IslamToday ID — Pelaksanaan PSBB di sejumlah daerah di Indonesia membuat aktivitas perekonomian lumpuh, pasar tradisional dan pusat-pusat perbelanjaan ada yang buka dengan jam buka yang dibatasi.
Namun di tengah-tengah situasi ini ada dua ritel fashion ternama milik Lippo Group yang tetap membuka tokonya selama pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan alasan untuk mencegah munculnya PHK, mereka memilih membuka gerai miliknya.
“Ada beberapa yang sudah buka. Ini sebagai respons agar produktivitas bangkit lagi,” tutur Wakil Komisaris Matahari Departemen Store, Roy N Mandey (13/5/2020).
Saat itu ia menyebut ada sepuluh gerainya yang buka di wilayah Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi. Sementara untuk Ramayana telah membuka gerainya di Serang, Tanggerang, Bekasi, Cibubur, Sleman, Madiun, Cijantung, Cengkareng, Kebayoran Lama, dan Bekasi. Sementara pihak Ramayana pada (13/5) telah mengumumkan bahwa 105 gerainya akan buka, dan bisa melayani jasa pesan antar.
Sejak diberlakukannya PSBB, sejumlah daerah memang menerapkan kebijakan khusus untuk sektor perekonomian. Pemkot Depok misalnya menerapkan kebijakan pembatasan jam buka bagi pasar tradisional, minimarket dan supermarket selama PSBB. Sementara di Sidoarjo berlaku kebijakan buka tutup pasar. Di Bekasi yang sebelumnya tidak menutup atau membatasi jam opersional pasar tradisional akhirnya di PSBB yang ketiga memilih membatasi jam operasional pasar tradisional pusat perbelanjaan.
Ekonomi Prioritas Pemerintah
Pemerintah bahkan telah mengeluarkan timeline pemulihan ekonomi yang terdampak oleh wabah COVID-19. Timeline tersbut mengatur tentang jadwal aktivitas masyarakat bisa kembali berjalan salah satunya aspek ekonomi maupun pendidikan. Hal ini disampaikan melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan diperjelas dengan keterangan yang dikatakan oleh Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir.
“Munculnya tahapan tersebut ketika Menko Airlangga menyampaikan beberapa alternatif tahapan penyelesaian covid-19 pada acara PII (Persatuan Insinyur Indonesia),” ungkap Iskandar, (7/5/2020).
Namun, jika merunut lagi kebijakan pemerintah dalam menghadapi corona, sejak awal pemerintah lebih mengkhawatirkan pertumbuhan ekonomi ketimbang keselamatan nyawa rakyatnya. Fakta ini terlihat pada Februari lalu, ketika dunia tengah bersiap-siap menyelamatkan warga negaranya dari bahaya corona, pemerintah justru mengeluarkan stimulus untuk pariwisata.
Pemerintah bahkan rela menaikan anggaran dari Rp 158,2 T menjadi Rp 160 T untuk menstimulus fiskal pencegahan dampak virus corona. Khusus untuk sektor pariwisata yang nilainya mencapai Rp 10,3 T yang digunakan untuk diskon tiket, diskon avtur hingga jaminan pemerintah untuk tidak menarik pajak hotel dan restoran.
Seiring dengan terus bertambahnya kasus COVID-19 di Indonesia, pemerintah akhirnya menerapkan PSBB. Meskipun PSBB dalam penerapannya dilakukan dengan setengah hati, ditandai dengan kebijakan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya memberikan kelonggaran terhadap perjalanan bisnis dengan pesawat komersil pada (27/4). Kebijakan ini ditetapkan selang beberapa hari dikeluarkannya Permenhub No.25/2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Puncaknya dengan kebijakan pelonggaran operasional transportasi umum yang mulai berlaku sejak (7/5) lalu.
Kecemasan pemerintah terhadap sektor ekonomi kembali dipertegas oleh Menkeu Sri Mulyani (11/5), satu bulan setelah kebijakan PSBB mulai diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Menkeu menilai PSBB sangat memukul sistem keuangan dan pertahanan ekonomi negara.
Skenario Hidup Normal
Belakangan kita mulai akrab dengan istilah “Skenario Hidup Normal” yang dianggap sanggup menyelamatkan perekonomian masyarakat di tengah situasi yang penuh ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Setidaknya ada lima prediksi tentang masa berakhirnya Covid-19 di Indonesia.
