IslamToday ID – Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai membungkam kebebasan berpendapat. Terungkap fakta bahwa UU ITE lebih sering digunakan para pejabat.
Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) tahun 2019 menunjukan ada 285 kasus pemidanaan yang terjadi sejak UU ITE tersebut disahkan. Bahkan di tengah pandemi Covid-19, angkanya cenderung meningkat dengan 110 tersangka.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto mengungkapkan, pasal yang paling banyak dipakai sebagai bahan dasar pelaporan iala pasal pencemaran nama baik dan pasal ujaran kebencian. Ia juga mengungkapkan, sangat kecil kemungkinan bagi seseorang keluar dari jeratan pasal tersebut.
Lanjutnyam berdasarkan data yang dimiliki oleh SAFEnet terungkap beberapa pihak yang kerap menggunakan pasal tersebut. Kata Damar, mayoritas pelapor yang menggunakan UU ITE sebagai senjata ialah pejabat publik, jumlahnya mencapai 38 persen. Mereka yang terdiri atas kepala daerah, kepala instansi, menteri dan aparat keamanan.
Sementara masyrakat awam yang menggunakan UU ITE sebagai dasar pelaporan hanya 29 persen, sedangkan kalangan profesi 27 persen dan kalangan pengusaha 5 persen.
Sementara itu, mereka yang kerap menjadi sasaran UU ITE mayoritas adalah masyarakat awam. Selain itu, jurnalis/media, aktivis, dosen/guru, hingga artis, budayawan dan penulis.
UU yang disahkan tahun 2008 tersebut pernah direvisi pada tahun 2016. Ada tujuh poin yang diubah dalam UU ITE. Salah satunya ialah pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur pidana dalam pasal tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang telah diatur dalam KUHP. Revisi UU tersebut mengurangi masa tahanan dan juga denda yang diberikan. Masa tahanan menjadi empat tahun jika sebelumnya enam tahun penjara dengan denda maksimal Rp 1 miliar turun menjadi Rp 750juta.
Damar mengatakan, UU ITE tercatat sudah tujuh kali mengalami gugatan. Materi gugatan paling banyak diajukan untuk pasal 27 ayat 3. Namun gugatan terhadap pasal tersebut selalu kandas.
Mahkamah Konstitusi dalam salah satu kesimpulannya terhadap penolakan gugatan mengatakan, bahwa norma yang terdapat dalam Pasal 27 ayat 3 adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Namun menurut Damar, sangat penting kiranya agar UU tersebut bisa segera direvisi kembali.
“Sekarang dalam konteks kemerdekaan, yang kita inginkan undang-undang yang lebih baik pengaturannya,” pungkas Damar (3/8/2020).
Membungkam Kebebasan Berbendapat
Dampak negatif berlakunya UU ITE juga diungkapkan oleh Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara. Menurut Beka, keberadaan UU ITE ini merupakan bagian dari pembungkaman atas kebebasan berpendapat yang dilakukan oleh pemerintah melalui perundang-undangan.
“Berlakunya UU ITE sering digunakan oleh para pihak yang tidak suka dengan pendapat seseorang, kemudian diperkarakan ke polisi,” kata Beka (3/8/2020).
Dalam catatan Komnas HAM sejak tahun 2015 hingga 2019, jumlah kasus pelanggaran HAM terkait kebebasan berpendapat mencapai 2.195 kasus. Dengan jumlah total pengaduan yang diterima Komnas HAM mencapai 32.236 kasus. Bahkan kuantitas dan kualitas kasus pelanggaran kebebasan berpendapat setiap tahunnya terus mengalami penambahan.
Beka mengatakan bahwa pejabat publik hingga aparat penegak hukum dinilai kurang memahami batasan kebebasan berpendapat. Tidak hanya itu, menurut Beka aparat penegak hukum juga dinilai tidak bisa membedakan antara kritik dan pendapat, fitnah atau ujaran kebencian.
“Ini PR pemerintahan Jokowi. PR terbesarnya adalah mampu menciptakan suasana kondusif bagi terjaminnya kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sehingga tidak represif, sedikit-sedikit ditindak hukum,” ujar Beka.
Turunnya tingkat kebebasan pendapat juga dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kebebasan berpendapat mengalami penurunan pada tahun 2019. Jika dibandingkan dengan tahun 2018 kebebasan berpendapat tahun 2019 menurun hingga 1,88 poin.
Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto mengungkapkan sejumlah alasan yang menyebabkan turunya kebebasan berpendapat di Indonesia. Alasan tersebut diantaranya ialah bertambahnya ancaman atau penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh aparat pemerintah.
“Masih adanya ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah di beberapa provinsi,” ungkap Kecuk (3/8/2020).
Kecuk juga mengungkapkan jika kebebasan berpendapat menyebabkan indeks kebebasan sipil menurun. Ia mengungkapkan Indeks Kebebasan Sipil 2019 menurun 1,26 poin dari tahun sebelumnya, menjadi 77,20. Bahkan kemunduran Indeks Kebebasan Sipil itu berlangsung dalam kurun waktu lima tahun, tepatnya sejak tahun 2014 hingga 2019.
Dominasi Militer, Negara Anti Krtik
Sementara itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, mundurnya kebebasan berpendapat di era Jokowi disebabkan oleh banyaknya pejabat berlatar militer di dalam pemerintahan Jokowi.
“Sekarang ini di jajaran pemerintah banyak figur TNI-Polri. Ini menunjukkan logika militerisme kuat di pemerintahan. Jadi sifatnya tidak ada semacam opini lain,” ucap Wasisto.
Lanjutnyam banyaknya purnawirawan TNI dan Polri dalam kabinet pemerintahan Jokowi periode yang ke dua. Sebut saja Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Sedangkan dari unsur kepolisian terdapat Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri dan Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Wasisto mengungkapkan masuknya para purnawirawan menunjukan bahwa Jokowi tengah menguatkan posisinya secara politik. Sebab, Jokowi tidak memiliki posisi strategis dalam partai politik. Meskipun dengan resiko negara menjadi anti terhadap kritik.
“Ketika kita bicara militer, kita bicara tentang komando, yang tahunya hanya ‘siap grak’, beres, tanpa ada komplain. Ketika logika itu diterapkan ke pemerintahan, tidak ada negosiasi mutual, lebih condong top down,” jelasnya.
Hal ini dianggap sejalan dengan visi Jokowi yang lebih memprioritaskan pembangunan di bidang ekonomi. Yang jika terlalu banyak melakukan negosiasi akan menghambat visi yang dibangunnya. Termasuk isu-isu mengenai HAM pun bisa diminimalisasi.
“Menguatnya kekuatan purnawirawan membuat Jokowi enggan menyentuh isu HAM,” pungkas Wasisto.
Penulis: Kukuh Subekti