“Bayangkan (ekonomi) isinya hanya minus, minus, minus, minus, minus, dan minusnya adalah dalam posisi yang gede-gede,”
-Presiden Jokowi-
IslamToday ID – Pernyataan itu disampaikan Presiden Jokowi dalam acara Penyaluran Dana Bergulir Untuk Koperasi Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (23/7/2020).
Presiden Jokowi mengatakan, covid-19 telah mengkontrasi pertumbuhan ekonomi di setiap negara. Proyeksi ekonomi global dan sejumlah negara di dunia selama pandemi Covid-19 isinya hanya minus.
Dikutip dari republika.cio.id Presiden Jokowi mengaku, tiga bulan lalu menelepon Managing Director IMF. Jokowi menerima menerima laporan bahwa ekonomi global tahun ini diperkirakan minus 2,5 persen dari sebelumnya positif 3-3,5 persen.
Dua bulan lalu ia juga menelpon Bank sunia dan menerima laporan, bahwa ekonomi akan minus 5 persen. Kemudian dua pekan lalu Presiden Jokowi menelepon Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Ekonoimi diprediksi akan minus 6 sampai minus 7,6 persen.
Presiden Jokowi menuturkan, berdasarkan laporan OECD, pertumbuhan ekonomi Prancis minus 17 persen, Inggris minus 15 persen, Jerman minus 11 persen, Amerika Serikat minus 9,7 persen, Jepang minus 8,3 persen dan Malaysia minus 8 persen.
Krisis ekonomi yang menerpa Indonesia juga diakui presiden Jokowi. Ia menyampaikan, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II 2020 ini akan merosot tajam. Prediksinya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II akan minus 4,3 persen hingga minus 5 persen. Kondisi ini jauh dari capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020 yang sebesar 2,97 persen.
“Kita harus ngomong apa adanya, bisa minus 4,3 persen sampai mungkin (minus) 5 (persen),” ujar Presiden Jokowi
“Gambaran apa yang ingin saya sampaikan, bahwa setiap bulan selalu berubah-ubah, sangat dinamis, dan posisinya tidak semakin mudah, tapi semakin sulit,” imbuhnya
Namun, Presiden Jokowi mengklaim, sudah mulai melihat laporan positif terkait angka konsumsi. Ia mengklaim, hal itu program pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) desa, bantuan sosial tunai, bantuan sembako, dan lain-lain mulai terserap.
“Itu akan sangat mempengaruhi daya beli dan konsumsi rumah tangga, konsumsi masyarakat,” kata Presiden Jokowi.
Selian itu, Presiden Jokowi memberi sinyal jika, nasib Indonesia tergangtung pertumbuhan ekonomi di bulan Juli, Agustus, dan September 2020. Jika ini bisa dimanfaatkan dengan baik, maka Indonesia akan lebih mudah menghadapi krisis.
“Kita hanya punya waktu untuk ungkit (ekonomi) ini pada Juli, Agustus, September. Kalau kita bisa mengungkit ini, insya Allah kuartal keempat lebih mudah, tahun depan lebih mudah.” kata Presiden Jokowi.
Ekonomi Indonesia Terus Memburuk
Kabar gembira yang disampaikan Presiden Jokowi bertolak belakang dengan analisis para ekonom. Ekonom Senior, Rizal Ramli menilai pemerintah dinilai tidak mampu memulihkan Indonesia dari kondisi krisis. RR meyakini Indonesia telah masuk dalam jurang resesi. Meskipun data pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2020 belum keluar, jatuhnya daya beli, meningkatnya pengangguran karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang begitu besar telah cukup mengambarkan kondisi Indonesia yang terpuruk.
“Ini kita sudah resesi, daya beli nggak ada, pengangguran naik, krisis kesehatan, ya resesi lah. Resesi itu definisinya pertumbuhannya negatif. Kuartal ini negatif, kuartal depan juga bakal negatif,” ujarnya dalam diskusi yang digelar secara virtual, Kamis (16/7/2020).
Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga mengatakan hal yang sama, perekonomian Indonesia sudah menunjukkan pelemahan. Kondisi itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 sebesar 2,97 persen, melambah dari periode sama di tahun lalu yang tercatat 5,05 persen.
“Ini mengindikasikan bahwa produktivitas perekonomian baik dari sisi permintaan dan produksi mengalami penurunan,” ungkapnya kepada Kompas.com, Senin (20/7/2020).
Lanjutnya, turunnya aktivitas ekonomi nasional menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, kebijakan PSBB yang di berbagai daerah di Indonesia turut berdampak pada sektor non formal. Kondisi ini menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat sehingga berdampak pada penurunan pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Direktur Riset Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah juga mengatakan, kontraksi perekonomian Indonesia sudah terlihat sejak kuartal II-2020 dan diperkirakan berlanjut ke kuartal III-2020. Imbasnya akan banyak terjadi PHK sehingga meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Menurutnya, kondisi ini tidak bisa lagi dicegah.
“Yang bisa dilakukan adalah mengurangi dampak sosialnya dengan menyalurkan bantuan sosial,” kata dia.
Sementara itu, pandemi covid-19 dinilai telah menyebabkan lonjakan pengangguran. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat pada 2019 lalu tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai, yang berkisar 5,28 persen. Namun pada 2020 TPT melompat ke angka 8,1 hingga 9,2 persen. Bappenas memprediksi pada 2021 angka pengangguran bisa menyentuh 12,7 juta orang.
“Dikhawatirkan pada 2021 pengangguran akan mencapai 10,7-12,7 juta orang. Jadi kami berharap bisa dikembalikan setidaknya mendekati sebelum pandemi,” ucap Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin (22/6/2020) dikutip dari tirto.id
Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan terjadi peningkatan penduduk miskin dari 25,1 juta menjadi 26,4 juta pada periode Maret 2020. Sementara itu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, posisi utang pemerintah Indonesia hingga akhir Juni 2020 adalah sebesar Rp 5.264,07 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 32,67 persen.
Penulis: Arief Setiyanto