IslamToday ID — Naskah Undang-undang (UU) Omnibus Law/Cipta Kerja kembali sampai ke ‘final’. Draf UU Omnibus Law terbaru berkurang sebanyak 223 halaman, dan kini menjadi 812 halaman dari sebelumnya 1035 halaman.
Di hari yang sama pula Senin (12/10) kemarin, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR, Indra Iskandar membenarkan dua versi ‘final’ 1035 halaman dan 812 halaman.
Dalam catatan redaksi Islamtoday.id, Indra pada Senin pagi menjelang siang (12/10) kemarin Indra awalnya menyebut bahwa draf final Omnibus Law menjadi 1035 halaman. Saat itu ia beralasan format penulisan yang belum rapih sebagai alasan berubahnya halaman dalam draf UU Omnibus Law yang sebelumnya pada saat pengesahan sepekan sebelumnya Senin (5/10) berjumlah 905 halaman.
“Kemarin kan spasinya belum rata semua, hurufnya segala macam. Nah, sekarang sudah dirapikan,” kata Indra pada Senin (12/10/2020).
Ia kembali membenarkan ada versi terbaru dari UU Omnibus Law yang beredar pada Senin malam (12/10) jumlah halamannya pun telah berubah dan mengalami pengurangan. Dalam draf terbaru jumlah halaman yang beredar menjadi 812 halaman.
Lagi-lagi yang menjadi alasan berubahnya ialah mengenai format penulisan. Jika sebelumnya berbicara tentang ‘typo’, spasi penulisan, huruf kali ini ia berdalih format ukuran kertas dari A4 menjadi legal.
“Iya 812 halaman. Pakai format legal jadi 812 halaman,” ungkap Indra Iskandar.
Berubah-rubahnya draf UU Omnibus Law mau tidak mau menimbulkan kegaduhan. Tidak sedikit yang menduga bahwa ada pasal selundupan dalam Omnibus Law. Ada pula yang mengaitkan UU Omnibus Law sebagai pesanan investor asing.
Ragam Versi Tanda “UU Pesanan”
Pakar Hukum, Dr. Muhammad Taufiq mengungkapkan semakin banyaknya versi UU Omnibus Law menunjukan bahwa UU tersebut bukan produk buatan pemerintah atau DPR. Hal ini semakin menguatakan dugaan beberapa pihak bahwa UU Omnibus Law/Cipta Kerja adalah ‘pesanan’.
“Munculnya beragam versi itu menandakan bahwa sifat pesanannya, sifat oportunistiknya itu sangat besar,” kata Muhammad Taufiq kepada Islamtoday.id pada Selasa (13/10/2020).
“Bahwa undang-undang itu menyesuaikan kebutuhannya apa. Masa undang-undang bisa muncul lima versi,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa dengan hadirnya ragam versi UU Omnibus Law yang mencapai lima versi justru semakin menguatkan dugaan banyak pihak yang menyebut UU tersebut hadir demi kepentingan negara lain semakin benar adanya. Bahkan, secara tegas Taufiq menyebutkan China adalah negara yang berkepentingan dibalik UU tersebut.
“Itu adalah transplantasi atau pesanan dari negara asing, utamanya adalah China yang kemudian dia disahkan,” ungkap Taufiq.
Wakil Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian Hukum DPP IKADIN ini menjelaskan pula bagaimana sifat undang-undang yang baik, yang seharusnya.
Menurutnya suatu undang-undang dikatakan baik apa bila keberadaanya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, melindungi warga negara, dan memudahkan orang untuk kesempatan kerja.
Ia juga menyebutkan kehadiran UU Omnibus Law secara proses melanggar ketentuan perundang-undangan. Terutama pasal 20 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang (UU) ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga ada proses legislasi yakni diundangkan terlebih dulu di DPR baik itu untuk disetujui atau tidak disetujui oleh DPR.
Taufiq menjelaskan bahwa dalam hal Omnibus Law, presiden menurutnya bisa membuat Peraturan Pengganti Undang-undang (UU) tanpa harus meminta persetujuan atau pengesahan dari DPR.
“Ini presiden bisa membuat Perppu tanpa harus meminta persetujuan atau pengesahan dari DPR dulu”, tandanya.
Penulis: Kukuh Subekti