ISLAMTODAY ID –Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatkanm tiap penduduk Indonesia sebenarnya menanggung utang Rp 20,5 juta. Beban itu terjadi lantaran utang warisan pemerintah yang semakin menggunung. Kata Bhima, Per Agustus 2020 utang pemerintah saja sudah menembus angka Rp 5.500 triliun.
“Ya jadi kita berdasarkan pada posisi utang pemerintah ya. Jadi kita sudah pisahkan tidak menggunakan utang swasta jadi hanya utang pemerintah. Karena pemerintah bertanggungjawab terhadap warga negaranya. Jadi per Agustus 2020 itu utang pemerintah Rp 5.500 triliun,” kata Bhima dikutip dari kanal youtube Hersubeno Point (20/10/2020).
“Artinya orang berKTP, berwarganegara Indonesia dia secara otomatis menanggung Rp 20,5juta per kepala,” imbuhnya.
Bhima mengungkapkan dampak bahaya tingginya utang di tengah minimnya pendapatan, dan besarnya belanja negara. Ada tiga poin akibat yang timbul dari tingginya utang Indonesia. Pertama Indonesia bisa di black list dari lembaga keuangan terkait. Kedua, jika Indonesia berhutang dengan mata uang asing, hal itu akan berpengaruh pada rendahnya nilai tukar rupiah. Ketiga jika pada suatu ketika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk membayar maka yang timbul adalah upaya pemerintah menekan rakyat dengan meningkatkan tarif pajak.
Padahal Menurut Bhima, realisasi pajak di Indonesia kini mengalami penurunan pasca pemerintah mengeluarkan tax amnesty. Ia menyungkapkan, penurunan ini nilainya mencapai di bawah 11 persen. Di sisi lain, ia melihat kebijakan pemerintah memberikan keringanan pajak pada pengusaha belum tepat sasaran.
“Pasca tax amnesty rasio pajak terus alami penurunan sampai kemudian pernah di bawah 11 persen rasio pajaknya,” tutur Bhima.
Bhima juga membantah argumentasi Menkeu Sri Mulyani terkait adanya tren kenaikan utang di masa pandemic. Sebelumnya seperti dilansir liputan6.com 19 Oktober 2020, Menkeu Sri Mulyani mengatakan kenaikan tren utang tidak hanya dialami Indonesia, namun juga sejumlah negara lainnya termasuk Amerika. Kata Sri Mulyani . Amerika Serikat (AS) yang memiliki rasio utang naik di atas 100 persen, yakni sebesar 131,2 persen dan di 2021 133,6 persen. Selain AS, negara dengan trend utang tinggi adalah Jepang, yang rasio utangya juga diatas 100 persen, bahkan mencapai 266,2 persen dari PDB.
“Semua negara terjadi kenaikan,”ungkap Sri Mulyani pada Senin, dilansir dari liputan6.com (19/10/2020).
Bhima menilai pernyataan Menkeu Sri Mulyani yang membandingkan utang Indonesia dengan Amerika dan jepang tidak logis. Pasalnya Menurut Bhima, Amerika tidak memiliki ketergantungan terhadap dollar, sebab mata uangnya dalah dolar. Berbeda halnya dengan Indonesia yang mata uangnya rupiah, sehingga memiliki ketergantungan terhadap dolar.
Lanjut Bhima, sekalipun Jepang memiliki rasio utang yang tinggi namun utang tersebut hanya terjadi di dalam negerinya. Sehingga jika terjadi gejolak ekonomi di Jepang uang itu hanya akan berputar di dalam negeri. Sementara utang di Indonesia jika terjadi gejolak ekonomi, uang Indonesia akan ke luar negeri, sehingga perbandingan ini tidak seimbang.
“Itu tapi nggak apple to apple, pertama Amerika Serikat adalah negara yang mencetak dolar sehingga mereka punya cadangan yang besar juga. Indonesia ketergantungan pada dolar, ini dua hal yang beda. Kemudian yang kedua kalau kita melihat dari sisi siapa yang memegang ya utang luar negeri baik di Amerika Serikat maupun di Jepang misalkan. Di Jepang itu yang memegang utang pemerintah Jepang adalah rakyatnya sendiri,” tutur Bhima.
Bhima menambahkan di Indonesia penerbitan utang tidak hanya menggunakan denominasi dolar saja melainkan juga rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Bahkan kata Bhima, komposisinya lebih besar SBN.
Ironisnya, kata Bhima, SBN ini cukup banyak dimiliki oleh investor asing. Jumlahnya mencapai 28 persen hingga 30 persen. Jumlah tersebut relative besar di bandingkan dengan negara lain. Situasi ini tentu berbeda dengan di Jepang, yang SBN nya banyak dimiliki oleh warga negara Jepang.
“Komposisi asing di dalam surat utang Indonesia ini cukup besar. Jadi walaupun kita menerbitkan nilai tukar Rp ya utangnya tapi yang membeli juga tetap banyak dari investor asing,” ucap Bhima.
Penulis: Kukuh Subekti