IslamToday ID – Majunya putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan Walikota Solo, serta menantu Jokowi, Bobby Nasution dalam pemilihan Walikota Medan menambah daftar panjang politik dinasti.
Presiden Jokowi bahkan dinilai telah menyalahgunakan kewenangannya. Pasalnya, Jokowi turuntangan untuk memuluskan langkah puteranya dalam pilkada Solo. Jokowi tanpa-malu malu, memainkan politik ‘dagang sapi’. Jokowi memanggil Achmad Purnomo yang merupakan lawan politik Gibran, dan menawarkan jabatan kepadanya.
“Ya ada (tawaran timbal balik), tapi bagi saya ndak perlu,” ungkap Purnomo, Jumat (17/7/2020) dikutip dari detik.com
Tawaran tersebut disampaikan saat Purnomo dipanggil Jokowi ke Istana, Kamis (16/7) kemarin. Namun ia tak bersedia menjawab apa penawaran Jokowi. Purnomo hanya memastikan tawaran tersebut berupa jabatan, tapi bukan posisi menteri.
Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto ia menilai keberadaan dinasti politik sangat berbahaya. Pasalnya, dinasti politik bisa menyebabkan terjadinya pemusatan kekuasaan dan ekonomi. Akibatnya kontrol terhadap kekuasaan menjadi lemah, sehingga rawan terjadi kasus korupsi.
“Bisa saja terpeleset penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi. Banyak contoh bisa diajukan, itu terjadi di Banten, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Kutai Kartanegara,” kata Arif Susanto.
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin berpendapat masuknya Gibran dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Surakarta menjadi gejala langgengnya dinasti politik serta menguatnya oligarki di Indonesia. Pemberian rekomendasi kepada Gibran pada 17 Juli lalu menurutnya hanyalah berdasarkan pertimbangan politik saja.
“Ini demi menjaga keseimbangan politik dan menjaga hubungan baik dengan Jokowi. Karena jika PDIP tidak merekomendasikan Gibran menjadi Cawalkot Solo, maka sama saja PDIP menampar muka keluarga Jokowi,” kata Ujang (19/7/2020).
Masuknya Gibran yang berstatus putra presiden semakin menunjukan jika partai politik Indonesia belum mampu melahirkan kader-kadernya sebagai calon pemimpin, baik itu tingkat daerah maupun tingkat nasional.
Sebagai partai yang tergolong “veteran” seharusnya PDIP mampu menampilkan kader-kader terbaiknya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Sangat tidak etis jika mengambil orang dari luar partai yang sama sekali belum berpengalaman.
“Bukan mencomot orang dari luar, yang tidak pernah berkeringat dan berdarah-darah untuk partai,” jelas Ujang.
Ujang memprediksi, Gibran akan mudah dalam melaluim kontestasi pilkada di Solo. Ia mendapat dukungan PDIP, yang meraup suara terbesar di Solo. Selain itu ditambah dukungan dari Golkar, Gerindra, dan PAN beserta PSI semakin muluslah jalan putera Presiden menuju Surakarta 1.
Jika dilihat, tinggal PKS dengan lima kursinya saja yang belum mengambil sikap. Padahal batas minimal untuk bisa maju mengusung calon dalam Pilkada 2020 ialah sembilan kursi.
“Saya jamin menang. Bahkan, dia mungkin akan lawan kotak kosong itu. Lihat saja peta politiknya,” ucap Ujang (21/7/2020).
Dinasti politik juga melilit keluarga Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto, juga melakukan hal serupa. Puteri Wapres Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, akan berebut kursi Walikota Tangerang selatan pada pilkada tahun ini. Keponakan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo juga maju sebagai wakil walikota Tanggerang Selatan.
Pilkada Tangerang selatan ibarat perebutan dinasti politik. Kehadiran Siti Nur Azizah putri Wapres Ma’ruf Amin dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo keponakan Menhan Prabowo mencoba merebut dinasti politik Ratu Atut Chosiyah di Banten. Pasalnya, Pilar Sinaga Ichsan yang juga maju sebagai walil walikota Tangerang selatan merupakan anak dari Ratu Tatu Chasanah keponakan dari Ratu Atut, mantan Gubernur Banten.
Dinasti Politik dan Korupsi
Banyak fakta di lapangan yang menunjukan adanya korelasi yang erat antara dinasti politik dan korupsi. Hal ini diungkapkan oleh Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan.