Adapun prediksi-prediksi yang pernah muncul yaitu: Prof. Amin Soebandrio dari Lembaga Biologi Molekuler memprediksi pertengahan hingga Mei, Guru Besar FKM UI, Ascobat Gani memprediksi Mei-Juni, Pakar Statistika UGM memprediksi pada 29 Mei, STUD memprediksikan tanggal 8 Desember 2020 Corona berakhir di Indonesia dan yang kelima adalah pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan corona akan berakhir pada akhir tahun 2020.
Skenario hidup normal yang kini tengah dipraktikan oleh pemerintah adalah mengizinkan golongan usia di bawah 45 tahun untuk kembali bekerja (11/5). Meskipun kebijakan yang disampaikan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo sempat dipermasalahkan karena menganggap usia 45 itu tidak akan terpapar corona.
Bukan hal baru, dimana pemerintah seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan nyleneh yang akhirnya diralatnya. Doni Monardo segera meluruskan kembali pernyataanya (12/5), ia mengatakan bahwa usia 45 tetap berpotensi menularkan virus corona. Menurutnya, untuk melaksanakan kebijakan tersebut pemerintah berpedoman pada Pasal 13 Permenkes No. 9/2020.
Kebijakan di atas menjadi sebuah sinyal bahwa pemerintah akhirnya memberi kelonggaran khusus terhadap sektor ekonomi di tengah-tengah pelaksanaan PSBB. Hingga (12/5) ada 4 provinsi dan 72 kabupaten /kota di Indonesia yang menerapkan PSBB sebagai langkah untuk mencegah meluasnya penyebaran corona.
Dengan tingkat keberhasilan yang masih perlu dievaluasi karena tak jarang beberapa daerah menerapkan kebijkan PSBB lebih dari sekali seperti Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Kabupaten Bandung Barat Dan Surabaya. Meskipun, penerapan PSBB tahap dua kota-kota tersebut berakhir di bulan Mei ini.
Analisis PSBB
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov menyarankan kepada pemerintah untuk mengkaji terlebih dahulu sektor usaha apa yang siap melaksanakan pelonggaran PSBB. Khususnya, kebijakan diizinkannya usia 45 ke bawah untuk bekerja di tengah situasi pandemi Corona. Karena kebijakan ini bisa jadi menjadi sinyal negatif bagi pelaku usaha dan investor. Terutama jika pemerintah tidak mempersiapkan skenario terburuk jika kasus penyebaran Covid-19 justru meningkat di kalangan usia 45 tahun ke bawah
“Pemerintah harus rasional kira-kira sektor industri mana yang kemungkinan bisa dibuka, harus ada batasannya juga, tenaga kerja berapa persen yang boleh bekerja. Harus ada kriteria, ada protap terhadap mekanisme kerja yang baru,” kata Abra (13/5/2020).
Sementara itu ahli epidemiologi, Tri Yunis Miko Wahyono yang juga bagian dari Tim Gugus Tugas Covid-19 Nasional justru mempertanyakan ide pelonggaran PSBB. Menurutnya sejak awal tidak ada indikator bagi keberhasilan PSBB. Karena selama ini PSBB paling berimbas terhadap penutupan kantor-kantor yang meliburkan pegawainya, namun belum bagi masyarakat secara umum.
Ekonomi vs Kesehatan Publik
Pierre-Olivier Gourinchas, dalam artikel yang dimuat di buku Mitigating the COVID Economic Crisis (2020), membahas perihal “Bagaimana virus bisa mempengaruhi perekonomian dunia?”. Ia pun menegaskan bahwa ekonomi modern seperti jejaring rumit yang saling berhubungan antara karyawan, perusahaan, pemasok, konsumen, perbankan, dll.
“Semua orang adalah karyawan, konsumen, atau pemberi pinjaman bagi yang lain,” Gourinchas.
Apabila salah satu di dalam jejaring ini terkena penyakit atau terdampak kebijakan penanganan Covid-19, maka akan mempengaruhi yang lain. Oleh karena itu, ketika negara-negara pemasok atau pembeli terkena dampak dan mulai menutup wilayahnya akibat Covid-19, usaha dalam rangka meraup keuntungan ekonomi justru menjadi sia-sia.
Pierre-Olivier Gourinchas menjelaskan, krisis yang dihadapi dunia saat ini merupakan kombinasi antara krisis kesehatan dan ekonomi. Ini yang membedakannya dengan krisis-krisis pada periode sebelumnya. Hal ini menempatkan pemerintahan di mana pun pada pilihan kebijakan yang sulit.
