IslamToday ID— Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana menyelenggarakan pendidikan militer untuk mahasiswa. Sejumlah pihak menilai rencana tersebut mengingatkan pada rezim orde baru.
Kemenhan bermaksud mengadakan pendidikan militer selama satu semester kepada mahasiswa. Pendidikan militer tersebut dianggap sebagai bagian dari Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara sebagai mana diatur dalam UU No.23/2019.
Sementara itu Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud, Nizam, mengatakan bahwa pendidikan militer, merupakan bagian dari skema kampus merdeka yang sudah berlangsung sejak Januari lalu. Melalui skema tersebut, mahasiswa memiliki waktu dua semester untuk mengikuti mata kuliah di luar program studi .Pilihan tersebut dapat mengakomodir program Bela Negara. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa kini pihaknya bersama Kemenhan tengah menggodog rencana tersebut.
“Ya mudah-mudahan di tahun 2021 sudah bisa kita lakukan sebagai pilihan bagi mahasiswa yang ingin untuk menjadi bagian dari komponen cadangan,” jelas Nizam.
Bungkam Nalar Kritis
Usulan dari Kemenhan dan Kemendikbud tersebut menuai kritik dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. Ia mengatakan bahwa rencana tersebut berpotensi melemahkan nalar kritis mahasiswa
“Itu malah menumpulkan nalar itu sendiri, yang seharusnya ruh dari mahasiswa,” jelas Ubaid (17/8/2020).
Ubaid mengatakan sikap cinta tanah air, bagi seorang mahasiswa bukan berarti dengan cara mengikuti pendidikan militer yang dipaksakan. Ia meminta agar rencana pendidikan militer tersebut dibatalkan.
Selain Ubaid, Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji mengungkapkan pendidikan militer di kampus tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia. Bahkan rencana tersebut mengingatkannya terhadap rezim orde baru.
“Kita tahu Orde Baru modelnya seperti itu, tidak menumbuhkan rasa cinta Tanah Air juga,” jelas Indra.
Indra mengungkapkan bahwa pemerintahan pada masa Orde Baru di bawah rezim Suharto sangat kental nuansa militerisme. Tidak hanya itu, pada masa Suharto juga dikenal dengan upaya untuk memanipulasi sejarah dalam ranah pendidikan. Termasuk bagi siapa saja yang tidak menyepakati rencana Suharto akan dicap sebagai orang yang anti pembangunan, sebagaimana jargon yang digaungkan oleh Suharto.
“Jadi sebenarnya rasa cinta Tanah Air bukan seperti itu. Bukan model militerisme. Kecuali kita punya kebutuhan seperti Singapura, karena negaranya kecil mereka mewajibkan semua warga negara laki-laki wajib militer,” terang Indra.
Kritik berikutnya berasal dari Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti. Fatia mengungkapkan, masuknya pendidikan militer ke dalam pendidikan formal sangat berbahaya. Ia khawatir rencana tersebut akan membangkitkan kembali budaya-budaya atau kultur-kultur kekerasan sebagaimana yang terjadi dalam orde baru.
“Nah, yang ditakutkan begini, pertama, kita tahu bahwa budaya-budaya atau kultur-kultur kekerasan itu masih ada sampai sekarang karena itu masih terlembaga sejak masa Orde Baru dan jika memang misalkan kultur militerisme ini mulai dirasuki kembali ke ranah-ranah pendidikan formal, itu akan sangat berbahaya,” jelas Fatia (17/08/2020).
Fatia juga mempertanyakan motif, tujuan di balik rencana masuknya pendidikan militer ke dalam pendidikan ke dalam kampus . Ia khawatir rencana itu merupakan langkah untuk membungkam nalar kritis mahasiswa.
“Kita tahu bahwa sekarang mahasiswa sangat aktif, dan sangat kritis terhadap negara, apakah tujuannya untuk meredam itu semua? Meminimalisir kritisisme dari mahasiswa itu sendiri sehingga mereka, misalkan, lebih patuh terhadap sistem-sistem yang dikelola oleh negara, sehingga upaya-upaya kritis, dari anak muda khususnya, itu mulai dibungkam secara perlahan lewat wajib militer ini,” imbuhnya.
Fatia menambahkan bahwa pendekatan militerisme kepada mahasiswa tidak relevan jika tujuannya untuk membentuk mentalnya menjadi warga negara yang baik. Baginya rencana tersebut sangat kuno dan tidak relevan.
“Masih banyak cara-cara lain sebenarnya yang bisa dilakukan dalam sektor pendidikan dengan semangat demokrasi dan keadilan yang bisa diupayakan. Jadi mungkin yang harus dilihat dari negara adalah angle yang berbeda, perspektif yang berbeda dari bagaimana anak muda hari ini bergerak. Bukan dengan cara-cara kekerasan ataupun yang memang katanya untuk menguatkan mental dan lain sebagainya itu,” kata Fatia.
Menurut Fatia, mahasiswa seharusnya diberi ruang lebih luas untuk menerapkan ilmunya pada masyarakat, bukan ditempa dengan militerisme seperti yang direncanakan oleh pemerintah.
Penulis: Kukuh Subekti