IslamToday ID –Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra, Mulan Jameela mengkritisi rencana penghapusan BBM jenis premium dan pertalite. Ia mempertanyakan kajian pertamina atas kebijakan tersebut.
Menurut BBM jenis premium dan pertalite merupakan BBM yang paling banyak digunakan masyrakat lantaran harganya yang lebih murah disbanding jenis lainnya. Penghapusan BBM jenis premium dan pertalite dinilai akan memberatkan masyarakat, terlebih jika dilakukan ditengah pandemic covid-19.
“Apakah Pertamina sudah menghitung dampaknya ke masyarakat mengingat saat ini sedang ujian pandemi covid-19 karena apabila Premium dan Pertalite dihapus tentu akan berdampak yang tidak baik untuk masyarakat,” kata Mulan dalam rapat Komisi VII DPR bersama Manajemen Pertamina Senin (31/8/2020).
Lanjutnya, jika pertamina bersih keras menghapus BBM jenis premium dan pertalite, maka seharusnya pertamina memberikan kompensasi atras kebijakan itu. Misalnya dengan menurunkan harga pertamax sehingga dapat terjangkau oleh masyrakat.
“Masukan dari saya, apabila betul Premium dan Pertalite dihapus apa memungkin apabila harga Pertamax bisa diturunkan, mungkin bisa jadi sama dengan harga Premium, mungkin insya Allah itu bisa jadi solusi,” imbuh
Sementara itu Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati tidak dapat menjawab pertanyaan Mulan terkait kajian atas dampak penghapusan premium dan pertalite. Namun ia menjanjikan, akan memberikan jawabab tertulis kepada Komisi VII DPR RI.
Dalam rapat tersebut ia hanya menjelaskan bahwa premium dan pertalite memiliki RON. Sementara negara-negara tetangga di kawasan ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Myanmar telah menggunakan BBM dengan RON terendah 91.
Nicke mengungkapkan bahwa satu-satunya negara di Asia yang senasib dengan Indonesia ialah negara China. Yakni masih menggunakan BBM dengan RON di bawah 90.
Nicke juga mengungkapkan bahwa produk BBM yang digunakan oleh Indonesia termasuk banyak yakni mencapai enam jenis. Sementara di China hanya digunakan empat jenis produk BBM, begitu pula dengan negara ASEAN yang lain yang hanya menggunakan dua hingga empat produk.
“Itu alasan yang paling kuat kenapa kita perlu review kembali varian BBM kita karena itu benchmark-nya. Maka kita dorong agar konsumen yang mampu beralih ke ron 92, kita sekarang memiliki Program Langit Biru,” ungkap Nicke.
Penghapusan BBM jenis premium, pertalite ini pernah disinggung oleh Komisaris Utama (Komut) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada awal Juli lalu. Saat itu Ahok mengatakan bahwa BBM tersebut sudah banyak ditinggalkan sebab tak ramah lingkungan serta membahayakan kesehatan.
“Polusi banget kalau orang ngisep kena kanker paru-paru macam-macam. Nambah-nambah jebolnya biaya BPJS Kesehatan juga. Orang hidup sehat ya dicabut gitu loh sediakan transportasi umum yang murah dan banyak,” kata Ahok diukutip dari cnbcindonesia.com (4/7/2020).
Proyek Kilang Minyak
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengingatkan, seharusnya pertamina memastikan proyek-proyek kilang minyak Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR) segera selesai. Sebab, kilang tersebut nantinya akan menghasilkan BBM standar Euro IV dan Euro V yang setara dengan produk BBM beroktan tinggi.
“Kilang yang ada sekarang rata-rata hanya menghasilkan BBM standar Euro II, padahal Pertamina ingin masyarakat lebih banyak konsumsi BBM oktan tinggi,” ujar Fahmy (8/7/2020).
Fahmy mengatakan jika pembangunan kilang berjalan lambat dan tidak sesuai dengan waktu yang ditargetkan tentu penghapusan BBM tidak akan ada maknanya. Ia khawatir impor BBM Indonesia di tahun-tahun mendatang akan terus mengalami kenaikan. Yang menyebabkan neraca dagang Indonesia mengalami defisit.
“Kalau ujung-ujungnya impor, neraca dagang Indonesia bakal defisit terus,” jelas Fahmy.
Sementara itu Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri kebijakan pembangunan kilang minyak bertentangan dengan beberapa kebijakan yang tengah dilakukan oleh pemerintah, seperti pengembangan industri mobil listrik baik itu baterai lithium maupun kendaraan bertenaga listrik. Selain itu, ada juga program biodiesel dengan capaian target mencapai B40 atau paduan 60 persen solar dan 40 persen olahan minyak sawit dalam bentuk Fatty Acid Methyl Ester (FAME).
“Ini jalan sendiri-sendiri. Hanya Bapak-Ibu (Komisi VI DPR RI) yang bisa setop,” tegas Faisal.
Menurutnya, pembangunan kilang minyak mentah jurtru akan menimbulkan kerugian yang besar. Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas tahun 2015 mengungkapkan jika pembangunan kilang saat ini bukan untuk bahan bakar melainkan untuk keperluan petrokimia. Menurutnya kilang untuk keperluan Petrokimia dinilai lebih menguntungkan jika melihat rencana jangka panjang.
Di sisi lain ia melihat pemerintah tidak memiliki kesensitifan terhadap terhadap pergeseran energy yang lebih bersih. Untuk itu ia meminta pemerintah mempertimbangkan kembali proyek tersebut.
“Bisa bayangkan kilang baru jadi kalau akan dibangun 10 tahun lagi. Semakin mendekati 2040 saat pemerintahan bertekad tidak ada lagi produksi mobil konvensional. Semua mobil listrik atau B30-B40,” tutur Faisal
Penulis: Kukuh Subekti