Lalu, apa yang mesti diberikan perhatian fokus kerja terlebih dahulu? Menekan penyebaran kasus Covid-19 atau menyelamatkan perekonomian. Kedua pilihan kebijakan ini tentu saling bertolak belakang: antara kehilangan nyawa atau terciptanya pengangguran.
Menurut Gourinchas, cara-cara untuk menurunkan kurva jumlah kasus baru Covid-19 memang berdampak pada perekonomian, terutama akibat penerapan karantina wilayah dan pembatasan mobilitas. Namun, hal ini bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan dalam situasi kini. Oleh karena kebijakan apapun yang dipilih, ekonomi tetap sedang tidak baik-baik saja. Resesi dipastikan tetap akan terjadi.
Lalu apakah pemicunya? adalah kepanikan rumah tangga dan perusahaan-perusahaan dalam menghadapi ketidakpastian akibagt pandemi itu sendiri. Apalagi kurang memadainya tanggapan kebijakan publik pemerintah dalam mengatasi situasi pandemi ini. Gourinchas menekankan bahwa mengatasi masalah kesehatan dan ekonomi sama pentingnya. Akan tetapi, ada prioritas yang harus dilakukan segera.
Ia pun memaparkan, ada banyak strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi resesi. Misalnya, bank sentral menyediakan bantuan likuiditas untuk sektor finansial ataupun melalui kerja sama multilateral. Menurutnya yang diperlukan saat ini ialah kombinasi kebijakan yang tepat untuk mengatasi pandemi dan resesi ekonomi.
Berawal dari kebijakan untuk membatasi penyebaran dan penularan Covid-19. Kesehatan didahulukan untuk mencegah sistem kesehatan tidak runtuh akibat kewalahan menangani pasien. Selanjutnya kebijakan fiskal dan finansial harus dirancang untuk menjaga tekanan dalam sistem ekonomi.
Dengan cara tersebut, dampak pandemi diharapkan tidak terjadi dalam jangka panjang. Stabilitas masyarakat dan perekonomian mampu secara cepat pulih kembali.
Berdasarkan survei kalangan ekonom oleh The Indonesia Regional Science Association (IRSA) pada awal April lalu. Mayoritas ekonom mengimbau pemerintah mendahulukan kebijakan pencegahan virus corona untuk menyelamatkan nyawa dan kesehatan manusia. Meski kebijakan itu berdampak negatif terhadap perekonomian, seperti dilansir dari Kata Data.
Bahkan mayoritas ekonom tersebut berpandangan, mengabaikan intervensi untuk membatasi penyebaran Covid-19 justru akan menyebabkan perekonomian terpuruk lebih dalam. Pemerintah diharapkan meningkatkan investasinya untuk peningkatan kapasitas sistem kesehatan, seperti pembangunan RS darurat, produksi ventilator, serta alat perlindungan diri (APD).
Oleh karena krisis ekonomi dipastikan bakal terjadi, maka pemerintah harus segera bertindak mengambil kebijakan untuk mengantisipasi dampak krisis.
Menurut laporan Kata Data, mengutip Profesor Harvard Jason Furman, dalam Mitigating the COVID Economic Crisis (2020) mengatakan “lindungi orang sekarang, membantu ekonomi pulih kemudian.“
Ditengah ketidakpastian dan situasi yang terus berubah, pemerintah harus bertindak cepat dan berupaya melakukan apa saja hal yang bisa dilakukan.
“Banyak bertindak lebih baik daripada terlalu sedikit,” tegas Jason Furman. Sedikit tindakan tak hanya merugikan kesehatan masyarakat, melainkan juga berpotensi memperpanjang krisis ekonomi.
Menurut Furman, Ada sejumlah langkah yang bisa dikerjakan, seperti mengalokasikan anggaran kesehatan. Kemudian, memberikan bantuan tunai untuk rumah tangga dan pendampingan bagi pelaku dunia usaha.
Ia menekankan untuk mencegah agar dampak krisis tidak terakumulasi, sehingga upaya perbaikan ekonomi tidak semakin berat ketika krisis berakhir.
Pada dasarnya, menurut Furman, pemerintah harus berupaya mencegah pelaku dunia usaha mengalami kebangkrutan yang tidak perlu dengan memastikan warganya tetap memiliki uang untuk berbelanja meski tidak lagi bekerja.
Akan tetapi bilamana mengamati urutan langkah yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menyikapi pandemi COVID-19, tampaknya lebih memprioritaskan perihak ekonomi dari pada mengantisipasi penyebaran virus lebih lanjut.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza