IslamToday ID – Mahkamah Agung (MA) memutuskan PKPU N0 5/2019 yang dijadikan acuan penetapan kemenangan Jokowi dalam Pilrpres 2019, dinyatakan melanggar UU Pemilu. Kemenagan ini ditanggapi dingin oleh Gerindra yang kini menjadi koalisi Jokowi. Padahal aturan yang menjadi landasan penetapan kemenangan Jokowi-Amin dalam pilpres 2019 cacat hukum.
Juru bicara Partai Gerindra, Habiburokhman, justru menilai kabar kemenangan dalam gugatan itu sengaja digulirkan sebagai pengalih isu. Ia kahwatir kabar tersebut hanya diguankan untuk menutupi kasus Djoko Tjandra yang tengah ramai.
“Saya khawatir itu pengalihan isu dari kasus besar seperti kembalinya Djoko Tjandra,” ujar Habiburokhman seprti dilaporkan detik.com Rabu (8/7/2020)
Sebelumnya MA pada 28 Oktober 2019 memenangkan gugatan Wakil ketua BPN Prabowo-Sandi, Rachmawati Soekarnoputeri. Rachmawati mengugat Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019: Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.
Berdasarkan hasil Pilpres 2019, Jokowi- Amin saat itu berhasil meraup kemenangan 55,5 persen setelah menang di 21 provinsi. Sementara Prabowo-Sandi menang di 13 provinsi di dua provinsi Jokowi hanya meraih 14 persen suara. Seperti di Aceh: 14,41 % dan di Sumbar: 14,08 %.
MA menilai PKPU tersebut melanggar Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal itu menyatakan bahwa paslon terpilih ialah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di tiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Berdasarkan hirarki perundang-undangan, PKPU tersebut dinilai MA telah melampaui UU Pemilu yang sifatnya lebih tinggi. PKPU tersebut melanggar asas keseimbangan, keselarasan, dan keserasian.
“ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” katanya.
Mengurai Alur Gugatan
Perosalan ini juga turut menjadi perhatian wartawan senior Hersubeno Arief. Melalui channel youtube Herusubeno Point pada (7/7) ia mencoba mengurai menguraikan detail kasus sengketa Pilpres 2019.
Ia menuturkan bahwa gugatan tersebut didaftarkan pada 13 Mei 2019, dan baru terregister oleh MA pada esoknya, 14 Mei 2019. Obyek gugatan yang disampaikan oleh pihak Rchmawati yakni Peraturan KPU (PKPU) No.5/2019 tentang Penetapan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
“Dalam pasal 3 ayat 7 Peraturan KPU nomor 5 disebutkan bahwa dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon dalam pemilu presiden dan wakil presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih. Nah obyek keputusan KPU inilah yang digugat oleh bu Rachmawati dan kawan-kawan,” kata Heru.
Tak lama setelah pengajuan gugatan ke MA tersebut, KPU pada 21 Mei 2019 menetapkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang pemilu. Kemudian, MA memutuskan gugatan pada 28 Oktober 2019 lalu.
“Ini ada jeda yang cukup Panjang antara keputusan dari Mahkamah Agung. Jadi ada sekitar jeda hampir 9 bulan, ini cukup lama padahal ini persoalan yang cukup serius,” ujarnya.
Heru menilai gugatan Pilpres tahun 2019 adalah persoalan yang cukup serius. Berdasarkan hasil dari keputusan MA disebutkan bahwa PKPU No.5/2019 bertentangan dengan Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang pemilu. Di dalam UU tersebut seorang pemenang pemilihan presiden harus memenuhi tiga kriteria.
Adapun kriteria yang dimaksud ialahpertama menang 50% plus satu suara, kedua meraih suara minimal 20% di seluruh provinsi di Indonesia dan yang ketiga dia harus menang di 50% plus satu provinsi yang ada di Indonesia. Berdasarkan UU tersebut yang juga diatur dalam pasal 6A UUD 1945, pasangan Jokowi-Maruf tidak memenuhi ketentuan tersebut.
“Kalau kita cermati sebenarnya, harusnya Jokowi tidak memenuhi ketentuan itu, karena dia kalah di Sumatera Barat. Ada 13 provinsi yang kalah dan dua provinsi Jokowi hanya memperoleh suara sekitar 14’an persen,” jelasnya.
Lebih jauh Heru menjelaskan bahwa pasangan Jokowi-Maruf hanya memperoleh 14,41% suara di Aceh dan di Sumatera Barat ia memperoleh suara 14,01%. Dari ketentuan UUD pasal 6A maupun UU No.7/2017 tentang pemilu Jokowi dinilai tidak memenuhi ketentuan ini.
“Nah yang jadi menarik mengapa kemudian, mengapa keputusan itu begitu lama dipublish padahal kita tahu presiden dilantik pada tanggal 20 Oktober 2019. Dan kemudian keputusan ini hanya berselang sepekan kemudian, tanggal 28 bulan sepuluh tahun 2019,” tutur Heru.
Cacat Hukum
Pengacara Rachmawati, M. Taufiqurrahman dalam channel youtube Hersubeno (7/7/2020) kaget dengan munculnya publikasi putusan MA. Sebab ia mengaku sempat merasa hope less terkait hasil gugatan yang diajukan ke MA dulu.
“Saya pernah sampaikan ke bu Rachmawati. Bu kok rasanya saya hope less ya sama putusan terkait dengan permohonan yang kita ajukan karena rimbanya itu benar-benar tidak kita ketahui,” kata Taufiq.
Taufiq mengaku mengalami kesulitan dalam mengikuti keberjalanan gugatan terhadap PKPU No.5/2019 tersebut. Ia mengaku kesulitan dalam memperoleh akses informasi terkait keberjalanan perkara baik secara langsung atau melalui aplikasi direktori MA. Ia menuturkan paling tidak terdapat histori yang biasanya ditampilkan di direktori MA sehingga bisa diketahui tahapan proses perkara yang diajukan.
Taufiq selaku kuasa hukum pemohon menjelaskan bahwa KPU telah melampaui kewenangannya. Terutama yang terdapat dalam pasal 3 ayat 7 PKPU No.5/2019.
“Kami melihat KPU melampaui kewenanganya, jadi pasal 3 ayat 7 secara substansi apabila pemilihan presiden dan wakil presiden hanya diikuti oleh dua pasangan calon maka pemenangnya diambil berdasarkan suara terbanyak. Nah disitulah yang menjadi titik persoalannya,” tutur Taufiq.
Menurutnya pasal 3 ayat 7 dalam PKPU No.5/2019 yang menjadi objek gugatan oleh pihaknya dinilai aturan bukan pelaksana pemilu. Pasal tersebut dinilai justru ada di level undang-undang bukan peraturan teknis yang ada di KPU.
Menurutnya, keluarnya potusan MA yang menghapus pasal 3 ayat 7 dalam PKPU No.5/2019 membuat KPU kehilangan pijakan untuk menetapkan pemenang pemilu dalam Pilpres tahun 2019 kemarin. Tidak adanya dasar pijakan inilah yang menimbulkan perdebatan terkait hsil Pilpres 2019 kemarin.
“Saya sedang berkonsultasi dengan Ibu Rachma (prinsipal) mengenai tindak lanjutnya. Terbuka kemungkinan kami akan menempuh jalur DKPP untuk mempersoalkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan KPU,” pungkas Taufiq seperti yang dikutip dari rmol.id (7/7/2020).
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto