IslamToday ID –Mahkamah Agung telah menyatakan pasal 3 Ayat (7) PKPU No. 5/2019 bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun demikian KPU masih ngotot jika hal itu tidak mempengaruhi keabsahan penetapan hasil Pilpres 2019.
“Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 tidak berpengaruh terhadap keabsahan penetapan paslon Presiden dan Wapres terpilih hasil Pemilu 2019,” kata Komisioner KPU Hasyim Asy’ari Selasa (7/7/2020) seperti dilaporkan kompas.com
Menurut Hasyim, MA tidak berpengaruh pada hasil Pilpres, sebab asas hukum dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut.
Lanjutnya, permohonan uji materi PKPU tersebut diregister pada 14 Mei 2019 dan diputuskan 28 Oktober 2019. Sedangkan penetapan paslon Presiden dan Wapres terpilih hasil Pemilu 2019 dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2019.
“Putusan MA tersebut adalah pengujian norma PKPU, maka tidak dapat diberlakukan surut terhadap peristiwa hukum yang telah dilaksanakan,” jelas Hasyim.
Hasyim menambahkan UU 7/2017 secara tekstual memang tidak menerangkan aturan tentang Pilpres yang hanya oleh 2 paslon tidak perlu putaran kedua. Namun kedua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 50 Tahun 2014 juga menyebut bahwa Pilpres yang hanya diikuti oleh 2 paslon tidak perlu putaran kedua.
Hasyim menegaskan bahwa hasil Pilpres 2019 tetap sah dan konstitusional. Sebab, pemilihannya sesuai dengan Pasal 6A UUD 1945.
” Hasil Pilpres 2019 dengan pemenang Paslon 01 Jokowi-Amin sudah sesuai dengan ketentuan formula pemilihan atau electoral formula sebagaimana ditentukan oleh Pasal 6A UUD 1945,” kata Hasyim.
Sisi Lemah MA
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan bahwa putusan MA No. 44 P/HUM/2019 tidak membatalkan kemenangan pasangan calon Joko Widodo- Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019. Sebab kemenangan Jokowi-Amin telah diputus oleh MK. Menurut Yusril, MA tidak berwenang mengadili sengketa pilpres.
“Menang tidaknya Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputus oleh MK karena hal itu menjadi kewenangannya. MA sama sekali tidak berwenang mengadili sengketa Pilpres. Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) itu final dan mengikat,” kata Yusril melalui keterangan tertulis, Rabu (8/7/2020).
Yusril menambahkan, KPU turut merujuk putusan MK dalam menetapkan kemenangan Jokowi-Amin. Putusan MK dengan tegasmenolak permohonan sengketa yang diajukan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Menurut Yusril, putusan MA baru diproses pada 28 Oktober 2019. Waktu tersebut selang seminggu setelah Jokowi-Amin dilantik MPR. Maka dari itu, putusan MA hanya berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan dan tidak berlaku surut.
Yusril juga mengatakan, mengatakan, Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon memang tidak diatur dalam Pasal 416 UU 7/2017 tentang Pemilu. Namun, Pasal 7 ayat 3 PKPU No 5 Tahun 2019 itu mengaturnya, dengan mengacu kepada Putusan MK No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 45 dalam hal Paslon Capres dan Cawapres hanya dua pasangan.
Putusan MK dilakukan dalam konteks pengujian terhadap norma Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, yang isinya sama dengan norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ia mengatakan, lantaran materi pengaturan yang diuji bunyinya sama, maka Putusan MK terhadap pengujian Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 itu mutatis mutandis dan berlaku terhadap norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Karena itu, kalau paslon Pilpres itu hanya dua pasangan, aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tata negara adalah Pilpres dilakukan hanya 1 kali putaran dan paslon yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi pemenangnya,” ucap Yusril.
Yusril menambahkan, meskipun putusan MK bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan, putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri.
Di sisi lain MA memutus perkara pengujian PKPU itu dengan merujuk kepada Pasal 416 UU, sehingga menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu. Namun, MA tidak dapat menguji apakah PKPU itu bertentangan dengan Putusan MK.
“Di sini letak problematika hukumnya,” tutur Yusril
Sebelumnya, Pada 28 Oktober 2019 MA mengabulkan permohonan uji materi Pasal 3 Ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum. Gugatan ini diajukan oleh Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi, Rachmawati Soekarnoputri, dan enam pemohon lainnya. Namun putusan MA baru dipublis ke publik pada 3 Juli 2020 kemarin.
Dalam putusan Nomor 44 P/PHUM/2019 tersebut dan diunggah pada 3 Juli 2020 lalu, MA menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan denan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 416 ayat 1.
“Mengabulkan permohonan hak uji materiil yang diajukan para pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan UU 7/2017,” seperti disebut dalam putusan MA itu
Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 berbunyi “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih”.
Sedangkan Pasal 416 ayat 1 UU 7/2017 berbunyi “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50%(lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.
Dalam pertimbangannya MA berpendapat, KPU yang mengeluarkan PKPU 5/2019 telah membuat norma baru dari peraturan yang berada diatasnya, yakni UU 7/2019. Selain itu, KPU juga memperluas tafsir dalam pasal 416 UU 7/2017.
Penulis: Arief Setiyanto