Ia menambahkan berdasarkan data yang dimilikinya sejak tahun 2010 hingga 2014, di Indonesia terdapat 61 daerah yang melaksanakan sistem politik dinasti. Bahkan kini dinasti politik telah menggurita di 117 daerah.
“Banyak kasus lah, perilaku koruptif meningkat dengan ada keluarga yang memegang dinasti politik ini. Sekarang itu terakhir naik menjadi 117, jadi dari data awal saya 61 sekarang sudah jadi 117, jadi 21 persen dari jumlah daerah otonom kita,” terang Djohermansyah (6/7/2020).
Pada tahun 2018, kasus suap yang ditangani KPK juga terkait dengan dinasti politik. Yakni Kasus yang menjerat Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun dan anaknya Adriatma Dwi Putra selaku Walikota Kendari.
“Sudah berulang kali KPK juga mengatakan dinasti politik menjadi atensi di KPK karena kecenderungan untuk memiliki, atau meraup kekayaan di wilayah dalam kewenangannya,” tutur Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan (1/3/2018).
Dilansir dari kompas.com (2/3/2018) ada enam dinasti politik yang jatuh dalam kubangan korupsi. Mereka memiliki hubungan kekerabatan sebagai suami-istri, adik-kakak bahkan sebagai anak dan orang tua.
Pertama Dinasti Ratu Atut di Provinsi Banten. Selaku Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah melakukan korupsi bersama sang adik Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Keduanya terlibat kasus korupsi dana proyek yang berlangsung di Banten sejak tahun 2005 hingga tahun 2012.
Dinasti ini terbilang sangat sukes. Sebab tidak hanya melakukan praktik dinasti di jajaran ekesekutif saja melainkan di jajaran legislatif. Anak dan menantu Atut misalnya duduk sebagai anggota DPD Banten dan juga sebagai anggota DPRD Kota Serang.
Kedua Dinasti Kutai Kertanegara. Kasus korupsi dalam dinasti ini dipraktikan oleh Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari. Selain Rita, sang ayah Syaukani Hassan Rais yang dulunya juga merupakan Wakil Bupati Kutai Kertanegara juga melakukan hal serupa. Bahkan keduanya tidak hanya terlibat dalam satu kasus korupsi saja melainkan lebih dari tiga kasus korupsi.
Ketiga Dinasti Cimahi, kasus kali ini melibatkan pasangan suami istri. Sebelum Atty Suharti jabatan walikota dua periode telah lebih dulu jabat oleh sang suami, Itoc Tochija. Dari hasil penyelidikan terungkap jika Itoc berperan dalam menentukan siapa pemenang tender dalam setiap proyek pembangunan di Kota Cimahi.
Keempat Dinasti Bangkalan, kali ini melibatkan hubungan antara ayah dan anak. Yang dilakukan oleh Mantan Bupati Bangkalan dua periode Fuada Amin Imron (2003-2013). Setelah dia lengser diganti oleh putranya yang bernama Makmun Ibnu Fuad menjadi bupati (2013-2018). Fuad lantas dilantik oleh putranya menjadi Ketua DPRD Bangkalan periode (2014-2019). Ayah dan anak ini pun menjadi pemimpin lembaga ekseutif dan legislatif di Kabupaten Bangkalan.
Kelima Dinasti Klaten, sejak tahun 2000 pimpinan di Klaten selau identik dengan suami istri. Kasus ini terungkap ketika Bupati Klaten periode 2016-2021, Sri Hartini tertangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Desember 2016.
Sejak tahun 2000 dinasti Klaten dipimpin oleh dua keluarga yakni Sunarna dan Haryanto. Sunarna ialah suami Sri Hartini sekaligus bupati Klaten periode 2000-2005. Kemudian Haryanto yang merupakan wakil Bupati Sunarna, yang juga pernah menjadi bupati Klaten ia juga suami dari Sri Mulyani. Sri Mulyani merupakan Wakil Bupati Klaten mendampingi Sri Hartini.
Dinasti Keenam ialah Dinasti Banyuasin Sumatera Selatan. Bupati Banyuasin Yan Anton (2013-2018) merupakan putra dari Amiruddin Inoed. Yan Anton melanjutkan kepemimpinan ayahnya yang pernah menjadi Bupati Banyuasin 12 tahun. Ia ditangkap KPK setelah menerima suap atas proyek di Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuasin.
Penulis. Kukuh Subekti