IslamToday ID -Narasi radikalisme ditubuh pesantren kembali digulirkan Badan Nasional Penanganan Terorisme (BNPT). Kali ini BNPT menggunakan lisan KH. Prof. Nasaruddin Umar.
Melalui lisan Imam Besar Masjid Istiqlal muncul usulan agar pengajaran kitab fiqh dipersantren dikaji ulang. Alasanya, kitab fiqh yang diajarkan dipesantren hingga saat ini merupakan ‘produk’ era Perang Salib.
Ia menganggap materi saat ini tidak relevan dengan kondisi saat ini. Salah satunya, materi fiqh tentang konsep negara.
“Kitab-kitab fikih yang kita pelajari sebetulnya produk-produk, sebagian besar produk Perang Salib. Maka itu konsep kenegaraan itu masih ada Darus Silmi, negara Islam. Kalau bukan negara Islam, berarti Darul Harb, negara musuh,” kata Nasaruddin dalam diskusi di kantor BNPT, Rabu lalu (10/6/2020).
Ia menjelaskan, bahwa kitab fiqh ‘produk’ era Perang Salib memuat tiga konsep negara. Yakni darul Islam, darul Harb berarti negara musuh, dan darul sulh berarti negara yang tidak menganut Islam, tetapi bersahabat dengan Islam.
Menurutnya, bahwa tiga konsep negara tersebut sudah tidak tepat dengan kondisi saat ini. Bahkan ia melihat beberapa negara Islam yang ada justru mengalami kehancuran.
“Sekarang kan kita enggak ada lagi, siapa yang mau dikategorikan darul harb? Siapa yang bisa jadi contoh negara Islam? Justru negara Islam yang babak belur di mana-mana, Afghanistan tiada hari tanpa peperangan, Suriah, Irak, Libya,” imbuhnya.
Menuai Penolakan
Ketua Umum DPP Front Santri Indonesia Muhammad Hanif Alathas menolak wacana pengkajian ulang materi fikih di pesantren. Ia mengingatkan agar para kyai dan pesantren mewaspai upaya mengobok-obok kurikulum pesantren, termasuk materi fiqh.
Menurutnya, materi hukum fikih lahir jauh sebelum peristiwa perang salib. Oleh karena itu peninjauan kembali materi fiqh di pesantren patut dipertanyakan kepentingannya.
“Mari kita berfikir cerdas, Kapan Perang Salib terjadi. Perang Salib itu terjadi pada tahun 490 H sampai 670 H. Karenanya, saya minta profesor yang mengatakan bahwa Kitab-kitab Fiqih Saat ini adalah produk Perang Salib agar mondok lagi di pesantren supaya cerdas dan tidak gagal faham,” tegas Hanif Alathas (11/6/2020).
Menantu Habib Rizieq Shihab ini menjelaskan, dalam pengambilan hukum fiqih umat Islam sejak lama telah mengikuti pendapat empat imam madzhab. Yakni Imam Abu Hanifah yang wafat pada tahun 150 H, Imam Malik yang wafat pada tahun 179 H, Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H dan Imam Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241 H.
“Empat Imam Madzhab semuanya wafat jauh sebelum Perang Salib, lantas logika mana yang membenarkan fikih ini adalah Produk perang Salib?” jelas Hanif.
Hanif menambahkan, dalam masalah fiqih politik umat Islam merujuk pendapat ulama yang wafat jauh sebelum perang salib. Misalnya pendapat Imam al-Mawardi yang wafat tahun 450 H, dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkam as-Sulthoniiyah. Selain itu juga pendapat Imam al-Haromain dalam kitabnya al-Ghiyatsi, ia wafat pada tahun 478 H. Keduanya juga telah wafat sebelum perang Salilb.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud tak sependapat dengan KH. Nasaruddin Umar, yang mengusulkan mengkaji ulang pelajaran fikih di pesantren lantaran masih produk era Perang Salib.
“Jadi kalau dibuang ya, saya enggak setuju. Karena ilmuwan enggak begitu cara berpikirnya,” kata Marsudi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/6/2020).
Menurutnya pelajaran fikih di pesantren adalah ilmu yang terus berkembang. Ia pun tak mempermasalahkan dalam pelajaran fikih yang ada saat ini masih terdapat produk era perang salib. Menurutnya, konsep era perang salib dalam kitab-kitab fikih yang saat ini masih menjadi bahan pelajaran di pesantren juga tak bisa begitu saja dihilangkan.
“Ilmuan akademis enggak begitu, enggak boleh membuang sebuah teori. Bukan membuang atau konsep teori yang sudah ada, yang ditulis dari zaman, mau zaman perang salib atau bahkan zaman sebelumnya,” ujarnya.
Marsudi lantas mencontohkan saat Nabi Muhammad SAW membangun Madinah dengan berbagai perbedaan di dalamnya. Menurutnya, langkah Rasullah itu menjadi contoh ketetapan yang bisa ditiru umat setelahnya.
Marsudi menyebut semua pesantren, terutama di bawah Nahdlatul Ulama dalam memasuki dan beradaptasi dengan dunia modern pun telah mencotoh langkah Nabi Muhammad tersebut. NU memiliki lembaga Bahtsul Masail, sebuah lembaga musyawarah untuk mengkaji penerapan ilmu fikih dalam kehidupan masyarakat modern. Begitu pula di sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam lain, seperti Muhammadiyah dengan lembaga tarjih-nya.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto