untuk menutup pusat mal. Ia hanya mensyaratkan mal menyiapkan alat cuci tangan dan juga menjaga jarak aman antar pengunjung.
Begitu pula di Jawa Timur, mal tetap buka selama masa pandemi COVID-19. Pengusaha mal nekat membuka gerai hanya dengan memberikan fasilitas cuci tangan, pengecekan suhu tubuh sebelum masuk mal dan juga menjaga jarak aman serta kewajiban menggunakan masker bagi pengunjung.
Namun sebenarnya, yang ditakutkan pengusaha adalah resiko kebangkrutan, jika mal harus tutup total. Faktanya, pandemi COVID-19 yang menyerang Indonesia telah merontokan jumlah pengunjung mal.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Sutandi Purnomosidi mengatakan jumlah pengunjung mal hanya tersisa 20 hingga 30 persen. Sementara itu, tagihan listrik satu mal bisa 7 sampai 8 miliar rupiah. Sedangkan jumlah karyawan yang bekerja di seluruh mall di Jawa Timur mencapai ribuan orang.
“Itulah kenapa kami berprinsip penutupan mal adalah alternatif paling akhir. Apabila itu dikehendaki oleh pemerintah pusat atau kota, pasti kami ikuti. Tapi kami perhatikan, mereka yang bekerja di sektor ini sangat membutuhkan pekerjaan tersebut. Kalau kita tutup, mereka akan dirumahkan, unpaid list. Itulah mengapa kami masih bertahan,” ujarnya, Jumat (3/4/2020)
Di Ibukota Jakarta, mal benar-benar terpukul dengan kebijakan PSBB yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta. Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan. Ada ada 197 mal anggota APBI yang harus tutup sementara karena penerapan PSBB. Akibatnya, pendapatan mal anjlok hingga 90 persen. Sebelum PSBB diberlakukan himbauan ‘di rumah aja’ telah merontokkan pandapatan pendapatan mal hingga 70 persen.
Rupanya, pemerintah begitu memperhatikan nasib para penguasa. Kementerian Perekonomian mengeluarkan skenario “hidup normal” atau ‘new normal’ dengan timeline pemulihan ekonomi nasional yang berlaku mulai Juni 2020 mendatang. Di dalamnya dikatakan, pada 8 Juni mendatang mal sudah boleh beroperasi kembali.
Kebijakan ini tentu menjadi angin segar bagi para pengusaha mal. Tidak terkecuali dua emiten ritel fashion, yakni emiten ritel Grup Lippo, PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF) dan PT Ramayana Lestari Santosa Tbk (RALS) yang membuka gerai atau toko lagi meskipun masih berlangsung PSBB.
Disparitas
Namun demikian, tampaknya nasib wong cilik luput dari perhatian pemerintah. Setelah kebijakan social distancing, physical distancing hingga PSBB diperkenalkan ke masyarakat, nasib pedagang kecil dan UMKM tercekik.
Jumat (1/5/2020), polisi membubarkan pembeli yang sedang asyik ngopi di warung Kopi Desa Jasem, Kecamatan Ngoro, Mojokerto. Alasannya mencegah penularan COVID-19. Hal serupa juga terjadi di Garut, Jawa Barat, Kamis (7/5/2020). Polisi membubarkan pembeli yang tengah asyik menyantap mie ayam di warung pinggir jalan. Begitu pula di Tulung Agung, Jawa Timur. Polisi menyasar warung kopi, warung makan hingga kafe-kafe milik pelaku usaha level UMKM.
Para pemilik usaha warung maupun kafe hanya bisa pasrah, Sebab upaya penertiban pengunjung warung tersebut demi menjaga keselamatan dan kesehatan bersama. Wabah corona mulai berdampak langsung mulai berdampak langsung bagi usaha makanan dan minuman. Omzet penjualan mengalami penurunan drastis.
Mengapa Berbeda ?
Ashinta Sekar Bidari, SH, MH dalam makalahnya yang berjudul ‘Ketidakadilan Hukum Bagi Kaum Sandal Jepit’ mengatakan para penegak hukum dan pemerintah saat ini belum berpihak terhadap rakyat. Hukum hanya tajam jika ke bawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Penerapan hukum yang tumpul terhadap kalangan atas dapat dilihat ketika hukum tidak dapat diterapkan kepada mereka dengan ekonomi tinggi.
“Banyak faktor yang dijadikan alasan untuk tidak sepenuhnya menerapkan hukum kepada mereka dengan ekonomi tertentu,”ujar akademisi Universitas Surakarta (UNSA) itu.
Perempuan yang juga Alumnus Magister Hukum Bisnis UNS penegakan hukum yang tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukumnya saja. Padahal prioritas utama dalam hukum adalah keadilan. Kepastian hukum menjadi penghambat dalam mewujudkan keadilan dan kemanfaatan.
“Apabila kepastian hukum diikuti secara mutlak, maka hukum hanya berguna bagi hukum itu sendiri, tetapi tidak berguna bagi masyarakat,” imbuhnya.
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza