IslamToday ID –Kebijakan new normal membuat tes corona menjadi kebutuhan baru bagi masyarakat, salah satunya sebagai syarat bagi penumpang kapal maupun pesawat. Ironisnya tarif tes corona dinilai mahal.
Bahkan, banyak pihak menilai tes corona menjadi ladang bisnis ditengah penderitaan masyrakat. Pemeriksaan dengan rapid tes dibandrol dengan harga Rp 200 ribu hingga Rp 650ribu untuk sekali tes. Tes dengan metode PCR dibandrol Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta. Rapid test hanya berlaku untuk 3 hari, sedangkan PCR hingga 7 hari.
Tingginya tarif tes corona telah dikeluhkan banyak kalangan. Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra bahkan turut mengeluh. Ia mengatakan, pemerintah mengeluarkan aturan, bahwa salah satu syarat penumpang pesawat ialah mengantongi surat bebas corona yang didapat melalui tes PCR. Namun, tarif tes PCR justru lebih mahal dari harga tiket pesawat.
Ia mengunmgkapkan, tarif tes dengan metode PCR sekitar Rp 2,5 juta. Tarif tersebut lebih mahal daripada tiket pesawat jarak dekat seperti Jakarta-Surabaya. Sedangkan jangka berlaku tes tersebut hanya tujuh hari.
“kalau berpergian tujuh hari berarti harus tes PCR dua kali dan biayanya harus Rp 5juta. Sementara perjalanan bolak-balik hanya Rp 1,5 juta,” kata Irfan (2/6/2020).
Mahalnya tes corona juga menyebabkan para santri tidak bisa kembali ke pondok pesantren. Seperti dilaporkan korankaltara.com, sebanyak 75 orang santri Ponpes Modern Gontor asal Kaltara terancam tidak bisa kembali ke pesantren, lantaran tes PCR dibandrol dengan tarif Rp 2 juta. Hal yang sama juga terjadi di Majalengka, Jawa Barat juga di Kendal Jawa Tengah. Para wali santri mengeluhkan tarif rapid tes yang bekisar antara Rp 300 ribu-Rp 500 ribu.
Menelan Nyawa
Seperti dilaporkan kompass.com (17/6/2020) Ervina Yana, seorang warga di Makassar harus kehilangan bayi dalam kandungannya saat akan dilahirkan. Jika ingin melakukan persalinan, Ervina diharuskan menjalani rapid test dan swab.
Ia sempat ditolak tiga rumah sakit dengan alasan tidak memiliki alat rapid test dan swab. Kemudian ia dirujuk ke Stellamaris, dan menjalani rapid test dengan membayar biaya Rp 600 ribu. Hasil rapid test menunjukan ia positif Corona lantas ia pun diminta mengikuti tes PCR yang biayanya mencapai Rp 2,4juta. Namun karena ketiadaan biaaya ia tidak bersedia mengikuti tes.
Menurut aktivis perempuan Alita Karen, Ervina sempat ditolak oleh tiga RS swasta. Sebelum akhirnya keluarganya membawanya ke RSUP Wahidin Sudirohusodo. Namun naas setelah diperiksa bayinya telah meninggal 20 jam yang lalu. Di RSUP Wahidin Sudirohusodolah ia akhirnya menjalani operasi kehamilan. Untuk mengeluarkan bayinya yang telah meninggal gara-gara mengikuti prosedur tes corona sementara ia tak memiliki biaya yang cukup.
“Ibu Ervina ditolak tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab testnya tidak ada yang menanggung. Sehingga di RS terakhir, anak dalam kandungannya meninggal. Bagaimana dengan ibu-ibu yang ekonomi kurang, harus bekerja, dan hamil pula? Mereka itu harus diperhatikan, agar jangan sampai ada Ervina, Ervina lainnya,” kata Alita (17/6/2020).
Ladang Bisnis
Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah menilai kebutuhan tinggi akan tes coivid-19 dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan. Hal itu terlihat dari tarif tes corona yang luar biasa mahal.
Ia mengaku turut menjadi ‘korban’. Ketika menempuh perjalanan Jakarta-Lombok-Sumbawa dengan pesawat ia harus melalui serangaian tes, yakni rapid tes dan PCR. Setelah dikalkulasi seluruh biaya untuk keperluan tes corona dan harga tiket pesawat ternyata lebih mahal biaya tes corona.
“Industri test dadakan ini mengeruk keuntungan besar sekali melampaui industri perjalanan yang sedang jatuh,” kata Fahri melalui akun twitternya (23/6/2020).
Rektor Universitas Ibnu Kaldhun Rektor Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta, Musni Umar juga mengecam pihak-pihak yang memanfaatkan rapid test sebagai kesempatan meraup keuntungan.
“Saya kecam keras rapid test dijadikan ladang bisnis,” kata Musni melalui akun resminya, Rabu (24/6).
Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak hanya menoipang masyrakat dengan bansos, namun juga dengan fasilitas kesehatan seperti rapid test dan swab. Sebab biaya tes corona yang tinggi semakin memberatkan daya beli perekonomian masyarakat yang sedang sulit.
“Rakyat sudah susah hidupnya diperas lagi dengan bayar rapid test. Seharusnya gratis,” ujarnya.
Penulis: Kukuh Subekti, Airef Setiyanto